Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 11:08 WIB | Sabtu, 01 Maret 2014

Memilih Pemimpin Pecundang?

Cara kandidat anggota legislatif dan partai memasang peraga kampanye. (Foto: Ist)

SATUHARAPAN.COM – Masa kampanye pemilihan umum legislatif akan segera dimulai, namun di berbagai sudut kota dan desa telah bertebaran alat peraga kampanye para kandidat legislatif. Spanduk, bendera dan berbagai bentuk poster di pasang di mana-mana menampilkan foto calon anggota legislatif, partai, nomor urut, bahkan pernyataan untuk mencoblosnya.

Alat peraga kampanye ini ditempel di papan reklame lengkap dengan lampu untuk tampilan di malam hari, di kaca mobil, di dekat persimpangan jalan, di pinggir jalan, atau di atas jalan.

Banyak juga yang dipakukan di pohon yang akan menyebabkan pohon penghijauan di kanan-kiri jalan menjadi tidak sehat. Sebagian lagi bahkan mengganggu pengguna jalan, karena menutupi lampu lalu litas dan rambu-rambu lainnya.

Kampanye juga sudah dimulai dengan memanfaatkan media massa, terutama menggunakan media sosial yang tidak mudah dikontrol. Para kandidat menyebarkan informasi seperti khawatir kehilangan momen untuk menaikkan popularitas.

Meskipun banyak pihak menyebut terjadi pelanggaran kampanye, jor-joran seperti itu sudah jadi pemandangan sejak pengumuman calon tetap anggota legislatif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dan tampaknya dianggap sebagai hal biasa dan wajar. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga tampaknya berpura-pura tidak tahu.

Ini Soal Serius

Cara-cara seperti ini sampai dua dekade lalu lebih sering disebut sebagai mencuri start. Ibarat perlombaan lari, ada yang sudah melangkah jauh sebelum peluit dibunyikan. Suara tuduhan mencuri start tampaknya melemah, karena hal itu telah dilakukan secara masif, bahkan oleh sebagian besar kandidat dan partai, "tahu sama tahu-lah".

Apa yang dianggap wajar dan biasa sekarang ini sebenarnya tidak wajar dan indikator ke arah berbahaya. Semua itu menampilkan karakater yang tidak peduli pada aturan, dan menjadi bahaya karena melihat pelanggaran aturan sebagai hal yang biasa. Ini wajah perilaku yang permisif terhadap pelanggaran.

Masalahnya, hal itu justru terjadi pada mereka yang akan duduk sebagai angggota di lembaga legislatif yang setiap kali sidang selalu dipanggil dengan sebutan “Anggota Dewan Yang Terhormat”. Lembaga itu yang akan membuat undang-undang dan peraturan, dan apa jadinya jika banyak anggotanya adalah pelanggar aturan, bahkan "darahnya sudah dingin" terhadap pelanggaran.

Mereka, jika terpilih, adalah pemimpin bagi rakyat. Keberanian mereka menjadi calon legislatif tidak terlepas dari sikap bahwa mereka menganggap diri pantas menjadi pemimpin – meskipun sebagian atau ada yang lebih pantas disebut “tidak tahu diri.”

Jika mereka adalah figur yang tidak peduli dengan hukum dan aturan, mengabaikan sopan santun sosial, abai pada fatsun politik, dan demi kepentingan sendiri merusak pemandangan kota, dan merusak pohon, mudah dibayangkan bagaimana mereka akan memimpin rakyat.

Jika mereka tidak bisa menjadi teladan dengan menampilkan perilaku terbaik warga negara, bagaimana mereka bisa dan layak menjadi pemimpin? Mereka mengganggu kehidupan sosial, dan melanggar aturan, bagaimana mereka bisa mengatakan janji akan memperbaiki kehidupan bangsa? Dan hal ini baru pada satu aspek dari perilaku yang kasat mata. Ketika diungkap rekam jejak para kandidat bisa jadi wajahnya rakyat akan segera berubah sinis.

Respons Naif

Ketika hal ini diungkapkan, beberapa menyebutkan bahwa mereka melakukan itu, karena kandidat lain atau partai lain melakukannya. Atau yang lebih naif mengatakan tidak mengetahui persis aturannya. Atau menyebutkan bahwa hal itu biasa dan toh dilakukan hampir semua kandidat dan oleh semua partai. Jadi, cukup adil.

Ini jelas respons yang naif, dan lebih naif karena semua pihak yang bertanggung jawab pun enggan membicarakannya, apalagi bertindak. Artinya, pemilihan umum nanti akan menghasilkan banyak anggota legilatif yang permisif pada pelanggaran hukum, dan tidak peduli bahwa pemimpin haruslah figur yang menampilkan perilaku terbaik, dan pantas sebagai teladan.

Cara menyikapi masalah yang sederhana ini, mencerminkan banyak kandidat yang suka mencari alasan, ketimbang menemukan pemecahannya. Para motivator menyebutkan bahwa pecundang lebih suka mencari alasan atas masalah, dan pemenang mencari cara mengatasi masalah. Jadi, ini sinyal bahwa kita dalam proses dipimpin oleh para pecundang.

Masalah-masalah berkaitan dengan pemilu memang banyak, dan soal pemasangan alat peraga bisa jadi hal yang sepele. Mungkin hal ini tak perlu dirisaukan, bahkan buang-buang waktu untuk membahasnya. Kandidat yang berpandangan seperti ini jelas tak pantas dipilih. Sebab, mereka yang tidak bisa melakukan hal sederhana, tak bisa diharapkan menangani masalah besar.

Pemilu tahun 2014 ini adalah kali keempat setelah reformasi dan pemilu ke-11 sepanjang sejarah Republik Indonesia dengan yang pertama tahun 1955. Namun kualitas pemilu ini tampaknya merosot. Banyak masalah pada penyelenggaraan, namun juga dalam kualitas pada banyak kandidat seperti tercermin dari satu perilaku di atas. Dan yang memprihatinkan adalah potensi pada banyaknya pemimpin pecundang yang akan tampil.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home