Loading...
OPINI
Penulis: Yu Un Oppusunggu 11:33 WIB | Kamis, 06 Maret 2014

MPR dan Ancaman Krisis Konstitusional di Tahun 2014

SATUHARAPAN.COM - Tahun politik 2014 mendatangkan kekhawatiran berbagai pihak. Tidak kurang Presiden Yudhoyono sendiri menyatakan kekhawatirannya akan kemungkinan kekosongan jabatan pimpinan negara bila pemilu tidak mulus menghasilkan pasangan presiden dan wakil presiden pilihan rakyat. Akibatnya Indonesia akan mengalami krisis konstitusional.

Kekhawatiran ini bersumber pada pandangan akibat empat perubahan atas UUD 1945. Pasal 1 (2) UUD 1945 yang sebelumnya menyatakan bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” setelah Perubahan Ketiga menjadi berbunyi “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Perubahan yang sama membuat Presiden dipilih langsung oleh rakyat, demikian pasal 6A(1), dan MPR hanya berwenang untuk melantik pasangan terpilih (pasal 3(2)).

Bila pemilu tidak berjalan mulus, maka Indonesia bisa tidak memiliki Presiden dan Wakil Presiden ketika masa jabatan Presiden Yudhoyono berakhir. Karena MPR tidak bisa memilih Presiden, maka terjadi krisis konstitusional. Presiden Yudhoyono tidak dapat menerbitkan dekrit presiden untuk menghindari kekosongan jabatan presiden. Penerbitan dekrit presiden tidak hanya kontroversial, namun juga inkonstitusional karena dua alasan.

Pertama, dekrit adalah produk politik, bukan produk hukum. Dekrit baru akan mempunyai dampak hukum bilamana ia diterima dan diakui oleh seluruh rakyat Indonesia melalui prosedur hukum. Penerimaan dan pengakuan tersebut akan melibatkan suatu proses pelik. Meskipun Presiden adalah Kepala Negara, namun dalam negara berbentuk republik orang yang menjabat Presiden tidak dapat secara sepihak menyatakan masa jabatannya berlanjut meski untuk sementara waktu dan demi menghindari krisis.

Kedua, secara hukum, seseorang hanya bisa menjabat Presiden jika MPR melantiknya. Sekali pun, misalnya, Presiden Yudhoyono mengeluarkan dekrit secara formal ia harus dilantik oleh MPR. Maksud tersirat pasal 3(2) adalah pelantikan pasangan calon pilihan rakyat. Oleh karena itu, MPR tidak dapat melangsungkan pelantikan berdasarkan dekrit.

Namun sesungguhnya kekhawatiran akan krisis konstitusional adalah tidak berdasar sebab berdasarkan pandangan yang keliru. Kekeliruan tersebut harus diluruskan. Pelurusan pertama, MPR tidak pernah turun derajat menjadi sekedar lembaga tinggi negara. Perubahan UUD 1945 hanya mengurangi kewenangan MPR, namun tidak pernah menurunkan derajatnya sebagai lembaga tertinggi negara.

Sebagai hukum positif tertinggi di Indonesia, UUD 1945 menjadi landasan hukum dari semua undang-undang, dan segala peraturan di bawahnya. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi menguji keselarasan undang-undang dengan UUD 1945. Namun, menurut Pasal 3(1) (Perubahan Ketiga), hanya MPR yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945. Dengan pengaturan semacam ini, tersirat suatu struktur berpikir yang menunjukkan kedigdayaan MPR terhadap lembaga tinggi negara lainnya. Meskipun MPR tidak lagi melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat dan kehilangan kewenangan memilih Presiden, dengan tetap mempunyai kewenangan menetapkan dan mengubah UUD 1945 ia tetap merupakan lembaga tertinggi negara.

Pelurusan kedua, UUD 1945 pasca-Perubahan mempunyai mekanisme jalan keluar bilamana terjadi krisis konstitusional. Bilamana terjadi kekosongan jabatan pimpinan negara, MPR berdasarkan kewenangannya dapat melakukan Perubahan Kelima terhadap UUD 1945. Dengan menambahkan pasal atau ayat baru, MPR menambahkan sendiri kewenangan memilih Presiden bilamana terjadi kekosongan jabatan akibat tidak ketiadaan pasangan pilihan langsung rakyat menurut Pasal 6A(1).

Perubahan Kelima ini pada intinya harus menyatakan bahwa Presiden pilihan MPR adalah mandataris yang untuk periode singkat tertentu menjalankan pemerintahan dan menyelenggarakan pemilu sebagai pelaksanaan atas Pasal 6A(1). Setelah terdapat pasangan Presiden dan Wakil Presiden pilihan rakyat, sang mendataris mempertanggungjawabkan kewajibannya kepada MPR. Selanjutnya, MPR melantik pasangan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden menurut Pasal 3(2).

UUD 1945 memang tidak mengatur perubahan sepihak semacam ini, namun ia juga tidak secara eksplisit melarangnya. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR bertindak dalam kewenangannya menurut UUD 1945. Karena Perubahan Kelima adalah untuk memfasilitas hak konstitusional rakyat, maka tidak ada pemasungan kedaulatan rakyat.

Sebagai negara yang berbentuk republik, kedaulatan ada di tangan rakyat. Salah satu bentuk kedaulatan tersebut mengemuka secara berkala saat rakyat memilih anggota DPR/DPRD, kepala daerah, dan Presiden-Wakil Presiden. Suatu Undang-Undang Dasar tidak pernah bisa membagi habis kedaulatan rakyat. Ia hanya bisa membagi dan melembagakan sebagian dari kedaulatan yang rakyat berikan. Di luar itu, rakyat tetap menggenggam kedaulatan dan tidak membaginya kepada pihak lain.

Kondisi ini tidak berubah sebelum maupun sesudah Perubahan UUD 1945. Sebagai contoh, UUD 1945 tidak (bisa) membatasi kehendak rakyat untuk terjadinya perubahan bunyi suatu pasal atau ayat. Namun UUD 1945 dapat mengatur tentang mekanisme perubahan tersebut, yakni setelah melalui sidang MPR dan berdasarkan suara terbanyak.

Secara politik Perubahan Kelima yang demikian dapat diterima. Sebab selain tidak mengusik hak politik rakyat, sang mandataris hanya bekerja dalam waktu tertentu yang singkat dan untuk melaksanakan amanat yang tertentu pula.

Bilamana potensi krisis konstitusional sudah menjadi demikian nyata sebelum masa jabatan MPR periode 2009-2014 berakhir, maka sebelum mereka demisioner Perubahan Kelima tersebut dapat dilakukan.

Selaras dengan pesan ahli hukum legendaris Indonesia Profesor Djokosutono, “Geordend denken en geordend doordenken” – berpikir tertib dan berpikir menembus secara tertib – perubahan terhadap UUD 1945 yang demikian adalah selaras dengan hukum Indonesia. 

Penulis adalah Dosen FHUI, saat ini sedang mengambil program PhD di Universitas Washington, Seattle, AS dengan Fulbright Presidential Scholarship


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home