Loading...
INDONESIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 15:30 WIB | Senin, 24 Agustus 2015

Menaker Bertemu Pemerintah Hong Kong Bahas TKI

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri membahas masalah TKI dengan pejabat Pmerintah Hong Kong, Senin (24/8). (Foto: Antarnews/Sigid Kurniawan)

HONG KONG, SATUHARAPAN.COM - Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengadakan pertemuan tertutup dengan Sekretaris Kantor Ketenagakerjaan Pemerintah Wilayah Administrasi Khusus Hong Kong, Matthew Cheung, Senin (24/8), guna membahas berbagai hal terkait tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong.

"Kami akan bicarakan berbagai hal terkait kebijakan terbaru pengiriman dan penempatan TKI di beberapa negara, termasuk Hong Kong," katanya menjawab Antara di Hong Kong, sebelum pertemuan berlangsung.

Salah satu yang akan dibahas adalah biaya penempatan cost structure di negara-negara tujuan TKI, termasuk usulan perubahan struktur biaya hasil forum tripatrit antara perwakilan buruh migran, Perusahaan Pengarah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang sudah dikirimkan BNP2TKI sejak Desember tahun lalu.

"Biaya penempatan ini memang menjadi salah satu masalah, karena dinilai terlalu tinggi. Dan kami sedang mengkaji ulang, mencari formula terbaik untuk masalah ini agar tidak membebani TKI," kata Menteri Hanif.

Dalam pertemuan tertutup itu, Menteri Hanif didampingi beberapa stafnya, Konjen RI Hong Kong, Chalief Akbar Tjandraningrat, dan Konsul Ketenagakerjaan Konjen RI Hong Kong, Iroh Baroroh.

Seharusnya "cost structure" itu tidak dikenakan kepada TKI, oleh karena negara berkewajiban untuk menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak kepada warganegaranya sesuai Pasal 97 ayat (2) UUD 1945.

Namun, oleh karena negara masih belum mampu untuk menyediakan hal itu, maka pihak swasta (PPTKIS) diberi kesempatan untuk berpartisipasi melakukan penempatan TKI/BMI.

Partisipasi itu seharusnya dilakukan sendiri oleh PPTKIS, akan tetapi perlu dana untuk membiayai proses penempatan (cost structure) maka PPTKIS juga melibatkan lembaga keuangan Indonesia non-bank, untuk membiayai cost structure terlebih dahulu.

Kenyataannya, lembaga keuangan Indonesia yang dipercayai untuk mendanai terlebih dahulu juga tidak melakukan perannya dengan baik. Malah dalam praktiknya meminta dukungan lembaga keuangan Hong Kong untuk membiayai cost structure.

Dengan demikian pembiayaan oleh lembaga keuangan Hong Kong dikenakan bunga berbunga sampai dengan 30 persen yang harus ditanggung oleh TKI, sehingga banyak yang akhirnya terlilit utang.

Sebelumnya, anggota legislatif Hong Kong, Emily Lau, saat berkunjung ke Jakarta pada pertengahan Agustus silam, dalam pertemuan dengan Menaker Hanif berharap Pemerintah Indonesia dapat segera mengumumkan perubahan atau perbaikan pelatihan bagi TKI.

Terutama, lanjut dia, tentang biaya penempatan yang masih dianggap terlalu mahal, sehingga banyak TKI yang terlilit utang. "Sehingga perlu ada diskusi antara kedua pihak mengenai hal tersebut," kata Emily Lau.

Berdasar data Kantor Konsul Tenaga Kerja KJRI Hong Kong, jumlah TKW di Hong Kong hingga Juli 2015, tercatat 150.544 atau berada di tempat kedua setelah buruh migran dari Filipina yang berjumlah 177.890 orang.

Sedangkan, jumlah TKW di Makau berdasar data BMI Sukarela tercatat 7.734 orang. Jumlah itu termasuk TKW yang overstay limpahan dari Hong Kong.

Terkait TKI ilegal di Hong Kong, berdasar pendataan yang dilakukan KJRI Hong Kong selama Juli sampai dengan Agustus 2014 terhadap WNI yang berada di Tailam Centre for Women, terdapat 13 orang overstay dan "illegal worker" dari 18 narapidana WNI, di Lowu Correctional Institution terdapat 60 narapidana yang dihukum karena overstay, dari total 70 orang narapidana WNI.

Dari total 73 WNI yang dihukum karena overstay di penjara Hong Kong, hanya tiga orang yang berniat kembali atau dipulangkan ke Indonesia dengan alasan untuk menikah atau merawat suami/anak.

Selebihnya, para overstayer WNI tidak mau dipulangkan, dan bahkan mereka mengajukan non-refoulement claims (larangan pengusiran) kepada imigrasi Hong Kong melalui International Social Service, dengan rata-rata alasan yang disampaikan oleh para overstayer WNI tersebut adalah adanya ancaman penyiksaan, penculikan, atau pembunuhan yang dilakukan oleh pihak keluarga atau pihak lain apabila mereka kembali ke Indonesia, padahal hal itu tidak benar adanya.

Banyaknya TKI yang menjadi overstayer mengakibatkan peningkatan tindak kejahatan oleh TKI, antara pencurian, untuk memenuhi hidup mereka. Karena selama berstatus overstayer, mereka tidak diizinkan bekerja.(Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home