Menag: PBM Pendirian Rumah Ibadah Masih Relevan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 masih relevan dalam menata kehidupan beragama di Indonesia. PBM itu mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
“Keberadaan Peraturan Bersama Menteri ini menurut hemat saya masih relevan diperlukan oleh bangsa ini dalam menjaga kehidupan umat beragama,” kata Menag di Jakarta, Kamis (17/01), saat dimintai tanggapannya mengenai usulan agar PBM dihapus.
Apalagi, Menag melanjutkan, PBM merupakan kristalisasi hasil musyawarah pemimpin umat beragama yang mewakili majelis-majelis agama. Kementerian Agama bersama Kementerian Dalam Negeri pada 2006 telah memfasilitasi tokoh dan pemuka agama untuk melakukan serangkaian diskusi guna merumuskan ketentuan terkait rumah ibadah dan upaya menjaga kerukunan.
“Jadi PBM bukan rumusan yang datang dari pemerintah. Sementara yang membuat, merumuskan, dan menyepakati adalah wakil dari majelis agama,” katanya, seperti dilapokan Benny Andriyos dan dilansir kemenag.go.id.
“Selaku Menteri Agama, saya mengimbau kepada segenap kita, umat beragama, untuk benar-benar bisa membaca dan memahami isi ketentuan yang ada dalam peraturan tersebut. Semuanya itu diberlakukan justru dalam rangka menjaga kehidupan bersama di tengah-tengah keragaman dan perbedaan,” ia menambahkan.
Pasal 14 PBM 2006 misalnya, mengatur tentang pendirian rumah ibadat. Di situ ditegaskan bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain itu, pendirian rumah ibadat juga harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
a. daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
“Jika persyaratan itu belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat,” Menag menegaskan.
Menag berpandangan, bila PBM tersebut dihapus justru akan menimbulkan persoalan yang semakin kompleks. Bagaimana pun Indonesia dikenal dengan masyarakat yang beragam dan majemuk. Untuk itu, harus ada rumusan yang disepakti bersama yang isinya mengatur kehidupan bersama, khususnya dalam pendirian rumah ibadah.
Selama belum ada aturan pengganti yang lebih baik, kata Menag, menghilangkan PBM tersebut justru lebih berbahaya. Sebab, akan menimbukan ketidakpastian hukum. “Dan aparat penegak hukum tidak bisa bekerja karena tidak ada aturan yang disepakati bersama dan menjadi dasar dalam menegakkan hukum,” kata Menag.
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...