Loading...
ANALISIS
Penulis: Sabar Subekti 11:03 WIB | Senin, 10 Oktober 2016

Menguji Keaslian Orang Indonesia

Ritual adat Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, sebuah komunitas orang-orang asli Indonesia. Namun mereka sampai sekarang amsih harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan atas adat, budaya dan komunitas mereka. (Foto: dari mongabay.co.id)

SATUHARAPAN.COM - Beragam tanggapan muncul ketika Musyawarah Kerja Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merekomendasikan amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945, tentang syarat calon residen dan wakil presiden adalah orang Indonesia asli.

PPP ingin mengubah Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 tentang syarat calon presiden. Pasal itu menyebutkan, "Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden".

Yang diinginkan PPPpasal itu menjadi berbunyi, "Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden".

Ada yang menilai usulan itu sebagai berbau sentimen SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), atau diskriminatif atas dasar etnis dan ras. Ada juga sejumlah komentar yang nadanya menolak, dan ada juga yang menerima.

Asli dan Bukan Asli

Ada baiknya juga melihat pasal dari konstitusi itu sebelum mengalami perubahan. Pasal 6 (1) UUD 1945 yang belum mengalami perumahan berbunyi, ‘’Presiden ialah orang Indonesia asli.’’

Dan untuk itu, penting juga melihat Pasal 26 UUD 1945 tentang warga negara yang menyebutkan; (ayat 1): ‘’Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.’’

Pasal 26 ayat 1 itu tidak mengalami perubahan. Jadi apakah yang dimaksud dalam Pasal 6 tentang orang Indonesia asli adalah sama dengan maksud pasal 26 yang menyebut orang bangsa Indonesia asli. Ini berarti orang dari bangsa lain, bukan bangsa Indonesia asli, bukan orang Indonesia asli.

Jika ini yang dijadikan dasar, konsekuensinya adalah orang yang berdarah bangsa lain, Malaysia, Thailand, Eropa, Afrika, Parsi, Arab, Amerika, Tiongkok, Jepang, dan yang lainnya adalah bukan orang Indonesia asli, meskipun bisa menjadi warga negara.

Sedangkan orang bangsa Indonesia asli adalah Jawa, Sunda, Bali, Batak, Dayak, Sumba, Bugis, Padang, Papua, Ambon, Ternate, Kei, Timor, Flores, Aceh, dan sebagainya.  

Konsekuensi berikutnya adalah ada warga negara yang berhak menjadi presiden atau wakil presiden, dan ada yang tidak berhak menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia, karena bukan orang bangsa Indonesia asli. Dan masalah ini lebih jauh akan mengarah pada masalah kesamaan kedudukan warga negara di depan hukum, dan diskriminasi ras.

Uji Keaslian Orang Indonesia

Jika syarat itu dimasukkan dalam konstitusi, berarti kita membutuhkan proses dan standar untuk menguji keaslian orang (bangsa) Indonesia. Dan tentang ini terbayangkan, salah satunya, tentang tes DNA (Deoxyribonucleic acid) pada setiap orang yang akan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.

Untuk itu, kita harus menentukan rantai DNA seperti apa yang bisa digunakan untuk menentukan bahwa seseorang itu orang Indonesia asli, dan yang tidak sesuai disebut bukan orang Indonesia asli.

Terbayang kerumitan proses untuk mengujinya, karena menyangkut kemurnian ras. Sementara sudah berpuluh abad orang-orang dari bangsa Indonesia asli kawin-mawin dengan bangsa lain dan menurunkan orang-orang dengan darah campuran. (Tapi kalau hendak dilakukan juga mungkin bisa menjadi ‘’projek’’ bagi para ahli DNA).

Atau barangkali PPP telah membayangkan cara menguji keaslian orang Indonesia, misalnya, dengan menelusuri silsilah para calon presiden dan calon wakil presiden. Namun untuk itu, adakah parameter untuk menentukan sampai generasi ke berapakah yang harus digunakan buktikan keasliannya? Atau kader PP sendiri sudah bisa menunjukkan ‘’keasliannya’’ sebagai orang Indonesia?

Terkesan Biologis Banget

Mempersoalkan orang Indonesia asli dan orang Indonesia tidak asli tampaknya cenderung pada masalah ras, etnis, darah dan keturunan. Padahal di kalangan bangsawan pada masa kerajaan dulu, perkawinan dengan bangsa lain telah banyak terjadi. Di antara mereka bahkan juga kemudian menjadi penguasa di kerajaan di Nusantara ini.

Penekanan syarat orang Indonesia asli akan menggiring kita pada upaya rumit analisis manusia atas dasar aspek biologis. Jika ini menjadi perdebatan yang panjang, maka justru akan berdampak pada menerendahkan martabat manusia, terutama manusia Indonesia.

Seserius apakah masalah ini untuk dimasukkan dalam konstitusi? Apakah orang berdarah bangsa Indonesia asli adalah jaminan bahwa dia akan menjalankan konstitusi secara murni dan konsekuen? Apakah jaminan bahwa orang Indonesia asli tidak akan korupsi? Apakah orang Indonesia asli adalah jaminan tidak akan melakukan pelanggaran hak asasi pada warga bangsanya?

Kita membutuhkan syarat bagi pemimpin jauh melampaui masalah-masalah biologis, terutama aspek ras dan etnis, di mana tak ada manusia yang memilih lahir sebagai ras tertentu. Dan syarat yang lebih  serius adalah terkait perilaku, etika dan moralitas, serta kapasitas kepemimpinan mereka. Krisis yang kita hadapi sekarang dengan korumsi yang merajalela adalah krisis etika dan moralitas, bukan krisis kemurnian ras.

Yang Asli Sedang Diganyang

Gagasan dari PPP ini mencerminkan adanya hal yang paradoks. Di satu sisi sepertinya mengangkat dan memberi tempat terhormat bagi orang yang memiliki keaslian sebagai bangsa Indonesia, tetapi lupa bahwa selama ini kita menyaksikan banyak praktik yang merendahkan warisan Indonesia asli. Bahkan sekarang banyak yang asli Indonesia tengah diganyang, terutama kepercayaan asli orang Indonesia.

Bukankah keyakinan orang Indonesia asli, seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, penghayat kepercayaan, dan berbagai kelompok adat di berbagai daerah justru tidak diakui dan hendak dihilangkan? Kita menyaksikan ada tindakan secara hukum dan sosial untuk meminggirkan mereka secara masif.

Orang bangsa Indonesia asli adalah mereka yang bukan hanya dalam darahnya mengalir darah bangsa Indonesia asli, tetapi yang hidup dalam budaya, adat, keyakinan dan berelasi dengan alam Indonesia. Keindonesiaan ini yang tengah dihabisi oleh anasir asing yang kebarat-baratan dan kearab-araban.

Jadi, sebelum kita bicara syarat presiden dan wakil presiden harus orang Indonesia asli, lebih elok jika kita juga memberi rasa hormat dan menghidupkan warisan yang asli Indonesia, sekaligus memperkayanya melalui interaksi dan dialog antar budaya dan etnis.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home