Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 08:05 WIB | Kamis, 10 September 2015

PBB: Berdayakan Perempuan untuk Melawan Terorisme

Keluarga ini melarikan diri ke wilayah timur laut Nigeria melintasi perbatasan ke Diffa, Niger, karena takut serangan oleh kelompok teroris Boko Haram di negeri itu. (Foto dari un.org/ OCHA / Franck Kuwonu)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyerukan peningkatan perhatian pada perempuan agar mereka diberdayakan untuk aktif membantu kontra terorisme dan kekerasan ekstremisme di seluruh dunia. Demikian pernyataan pejabat senior PBB untuk kontra-terorisme, pada konferensi pers di New York, hari Rabu (9/9).

"Kelompok teroris seperti Daesh, Boko Haram dan Al Shabaab semakin kreatif dalam strategi mereka, termasuk terhadap perempuan, (yang) mengambil peran lebih aktif dalam kelompok kriminal mereka," kata Jean-Paul Laborde, Direktur Eksekutif Kontra Terorisme PBB.

"Saya bahkan mengatakan 'memaksa' perempuan untuk mengambil peran aktif ini, tapi ini adalah kata-kata saya." Laborde mengatakan itu menjelang pertemuan Komite Kontra-Terorisme Dewan Keamanan PBB tentang peran perempuan dalam melawan terorisme dan kekerasan ekstremisme.

"Sampai saat ini, terorisme telah dilihat terutama sebagai masalah laki-laki," kata Laborde. "Pada kenyataannya, organisasi teroris secara bertahap menggunakan perempuan untuk merekrut perempuan lain... termasuk perempuan untuk bertindak sebagai pelaku bom bunuh diri."

Dia menjelaskan bahwa banyak yang tidak tahu bahwa mereka (perempuan) direkrut untuk melayani tujuan tersebut.  Dan baru-baru ini, ribuan perempuan di Irak, Kenya, dan Nigeria diculik oleh kelompok teroris.

Pengalaman dari Irak

Tiga perempuan dari negara-negara tersebut diundang dalam konferensi pers itu dan mereka berbagi cerita dari orang yang mengalami tentang pekerjaan mereka memerangi kecenderungan ini.

Di antara mereka adalah Hanaa Edwar, aktivis perempuan dari Irak yang menegaskan bahwa tidak adanya keamanan dan stabilitas di negaranya sejak tahun 2003 telah menciptakan lembaga-lembaga negara yang lemah dan kekacauan, serta dipengaruhi pertumbuhan milisi lokal.

"Daesh, yang disebut sebagai Negara Islam (irak dan Surian) menduduki sekitar sepertiga dari negara kami pada bulan Juni 2015. Ini adalah saat yang sangat sulit dalam sejarah Irak, terutama karena penderitaan orang meningkat setiap hari," kata Edwar. Dia menyebutkan, antara tahun 2003 dan 2014, sekitar 14.000 perempuan meninggal di Irak.

Dia menjelaskan bahwa skala kejahatan berbasis jender sangat mengerikan, dengan kekerasan seksual yang digunakan sebagai alat dalam kebijakan teroris. Akibatnya, banyak perempuan bunuh diri, karena tidak adanya keamanan, hak, dan  juga lembaga tempat untuk mencari perawatan.

Juli lalu, Daesh dilaporkan mengumumkan daftar 2.070 orang yang meninggal. Di antara mereka adalah 300 perempuan, banyak dari mereka pengacara, wartawan, aktivis, atau pegawai pemerintah.

Meskipun demikian, Edwar menegaskan bahwa dia berharap ada hasil dari kerja banyak organisasi non-pemerintah di berbagai daerah, beberapa diantaranya dia yang mendirikan.

"Saya merasa ada harapan ketika saya melihat pertumbuhan gerakan, gerakan perempuan, gerakan masyarakat sipil melawan terorisme dan ekstremisme," katanya. "Kami melakukan banyak dalam masyarakat. Kami mencoba untuk bekerja dengan anak-anak dan orang muda untuk membuat mereka menyadari, dan bagaimana melawan terorisme."

Dia juga menyebutkan bahwa forum regional aktivis perempuan di Timur Tengah baru-baru ini menujukan upaya melawan "kebijakan keji terorisme." Namun diperlukan dukungan dari masyarakat internasional.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home