Loading...
OPINI
Penulis: AE Priyono 08:02 WIB | Senin, 10 Maret 2014

Menguatnya Ortodoksi Rezim Elektoral

SATUHARAPAN.COM - Riset UGM-UiO baru-baru ini mempresentasikan apa yang mereka sebut “empat temuan besar” dalam politik demokratisasi Indonesia selama empat tahun terakhir (2009-2013). Keseluruhan temuan itu bisa diringkas dalam rangkaian narasi-logis berikut.

Pertama,  bahwa demokrasi Indonesia sudah berkembang baik, khususnya sebagai aturan main elektoral. Kedua, bahwa demokratisasi kini makin digerakkan oleh politik-berbasis-tokoh (figure-based politics). Ketiga, bahwa sementara masyarakat sipil mulai mendesakkan gagasan negara-kesejahteraan, mulai terlihat indikasi bahwa: keempat, sebagian tokoh elite memainkan strategi politik populis untuk meraih lebih banyak dukungan suara.

Riset UGM-UiO ini menggunakan metodologi yang sama dengan yang digunakan dalam dua putaran riset Demos-UiO (2004, 2007) sebelumnya, yakni mewawancarai ratusan informan-ahli yang bergerak di 14 isu-fokus yang menjadi perhatian mereka. Para informan yang tersebar di sebagian besar provinsi Indonesia itu digali pengetahuan dan pengalamannya melalui wawancara panjang berbasis kuesioner berisi ratusan pertanyaan. Baik yang dilakukan UGM sekarang maupun Demos sebelumnya, kedua riset masih dipandu oleh supervisor yang sama, Prof. Olle Törnquist, Indonesianis asal Swedia yang bekerja sebagai guru besar ilmu politik Universitas Oslo.

Apa yang berbeda, berubah, atau yang baru pada temuan-temuan riset terakhir ini jika dibandingkan riset sebelumnya?

Stagnasi demokrasi?

Tidak berbeda dengan temuan Demos sebelumnya, temuan UGM juga menunjukkan data yang sama. Aturan formal demokrasi Indonesia memang makin terinstitusionalisasi dengan mantap. Ini juga berkat skenario institusionalisasi-demokrasi-dari-atas yang mulai diterapkan sejak 1999. Tapi menyimpulkan data itu secara gampangan sebagai menunjukkan terjadinya perbaikan demokrasi secara keseluruhan, jelas menyesatkan.

Data mengenai pemantapan institusionalisasi demokrasi yang ditemukan (kembali) oleh UGM itu sebenarnya terbatas pada aspek-aspek elektoral saja. Agar mendapatkan gambaran yang lebih lengkap, data itu juga harus dikaitkan dengan siapa yang paling dominan memanfaatkannya atau menyalahgunakannya.

Perlu diingat bahwa riset ini, sebagaimana riset Demos, masih menggunakan definisi demokrasi khususnya dalam kaitannya dengan kapasitas kontrol menyangkut isu-isu publik atas dasar kesetaraan politik warganegara. Inilah elemen-elemen substansial demokrasi di luar kerangka prosedural-institusionalnya. Dengan kata ini, proses demokratasasi bukan sekadar penyempurnaan institusi-institusinya, tetapi juga bagaimana ia membentuk pola-pola relasi kuasa antara aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.

Jadi, perbaikan salah satu aspek demokrasi yang diperlihatkan temuan itu harus tetap dikaitkan dengan tiga elemen substansial itu. Benarkah perbaikan mekanisme dan prosedur elektoral memiliki dampak pada perbaikan kapasitas kontrol warganegara, sejauh mana mereka dilibatkan secara organik dalam proses-proses pembuatan kebijakan publik, atau apakah mekanisme elektoral itu justru makin membuat sistem menjadi bersifat ekslusioner?

Pada kenyataannya, selama sepuluh tahun terakhir ini berbagai riset justru menunjukkan terjadinya stagnasi dan kemunduran demokrasi di sana-sini. Alih-alih menyimpulkan terjadinya perbaikan, riset-riset lain justru memperlihatkan bahwa demokrasi elektoral malah memfasilitasi munculnya kembali pola-pola patronal dalam proses politik lokal (Klinken 2006), hanya memperkuat pengaruh elite konservatif yang resisten terhadap agenda-agenda progresif (Mietzner 2012), diokupasi oleh oligarki yang makin kuat di tingkat nasional (Winters 2013), serta gagal menanggulangi korupsi dan intoleransi agama (Vatikiotis 2014).

Dibandingkan dengan kesimpulan-kesimpulan itu, maka temuan pertama UGM bahwa demokrasi mengalami perbaikan, memang menjadi sangat sumir dan meragukan. Tidak ada pula penjelasan memadai mengapa “stagnasi demokratik” yang menjadi salah satu kesimpulan penting riset sebelumnya (Demos 2009) serta merta berubah ke arah “perkembangan yang lebih baik” itu. Abstain dari penjelasan ini, riset UGM itu seperti berangkat dari titik nol sama sekali.

Adakah peluang baru?

Saya sendiri memiliki interpretasi berbeda mengenai data itu. Perbaikan demokrasi elektoral selama ini dikerjakan oleh partai-partai politik. Bias kepentingan partai-partai besar sangat mendikte berbagai rumusan undang-undang yang berkenaan dengan sistem elektoral. Sebut saja misalnya berbagai aturan mengenai parliamentary-treshold, mengenai pemilihan umum dua-kali – yang kemudian menyebabkan MK membatalkan UU No. 42/2008 – yang memustahilkan calon presiden dari luar partai. Atau mengenai sulitnya gagasan pembentukan partai lokal. Dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, munculnya politisi konservatif yang berpengaruh dalam proses legislasi, seperti ditunjukkan Mietzner (2012), telah membuat independensi KPU diintervensi, juga diredamnya gebrakan-gebrakan anti-korupsi melalui upaya pelemahan KPK – proses yang masih terus berlanjut hingga sekarang dengan pembahasan atas revisi KUHAP. Tak kalah penting dari itu, politisi – cum – legislator sejenis itu pula yang mengesahkan UU Ormas yang membatasi kebebasan sipil-politik masyarakat, setelah sebelumnya menggodok RUU Kamnas yang tak kalah otoriternya.

Dalam situasi ketika partai-partai politik makin konservatif dan egosentris seperti itulah, pelembagaan inistiatif-inisiatif konservatif telah membuat sistem politik semakin tertutup dan semakin defensif. Proses-proses politik yang semakin berpihak pada kepentingan politisi konservatif telah menciptakan ortodoksi baru dalam sistem demokrasi elektoral Indonesia. Semua ini menjelaskan bahwa stagnasi demokratik sepenuhnya masih berlangsung.

Kendatipun demikian, pada saat yang bersamaan, berbagai skandal korupsi dan perilaku moral-busuk para politisi semakin memperluas perasaan antipati publik terhadap partai-partai politik. Political distrust mengalami proliferasi bahkan terhadap hampir seluruh proses demokrasi. Jadi, dalam suasana democratic dissatisfaction yang meluas ini, mungkinkah masih ada peluang untuk perubahan dari dalam sistem? ***

 

Penulis adalah mantan Deputi Riset Demos (2003-2008)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home