Loading...
OPINI
Penulis: Riduan Situmorang 00:00 WIB | Senin, 15 Juni 2015

Mengindonesiakan Papua

SATUHARAPAN.COM – Mengapa Papua masih bergejolak hanyalah karena kita belum berhasil mengindonesiakan mereka. Sebaliknya, Papua pun merasa tak perlu diindonesiakan, apalagi karena Indonesia versi Jakarta sering menganggap Papua sebagai negeri tercecer. Padahal, Papua merupakan matahari terbit, bukan terbirit, apalagi tercecer. Banyak potensi, terutama SDM yang membuktikan daerah itu bukan daerah tercecer. Lihat, bukankah Timnas kita kebanyakan dari Papua? SDA juga begitu menjanjikan. Papua merupakan mutiara hitam, lumbung emas, negeri kepingan surga dengan keindahan alamnya. Sangat fantastis. Begitulah Papua di atas kertas.

Tetapi pada kenyataannya, perhatian kita pada Papua melambat. Mereka dicap sebagai daerah tertinggal. Padahal, tanpa mengurangi rasa hormat pada Papua, alasan mengapa mereka disebut sebagai daerah tertinggal—baik dari pendidikan maupun pembangunan fisik—tak lain tak bukan hanyalah dampak dari apa-apa yang belum dan telah kita lakukan. Yang belum kita lakukan, misalnya, membangun Papua dengan perhatian yang sama dengan daerah lainnya. Walhasil, jadilah Papua sebagai daerah tertinggal, terbelakang, dan terpelosok lagi.

Juga Perlakuan

Padahal, walau terpelosok, apalah Papua apabila dibandingkan dengan Aceh, misalnya? Tetapi, mengapa Aceh jauh lebih “bermartabat” daripada Papua? Rupanya, terpelosok bukan semata pada pengertian geografis, tetapi juga pada perlakuan. Kita memperlakukan Papua sebatas pemburu rente, tetapi mereka kere sehingga kebodohan terpelihara. Sekolah terbatas, infrastruktur seadanya, dan itu sangat kontras dengan kekayaan yang berlimpah di sekitarannya.

Sudah begitu, kita yang dari luar menstigma Papua. Sudahlah tak sebanding yang dilakukan, kita justru menghakiminya. Penghakiman atau penstigmaan inilah yang kelak semakin menyiksa mereka pada posisi kita belum melakukan apa-apa terhadap mereka sebagai Indonesia. Kita sebut mereka sebagai sarang pemberontak tanpa kita sadari bahwa hal itu merupakan dampak dari pembangunan yang belum kita lakukan.

Dan, sebutan pemberontak itu sebenarnya sama sekali tidak pas pada konteksnya. Mereka hanya memprotes, bukan memberontak. Bahasa gaulnya, minta diperhatikan atau caper, bahkan cupir: curi perhatian. Lagipula, kalaupun memberontak, hal itu wajar sebagai dampak dari ketidakadilan kita kepada mereka yang terlalu sering menstigma tanpa berbuat.

Celakanya lagi, banyak pendatang ke sana semata untuk meraup rente. Dan, mereka yang warga asli Papua tidak diberdayakan secara maksimal sehingga merasa terjajah di daerahnya sendiri. Lalu, seperti semula, kita hanya sibuk mengomel dan mengomel yang lalu mengatakan Papua itu sebagai negeri K5 (mungkin untuk tidak menyebut kaki lima): kemiskinan, kebodohan, kesehatan yang buruk, ketidakadilan, dan kekerasan. Pada saat-saat tertentu kita juga mengomel tanpa bosan-bosannya, yaitu bahwa Papua merupakan daerah para separatisme. Sakit hati itu pun membuncah, apalagi karena kita hanya sibuk berdiplomasi, berangan-angan, berjanji, tanpa berpikir cepat untuk membangun Papua.

Ya, benar, Papua memang belakangan mengecap nama Indonesia. Jika Indonesia sudah berumur hampir 70 tahun, Indonesia-Papua masih 52 tahun. Akan tetapi alasan keterlambatan ini bukanlah alasan bagi kita untuk melambatkan pembangunan di Papua. Papua adalah Indonesia. Pun, Papua belakangan bukan karena kemauan mereka. Terbukti, beberapa Putra Papua ikut aktif membebaskan diri demi bisa bergabung pada pelukan NKRI. Sekadar menyebut nama, ada Silas Papare, Martin Indey, Frans Kaiseipo, dan masih banyak lagi. Dan, misi Soekarno membebaskan Papua dari jajahan Belanda pun bukanlah alasan ekonomis atau imperialis. Papua diimpikan setara dan memang harus setara dengan daerah lainnya. Kata kita, NKRI harga mati yang artinya Papua harus masuk pada NKRI.

Akan tetapi, frase “harga mati” benar-benar mati. Mereka dimaknai sebagai barang mati yang bisa diperlakukan sesuka hati. Imbasnya, Papua semakin menggeliat yang lalu tak menghidupi lagi Indonesia. Bukan tak mungkin, mereka sebenarnya sudah keberatan dengan Indonesia. Kalaupun tak keberatan, mereka sudah tak lagi tak mau tahu dengan Indonesia. Indonesia cukuplah sebagai pelengkap identitas atau catatan administratif di kartu penduduk, bukan di sanubari.

Kita bukan mencoba mencecar Papua dengan nada-nada spekulatif-destruktif: tak nasionalis atau bahkan tak setia dengan Indonesia. Justru, kita menggugat, sejauh mana Indonesia telah berbuat pada Papua? Hal itu perlu karena sebagai bangsa, kita tentunya harus seperasaan dengan Papua, bukan karena mereka kaya atau miskin, tetapi karena memang mereka adalah Indonesia. Ya, Indonesia yang mempunyai catatan historis, geografis, ideologis, dan cita-cita yang sama.

Kesamaan

Filsuf Prancis, Ernest Renan (1882) mengatakan bahwa suatu bangsa ada karena adanya perasaan pengalaman dan latar belakang yang sama dan tentu saja memiliki impian yang sama. Senada dengan itu, ilmuwan Jerman, Otto Bauer (1907) juga mengatakan bahwa bangsa itu terbentuk oleh sekelompok manusia dengan persamaan karakter yang tumbuh karena persamaan nasib. 

Intinya adalah kesamaan. Kesamaan itu kalau diperinci, apalagi setelah sepakat dan merdeka adalah kesamaan peluang untuk diperhatikan dan memerhatikan. Tidak ada ketimpangan antara daerah yang satu dengan yang lain. Manakala niat kesamaan itu telah dicederai, tentu saja yang merasa tidak diperlakukan sama berhak menuntut, termasuk marah. Dan, inilah yang sesungguhnya yang sedang dialami Papua: marah bukan karena memberontak, tetapi karena kurang diperhatikan.

Syukurlah baru-baru ini, Jokowi sudah mulai mengarah pada mengindonesiakan kembali Papua. Jokowi sudah membuka akses-pers bebas masuk ke sana. Wartawan asisng pun dipersilakan bebas meliput. Jokowi pula mengutarakan niatnya yang ingin menciptakan Papua secara keseluruhan sebagai wilayah yang damai, adil, dan sejahtera. Mudah-mudahan itu tidak sebatas alat kompromi.

Khusus untuk kebebasan pers ini harus diapresiasi luar biasa lagi karena dengan kebebasan itu, kita akan mendapatkan informasi yang berimbang, bukan lagi monopolis dari Polri/ TNI seperti selama ini. Kita tahu, berita dari Polri dan TNI selama ini terlalu ortodoks, bahkan sering seakan menyudutkan Papua dengan nada-nada separatisnya. Maka, dengan kehadiran pers ini, kita berharap informasi yang sebenar-benarnya terkuak.

Bahkan pada tingkat kemudahan atau praktisnya, akses keterbukaan pers ini sebenarnya sudah menjadi sebuah nama lain dari blusukan Jokowi ke tanah Papua. Jadi, mudah-mudahan dengan ini—setidaknya menjadi langkah awal—kita dapat mengindonesiakan kembali Papua, bukan secara administratif, melainkan secara substantif-ideologis. Kalau NKRI harga mati, kita tentu harus menghidupinya dengan mati-matian. Jangan mereka saja yang mati-matian cari perhatian. Kita pun harus—setidaknya gentian—memberi perhatian mati-matian kepada mereka.

Penulis aktif sebagai pegiat sastra dan budaya di Teater Z, Medan

Ikuti berita kami di Facebook


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home