Loading...
BUDAYA
Penulis: Reporter Satuharapan 12:26 WIB | Sabtu, 29 Februari 2020

Mengembalikan Citra Mentok sebagai Sentra Kain Cual

Magdalena, salah satu perajin tenun cual Mentok. (Foto: Antara/Donatus DP)

MENTOK, SATUHARAPAN.COM – Pada tahun 1700-an, kemasyhuran kain cual Mentok, Bangka-Belitung, yang memiliki kehalusan tenunan, keindahan motif, warna dan bahan yang tidak mudah luntur, terkenal hingga Negeri Johor, Malaka, Sumatera, Jawa, dan daerah lain.

Keindahan wastra dengan motif bersusun dengan hiasan ragam motif hasil stilasi flora dan fauna, berpadu kehalusan teknik tenunan, membuat kain cual Mentok banyak disukai kalangan bangsawan hingga mancanegara.

Kualitas kain berbahan pilihan benang katun halus dengan tambahan penggunaan benang emas yang dicungkit terlihat elok menawan.

Kain cual Mentok diproduksi terbatas. Kain ini hanya ditenun perempuan bangsawan. Sebagian besar difungsikan untuk kepentingan pribadi, diturunkan ke anak cucu, atau menjadi bagian dari barang hantaran lamaran pernikahan, dan tanda mata persahabatan dengan bangsawan atau kerabat di luar negeri.

Kebiasaan menenun kain cual dari kalangan bangsawan di Mentok terbukti dengan adanya Kampung Patemoen di Kelurahan Tanjung. Konon di kampung itu dahulu menjadi sentra tenun cual Mentok.

Para perempuan bangsawan mengisi waktu dengan menenun kain yang dikerjakan di ruang bawah rumah kayu berbentuk panggung.

“Pada masa itu, meskipun tidak banyak yang diperdagangkan, kain cual Mentok cukup terkenal karena elok dipandang dan nyaman dipakai,” kata Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat, Bambang Haryo Suseno.

Era kejayaan cual Mentok berangsur meredup pada masa Kemerdekaan seiring dengan gerak modernisasi di berbagai sektor atas nama pembangunan, demi meningkatkan peradaban masyarakat tradisional.

Desakan arus serbamesin, diperparah dengan gagasan dan gerak politik di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, yang menjadikan Jawa sebagai simbol budaya bangsa Indonesia.

Menggali Lagi

Situasi itu memberikan pengaruh cukup besar terhadap perkembangan cual Mentok, karena upaya pemerintah dalam menyebarluaskan pengaruh batik Jawa sangat masif hingga ke seluruh pelosok negeri.

“Pada 2018 kami mencoba menggali informasi keberadaan cual lama. Di Mentok yang dahulu menjadi pusat produksi cual hanya ditemukan tidak lebih dari 10 lembar kain berumur lebih dari 100 tahun, bermacam ukuran dan motif,” kata Bambang.

Aktivitas menenun sebagai salah satu identitas budaya lokal seolah hilang ditelan bumi, dan baru terlihat kembali setelah Bangka Belitung melepaskan diri dari Provinsi Sumatera Selatan, pada 2003.

“Inventarisasi sudah kami lakukan agar lebih mudah dalam upaya pelestarian kekayaan budaya tersebut,” kata Bambang, yang pada 2019 menulis buku Ragam Hias Kain Cual Mentok yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Babel tersebut.

Upaya pelestarian kekayaan budaya lokal dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan pengumpulan data dan pendokumentasian untuk memudahkan langkah-langkah strategis yang akan diambil untuk membumikan kembali kain cual Mentok di tanah kelahirannya.

Dinas Koperasi, UKM, dan Perindustrian Kabupaten Bangka Barat bekerja sama dengan pengurus dewan kerajinan nasional daerah (Dekranasda) kabupaten setempat juga bergerak memproduksi lagi salah satu identitas lokal tersebut.

“Dalam beberapa tahun terakhir kami melakukan pendampingan pelaku usaha tenun agar memroduksi cual khas Mentok,” kata Kepala Bidang Perindustrian Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Kabupaten Bangka Barat, Agus Setyadi.

Pada awalnya hanya ada satu perajin tenun di Mentok. Meskipun belum berjalan baik karena memproduksi kain berdasarkan pesanan, pihaknya secara terus-menerus melakukan pendekatan dan pendampingan agar perajin bisa termotivasi memroduksi kain lokal.

“Dari satu orang pelaku akhirnya bisa membentuk kelompok beranggotakan 20 orang. Mereka terus kami dorong agar semakin terampil menenun,” katanya.

Bantu Pemasaran

Selain melakukan pendampingan, Pemkab bersama Dekranasda Kabupaten Bangka Barat juga membantu pemasaran dengan pola promosi melalui pameran dan media sosial agar produk perajin lokal semakin dikenal pencinta kain Nusantara dan pasar internasional.

“Awalnya memang berat untuk bersaing, namun sekarang sudah berjalan. Konsumen langsung memesan atau datang langsung ke perajin,” katanya.

Dengan geliat yang sudah berjalan, berbagai pola bantuan modal usaha juga dilakukan, baik oleh pemkab maupun menggandeng perusahaan swasta dan BUMN agar kerajinan tenun bisa berjalan dan semakin berkembang.

“Dalam beberapa tahun terakhir terasa perkembangannya. Bahkan saat ini di Mentok sudah terbentuk tiga kelompok perajin tenun. Salah satunya sudah mendapatkan bantuan pembinaan dan pendampingan khusus dari Bank Indonesia,” katanya.

Agus Setyadi berpendapat, pola pelestarian cual sudah berjalan menggembirakan dan akan terus didorong agar semakin berkembang dan mampu bersaing dengan produk sejenis dari luar daerah.

“Kami mengakui produk perajin lokal masih cukup mahal harganya dan hanya mampu dijangkau kalangan menengah ke atas, sementara segmen pasar menengah ke bawah juga perlu mendapatkan perhatian karena peluang cukup besar,” katanya.

Untuk menjangkau pasar tersebut, perlu adanya inovasi pola pengerjaan, pola desain kreasi kekinian dan kebutuhan akan fungsi kain yang bisa lebih diminati kaum muda.

“Untuk produk konvensional, perajin hanya membuat kain ukuran dua meteran dan selendang yang harganya paling murah Rp3,2 juta,” katanya.

Dengan harga semahal itu, akan sangat sulit menjangkau pasar besar dari kalangan muda millenial, dan dikhawatirkan berdampak pada jumlah peminat semakin turun dan kembali menghilang dari pasar.

Geliat produksi yang sudah terbangun selama beberapa tahun terakhir perlu terus dijaga agar semakin berkembang dan jumlah pesanan semakin banyak, sehingga memberikan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha tenun.

“Kami akan mencoba mendorong dua kelompok yang baru terbentuk untuk membuat produk dengan harga jual lebih murah dengan ukuran yang disesuaikan dan kreasi motif sederhana untuk menekan biaya produksi,” katanya.

Selain inovasi desain kreatif dengan tetap mempertimbangkan motif lama, pihaknya juga akan memaksimalkan ketersediaan alat tenun bukan mesin (ATBM) untuk mendukung produksi.

Hak Paten

Seiring perkembangannya, pelaku usaha juga perlu diberikan pemahaman terkait hak atas kekayaan intelektual terhadap desain atau ragam hias yang dibuat agar tidak ditiru perajin lain dari luar daerah.

“Perlindungan ini penting karena sampai saat ini sebagian besar bahan, bahkan motif celup benang untuk cual, masih dipasok dari Palembang,” kata Bambang Haryo Suseno.

Pola industri demikian cukup rentan terhadap pemalsuan dan serbuan produk sejenis dari daerah lain pada saat permintaan pasar meningkat. “Kalau perlu seluruh desain ragam hias cual Mentok dipatenkan agar tidak dijiplak perajin lain. Kami siap bantu,” katanya.

Tingginya semangat pemerintah dan pegiat budaya di daerah itu untuk membangkitkan kembali kain cual Mentok sebagai salah satu identitas lokal, diharapkan memberi motivasi bagi perajin.

Beberapa waktu lalu, Ketua Dekranasda Kabupaten Bangka Barat, Evi Astura Markus, yang berkunjung langsung ke kelompok perajin tenun Cempaka, juga mengharapkan hal serupa.

“Kami akan terus bersinergi dengan kelompok perajin agar mereka tetap semangat, pantang menyerah, sehingga usaha ini bisa terus berkembang dan dapat dikenal luas sebagai daya tarik wisatawan asing maupun lokal," kata Evi.

Pola sinergi lintas sektor diharapkan bisa menjawab tantangan dan persaingan industri yang semakin ketat. Kain cual sebagai cermin budaya masyarakat Mentok bahkan dalam perkembangannya menjadi identitas Negeri Serumpun Sebalai, perlu terus didorong agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan dirasakan keberadaannya. (Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home