Loading...
INDONESIA
Penulis: Sabar Subekti 00:01 WIB | Minggu, 20 November 2016

Mengkhawatirkan, Tokoh Agama Digunakan Politik Praktis

Dr. Abidin Wakano, M.Ag, pegiat perdamaian dari Maluku. (Foto: Sabar Subekti)

SALATIGA, SATUHARAPAN.COM – Situasi Indonesia sangat mengkhawatirkan jika para tokoh agama digunakan untuk kepentingan politik praktis dan ekonomi. Bahkan terjadi upaya mendelegitimasi lembaga seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Hal itu bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

Hal itu diungkapkan oleh Dr. Abidin Wakano, M.Ag dalam acara Partor for Peace yang diselenggarakan oleh United Evangelical Missin Asia, di Salatiga. Acara ini diselenggarakan dari Senin (13/11) hingga Rabu (23/11).

Abidin dalah tokoh Muslim Maluku dan pegiat untuk perdamaian dan dialog antar agama bersama pendeta Jacky Manuputty dari Gereja Protestan Maluku. Keduanya dikenal sebagai peace provocator di Maluku pasca konflik.

Menurut dia, jika tokoh agama digunakan untuk kepentingan politik praktis, maka pertentangan politik akan dibawa menjadi pertentangan teologis. Dan hal itu bisa mendorong pada munculnya radikalisme yang akan membahayakan persatuan. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah radikalisme ini akan direspons dengan radikalisme lain.

Dia mengatakan bahwa dalam situasi Indonesia sekarang ini, di mana politik identitas terus berkembang, yang diperlukan adalah agama menjadi sumber etika dan moral dan kehidupan politik, untuk mengatasi berbagai masalah sosial, dan bukan menjadi sumber pertentangan.

Merendahkan Tokoh Agama

Dia juga sangat menyayangkan apa yang terjadi di belakang ini, bahwa pertentangan politik praktis dibawa pada pertentangan teologis, bahkan dengan merendahkan totkoh-tokoh agama yang sudah dikenal memiliki pengetahuan yang tinggi.

Abidin, misalnya, menyesalkan adanya perendahan terhadap tokoh agama,seperti Prof. Dr. Quraish Shihab, Prof. Dr. Syafii Maarif, dan KH Said Agil Siradj. Bahkan menurut Abidin, Said Agil Siradj dikenal sebagai doktor sejuta hadits. Namun banyak pihak yang melecehkan mereka.

Abidin mengatakan bahwa situasi itu berkembang karena adanya ketimpangan sosial, pendidikan dan ekonomi. Oleh karena itu, tokoh-tokoh agama seharusnya tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis yang menimbulkan pertentangan. ‘’Kita membutuhkan dialog antar agama, dan terutama untuk dialog kehidupan yang mengatasi masalah ketimpangan sosial dan ekoniomi,’’ katanya.

Dia mengatakan bahwa Indonesia membutukan upaya memperkuat persatuan yang terletak pada nilai-nilai universal dengan membangun kebaikan, kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan bersama. ‘’Indonesia membutuhkan kebersamaan dalam nilai-nilai kemanusian, bukan mengembangkan opini untuk sistem yang berbeda,’’ katanya.

Terkait dengan Islam, Abidin mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus mencermati perkembangan, karena yang muncul dengan mengklaim sebagai berjuang untuk Indonesia, justru  jangan-jangan berakibat merusak Indonesia, dan keislaman.

Abidin mengatakan bahwa banyak organisasi Islam yang berdiri sebagai pengawal NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Namun situasi sekarang ini akan menjadi ujian bagi Islam di Indonesia. Jika lulus, maka akan naik kelas dan Indonesia bisa menjadi tempat belajar bagi Islam moderat yang menyebarkan kebaikan bagi semua.

Pengalaman Ambon

Sebagai pegiat perdamaian dan dialog antar agama di Maluku yang pernah mengalami konflik kekerasan, Abidin mengatakan bahwa warga Muslim dan Kristen telah saling memahami dan mulai hidup berdampingan dengan damai.

Menurut dia untuk perdamaian lebih penting adalah dialog kehidupan melalui perjumpaan dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari, dimana umat agama yang berbeda bekerja bersama untuk keadailan dan kebaikan, ketimbang pernyataan-pernyataan verbal.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home