Loading...
ANALISIS
Penulis: Eben Ezer Siadari 19:03 WIB | Jumat, 26 September 2014

Menguji Kabinet Teknokratis Jokowi-JK

Presiden terpilih periode 2014-2019 Joko Widodo saat memberikan keterangan kepada wartawan terkait posisi menteri di kabinet Jokowi-JK di rumah transisi, Jalan Situbondo, Jakarta, Senin (15/9). (Foto: Elvis Sendouw)

SATUHARAPAN.COM – Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, akhirnya mengumumkan postur kabinet yang akan membantu mereka menjalankan pemerintahan sejak 20 Oktober mendatang. Jokowi-JK tampaknya dengan sadar melewatkan peluang memberi kejutan yang ditunggu-tunggu para pendukungnya, ketika keduanya akhirnya berkompromi untuk memberi 16 dari 34 kursi (47 persen) menteri kepada orang-orang yang merupakan representasi parpol. Sedangkan para profesional nonpartai mendapat jatah 18 kursi menteri (53 persen).

Pada masa kampanye Pilpres yang lalu, berulang kali Jokowi menekankan perlunya kabinet diisi oleh para profesional yang benar-benar independen dari kepentingan politik. Hal itu oleh banyak pengamat dicatat sebagai janji resmi Jokowi untuk merumuskan sebuah kabinet teknokratis, yaitu kabinet ahli yang diisi oleh orang-orang nonpartisan.

Kini kian jelas bahwa Kabinet Jokowi-JK tidak mungkin merupakan kabinet teknokratis murni. Pertanyaan yang kini mengemuka ialah apakah dengan formasi yang demikian masih memungkinkan bagi Jokowi-JK membangun kabinet teknokratis? Kabinet teknokratis seperti apa yang dibutuhkan publik dewasa ini dan bagaimana sebaiknya Jokowi-JK menyusun kabinetnya, di tengah dominannya kekuatan parpol pendukung?

Supremasi Keilmuan

Bagaimana komposisi ideal sebuah kabinet teknokratis memang masih jadi perdebatan dari dulu hingga sekarang. Majalah The Economist (2011) dalam sebuah laporannya menggambarkan sulitnya menentukan seperti apa formasi ideal kabinet yang teknokratis. Batasannya selalu berubah dari waktu ke waktu. Tidak ada aturan yang baku apakah sebuah kabinet teknokratis harus 100 persen diisi oleh para profesional nonpartisan atau cukupkah bila mereka mengisi sebagian besar saja kursi menteri (seperti dalam kabinet Jokowi yang jumlahnya mencapai 53 persen).

Menarik memahami bahwa teknokrasi yang berasal dari bahasa Yunani (tekhne yang berarti keterampilan dan kratos yang bermakna kekuasaan atau pemerintahan) pada awalnya adalah sebuah konsep yang bersifat elitis. Teknokrasi mensyaratkan pemerintahan yang diisi oleh para ilmuwan yang berkompeten di bidangnya. Keharusan ini didasarkan pada postulat bahwa hanya pemerintahan yang tunduk pada supremasi ilmu pengetahuan yang paling dapat memberi kesejahteraan pada rakyatnya.

Pertama kali diperkenalkan oleh seorang insinyur asal California bernama William Henry Smyth pada tahun 1919, popularitas istilah teknokrasi melambung di Amerika Serikat pada era 1930-an, lewat Gerakan Teknokrasi (Technocracy Movement) yang dipelopori oleh seorang insinyur bernama Howard Scott (Ernst R. Berndt, 1982). Teknokrasi dianggap sebagai upaya rekayasa sosial yang paling tepat menjawab persoalan negara dalam memenuhi kesejahteraan warga negara. Scott ketika itu mengklaim bahwa pemerintahan teknokratis merupakan sebuah temuan penting dalam peradaban modern. Menurut dia, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, persoalan-persoalan kemanusiaan ditangani secara ilmiah, terbebas dari campur tangan politik, uang dan korupsi (The Technocrat, 1937).

Demikian besarnya peran ilmu pengetahuan dan cendekiawan dalam kabinet teknokrasi, sehingga salah satu ciri khas kabinet teknokratis ialah kuatnya peranan perencanaan serta disiplin untuk mengimplementasikannya. Tidak mengherankan bila kabinet teknokrasi sering juga dianggap sebagai jenis kabinet yang biasa diterapkan di negara-negara sosialis yang peran negara sangat besar. Di negara-negara Komunis, teknokrasi dianggap simbol transformasi kekuasaan dari kaum proletar yang memenangkan pertarungan politik kepada kaum cendekiawan yang dianggap lebih memahami dan kompeten dalam menjalankan pemerintahan.

Menurut sosiolog asal Prancis Henri de Saint Simon (1760-1825), ide teknokrasi datang dari pemahaman bahwa kepemilikan atas perekonomian beserta fungsi-fungsi negara lainnya harus ditransformasikan dari partai politik kepada kabinet ahli yang menjalankan pemerintahan berdasarkan asas-asas sains. Dengan cara demikian permasalahan-permasalahan kenegaraan dapat diatasi melalui pilihan kebijakan yang rasional dan objektif, terhindar dari pengaruh negatif kepentingan politik maupun uang.

Pelajaran Widjojonomics

Indonesia pernah mengalami masa keemasan teknokrasi pada 10 tahun pertama rezim Orde Baru. Sejumlah teknokrat dalam pemerintahan Soeharto, di bawah arahan Prof Widjojo Nitisastro, menjadi konseptor sekaligus pengambil kebijakan pembangunan ekonomi. Saat itu, kabinet teknokratis dengan cepat dapat mengatasi tekanan inflasi tinggi serta mengurangi angka kemiskinan yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya. Stabilitas perekonomian kemudian menjadi landasan bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi dalam dekade-dekade selanjutnya.

Di bawah patronase Jenderal Soeharto yang mengendalikan stabilitas sosial politik melalui TNI, para teknokrat mendapat kesempatan merumuskan serta menjalankan kebijaksanaan pembangunan secara terencana. (Di kemudian hari mazhab ekonomi Orba ini sering disebut sebagai Widjojonomics). Dapat dikatakan bahwa perencanaan pembangunan yang dijalankan oleh Widjojo dkk kala itu merupakan kebijaksanaan yang dilandaskan pada pendekatan sains, berbasis pada ilmu ekonomi pembangunan Keynesian. Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) memegang peran kunci dengan teknokrat-teknokrat kampus menjadi motornya.

Namun, sesungguhnya itu baru setengah dari cerita. Bila ditelisik lebih jauh, perlunya kabinet teknokratik pada masa itu bukan semata karena adanya kebutuhan akan pemerintahan yang tunduk pada supremasi sains. Ada kebutuhan lain yang lebih besar. Hadirnya pemerintahan teknokratis kala itu terutama didorong oleh kebutuhan untuk menjawab ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan yang mengalami kemerosotan legitimasi yang sangat dalam. Kehadiran teknokrat dibutuhkan bukan semata karena keahlian maupun kecendekiawanan mereka, melainkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat yang sudah berada pada titik nadir.

Hal ini dapat dijelaskan dengan membaca dokumen ceramah Widjojo pada seminar yang diselenggarakan KAMI (1966) di Universitas Indonesia – seminar yang menjadi salah satu landasan utama arah ekonomi pasca-Soekarno. Kala itu Widjojo secara tersirat memberikan alasan mengapa teknokrasi diperlukan dan teknokrat seperti apa yang tepat dalam mengisi pemerintahan. Widjojo ketika itu menyitir pendapat Paul Alexander Baran, satu-satunya ekonom AS (1909-1964) beraliran Marxis di era 1960-an, untuk menggambarkan kontradiksi yang kerap muncul pada orang-orang yang menyebut diri sebagai intelektual.

Mengacu pada tulisan Baran yang berjudul The Commitment of Intellectual, Widjojo mengatakan ada dua tipe intelektual yang dikenal secara umum. Pertama adalah intelektual yang mengambil posisi sebagai pekerja intelek (intellectual worker), yang bekerja dengan gagasan dan kreativitasnya untuk siapa saja yang berani membayar paling tinggi. Sedangkan intelektual kedua, adalah mereka yang bekerja menggunakan kapasitas intelektualnya yang terutama digerakkan oleh keinginan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.

Yang pertama, yang kerap juga dijuluki intelektual tukang, adalah intelektual yang bekerja dengan menjual ‘otaknya.’ Ia tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai. Yang penting dia bekerja menggunakan intelektualitasnya seturut dengan yang dimintakan kepadanya. Dalam kata-kata Widjojo, para intelektual tukang ini bekerja dengan prinsip, “Kami menghasilkan alat-alat. Kami berhenti di sini. Saudara-saudara, orang lain di dunia, para politikus, yang menentukan bagaimana alat-alat ini dipakai. Alat-alat itu mungkin dipakai untuk tujuan-tujuan yang kebanyakan dari kami menganggapnya tidak baik. Apabila demikian kami merasa sayang. Akan tetapi sebagai ahli-ahli ilmu pengetahuan, hal itu bukanlah soal kami.”

Adapun intelektual jenis kedua, ialah mereka yang setia pada ilmunya, selalu peka pada suara nurani masyarakat bahkan menjadi penggugah yang terdepan, walaupun dengan risiko dianggap sebagai pengkritik dan kerap dikucilkan.

Menurut Widjojo, kaum intelektual (dan dengan sendirinya para teknokrat di pemerintahan) harus membuat pilihan akan masuk kemana di antara kedua golongan ini. Apakah akan menjadi intelektual tukang yang hidupnya dan masa depannya sangat mungkin lebih menjanjikan karena dihargai pasar demikian tinggi, atau menjadi intelektual pembawa suara hati nurani masyarakat yang konsekuensinya harus siap terkucil bahkan terpental manakala diharuskan mengubah pendiriannya.

Apa yang disitir oleh Widjojo 48 tahun lalu tersebut masih relevan untuk dikemukakan saat ini, terutama ketika Jokowi-JK menyusun kabinet teknokratis yang ia janjikan. Janji Jokowi-JK untuk membentuk kabinet teknokratis sesungguhnya terutama untuk merespons aspirasi masyarakat yang sangat tidak puas pada kinerja menteri-menteri yang merupakan representasi parpol selama ini. Menteri-menteri berlatar belakang partai itu dinilai lebih tunduk kepada kepentingan politik ketimbang menjalankan amanat rakyat.

Intelektual-teknokrat yang diperlukan Jokowi-JK dalam kabinetnya jelaslah bukan sekadar intelektual-profesional, karena profesionalisme saja dapat terjebak menjadi intelektual tukang seperti yang telah ditengarai oleh Widjojo empat dekade lalu. Mereka tak cukup hanya bermodalkan kompetensi dan kesamaan visi dengan Presiden. Lebih dari itu, mereka harus mampu dan berani menyuarakan kebenaran manakala menghadapi tekanan kepentingan politik dari luar, namun terutama dari parpol-parpol pendukung Jokowi-JK sendiri.

Menjadi sangat penting bagi Tim Transisi Jokowi meneliti rekam jejak para teknokrat yang akan bergabung ke dalam kabinet Jokowi-JK. Rekam jejak yang diperlukan bukan semata catatan tentang capaian akademis maupun pengalaman dalam merumuskan kebijakan. Yang lebih penting adalah rekam jejak keberanian dalam menyuarakan nurani rakyat, keteguhan dalam mempertahankan prinsip di tengah tekanan politik maupun tekanan publik. Rekam jejak tersebut diharapkan dapat menjadi penyaring bergabungnya para intelektual tukang ke dalam kabinet, yang dalam satu dekade reformasi telah banyak bergentayangan dari satu partai ke partai lain.

Daftar Pustaka

What Is Technocracy, dalam Majalah The Technocrat, Edisi September 1937, halaman 3

From Technocracy to Net Energy Analysis: Engineers, Economist and Recurring Energy Theories of Value, Ernst R Berndt, MIT, September 1982

 Technocrats, Minds Like Machines dalam The Economist, 19 November 2011

Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan yang Tidak Bijaksana, Prof. Dr. Widjojo Nitisastro dalam Jalur Baru Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin, Pustaka SH, 1984

------

Eben Ezer Siadari adalah penulis independen, co-author The Chinese Ethos, Memahami Adidaya China dari Perspektif Budaya dan Sejarah (Institut Darma Mahardika, 2013)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home