Loading...
EKONOMI
Penulis: Tunggul Tauladan 07:21 WIB | Kamis, 08 Januari 2015

“Menjamurnya” Hotel di Jogja Jadi Polemik

Para pembicara dalam diskusi “Konstruksi Advokasi Perbaikan Tata Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta”, Rabu (7/1). Dari kiri ke kanan: Hestu Cipto Handoyo, Busyro Muqoddas, dan Zairin Harahap (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menjamurnya hotel di Yogyakarta makin menuai polemik. Isu lingkungan dan sosial menjadi masalah yang paling sering diperdebatkan, mulai dari kampus hingga diskusi di ruang publik. Menyoal pendirian hotel sekaligus izin pendirian yang dinilai makin mudah didapatkan, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) menggelar diskusi tentang “Konstruksi Advokasi Perbaikan Tata Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta”.

Diskusi pada Rabu (7/1) yang diselenggarakan di Sekretariat Pusham UII ini menampilkan tiga pembicara, yaitu Busyro Muqoddas (Dewan Pembina Pusham UII sekaligus mantan wakil pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK]); Zairin Harahap (Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum [LKBH], Fakultas Hukum, UII; dan Hestu Cipto Handoyo (Direktur Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum [PBKH], Universitas Atmajaya, Yogyakarta.

Busyro Muqoddas menilai bahwa selama ini, paradigma izin pendirian hotel hanya bertumpu pada soal ekonomi semata. Kini, paradigma tersebut dinilai telah salah. Pasalnya, menurut Busyro, paradigma izin pendirian hotel kini harus menyentuh soal lingkungan.

“Pendirian hotel di Yogyakarta telah melebihi batas normal sehingga berdampak pada lingkungan. Oleh karena itu saya berharap bahwa paradigma perizinan kini tidak hanya diorientasikan pada instrumen ekonomi, karena fakta menunjukkan bahwa banyak pemberian izin bangunan hotel atau bangunan komersial lainnya tidak memperhatikan aspek lingkungan,” ungkap Busyro.

Perubahan paradigma ini juga diamini oleh Zairin Harahap. Menurut Zairin, izin atau perda di Yogyakarta hanya memiliki paradigma ekonomi. Maka tidak mengherankan jika hotel atau mall kini marak berdiri di Yogyakarta.

“Untuk mengubah paradigma tersebut kini saatnya masyarakat berperan serta secara aktif. Karena selama ini saya melihat dalam upaya penyusunan kebijakan terdapat pelemahan peran serta masyarakat. Selama ini saya menilai bahwa sosialisasi atau public hearing hanya dijadikan formalitas saja,” kata Zairin.

Terkait dengan isu lingkungan yang terdampak akibat pembangunan yang makin tidak terkontrol, Zairin menekankan untuk berpegangan pada UU Nomor 32 Tahun 2009. Dalam UU tersebut, Zairin mengungkapkan bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan bersih.

“Dalam UU tersebut, masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan bersih. Oleh karena itu, kita bisa melakukan judicial review akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh maraknya pembangunan hotel,” kata Zairin.

Di sisi lain, Hestu Cipto Handoyo menyoroti tentang tata ruang di Yogyakarta akibat pembangunan yang makin tak terkontrol. Hestu mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY yang di dalamnya juga memuat tentang tata ruang. Dalam tata ruang tersebut, Hestu menyinggung soal ranah kewenangan untuk bisa melakukan gugatan.

“Hotel tersebut ranahnya terkait dengan bangunan atau gedung dan pariwisata. Jika kita mau mengejar persoalan pariwisata, maka itu bisa ditarik ke tingkat provinsi karena masuk ke soal kebudayaan, tata ruang, dan pertanahan. Namun jika terkait dengan kewenangan otonom, maka jadi kewenangan kabupaten,” kata Hestu.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home