Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Andreas A. Yewangoe 00:00 WIB | Kamis, 21 Januari 2016

Menyambut Sidang MPL-PGI: Tumbuh Bersama Dalam Keragaman

SATUHARAPAN.COM - Satu istilah yang diangkat (kembali) oleh Sidang Raya ke-16 PGI di Nias adalah “ugahari”. Ini istilah bahasa Indonesia yang asal-usulnya (mungkin) dari bahasa Melayu kuno dan/atau boleh jadi bahasa Jawa. Bagaimanapun dan dari manapun istilah itu berasal, satu hal sangat jelas, PGI berhasil menghidupkannya kembali. Istilah ini telah lama terkubur di bawah debu-debu sejarah oleh berbagai sebab.

Apa persisnya makna istilah tersebut? Tidak terlalu mudah memperoleh artinya yang pas. Namun demikian bisa difahami sebagai cukup, memadai, tidak berlebih-lebihan. Istilah-istilah ini secara langsung atau tidak langsung mengacu kepada sikap hidup tidak rakus. Secara positif, ugahari lalu bisa diartikan pula sebagai peri-laku adil dan berkeadilan, baik terhadap sesama maupun terhadap lingkungan yang di dalamnya kita hidup.

Sidang Raya Nias tersebut diletakkan di bawah sorotan tema, “Tuhan Mengangkat Kita Dari Samudera Raya”. Inilah sikap iman yang memasrahkan diri kepada kuasa dan perkenanan Allah di dalam kita menghadapi berbagai persoalan hidup, baik sebagai gereja mau pun sebagai bangsa. Secara simbolik memang tsunami yang melanda Aceh dan Nias tahun 2004 lalu ditampilkan sebagai latar-belakang. Berbagai kerusakan yang disebabkan oleh tsunami dahsyat itu telah berhasil dipulihkan. Namun demikian, sangat disadari bahwa bangsa kita masih tetap menghadapi berbagai tsunami dalam arti kiyasan.

Empat hal disinggung oleh SR itu, yang kemudian diangkat sebagai fokus keprihatinan dan perhatian serius gereja-gereja di Indonesia, setidak-tidaknya dalam lima tahun mendatang yaitu: kemiskinan, ketidakadilan, persoalan lingkungan dan radikalisme. Gereja-gereja sangat menyadari, tanpa intervensi Allah tidak mudah kita melepaskan diri dari persoalan-persoalan tersebut kendati itu tidak berarti kita berlaku pasif saja. Itulah sebabnya Sidang Raya juga menegaskan perlunya bekerja sama dengan segala anak bangsa untuk menanggulangi berbagai tsunami yang sedang melanda bangsa kita itu.

Rumusan-rumusan yang masih sangat umum ini biasanya dijabarkan dalam berbagai Sidang MPL-PGI berupa pikiran pokok. Di Malinau, Kalimantan Utara (2015) dirumuskan pikiran pokok: “Ugahari, Cukup Untuk Semua”. Malinau adalah sebuah kabupaten konservasi alam. Sebagaimana kita ketahui, lingkungan hidup kita telah rusak di mana-mana oleh ulah manusia. Karena itu Malinau menitik-beratkan perhatiannya pada pemulihan lingkungan hidup. Manusia mestinya bersikap ugahari dengan lingkungan hidupnya, tidak secara semena-mena memusnahkannya demi pencapaian keuntungan-keuntungan ekonomis belaka, yang pada gilirannya juga tidak mencerminkan keadilan bagi semua.

Gereja-gereja dengan sadar memilih posisi ini. Tetapi kita juga tahu, bahwa seruan dan isyarat Malinau itu sama sekali tidak didengarkan. Kebakaran hutan luar biasa terjadi meliputi pulau-pulau Sumatera dan Kalimantan. Tentu saja kebakaran hutan seperti ini bukan sesuatu yang baru sama sekali dalam sejarah bangsa ini. Yang baru adalah, sebuah sebuah keputusan dari Pengadilan Negeri Palembang yang melihat kebakaran (atau lebih tepat, pembakaran) hutan itu bukan sebagai persoalan karena toch pohon-pohon yang terbakar akan tumbuh lagi. Jadi tidak ada yang bersalah dalam hal ini, kendati kita tahu bahwa beberapa bulan sebelumnya seorang ibu tua divonis bersalah karena menebang sebatang pohon. Dengan mata telanjang kita bukan saja melihat sebuah kenaifan atau bahkan kebodohan, melainkan juga kenyataan yang makin membenarkan adagium dalam bidang hukum: “Tajam ke bawah, tumpul ke atas.”

Dalam Sidang MPL-PGI Parapat (2016) kembali “Ugahari” diangkat tetapi dengan sudat masuk yang lain. Lengkapnya: “Spiritualitas Keugaharian, Tumbuh Bersama Dalam Keragaman.” Sebenarnya hal-hal yang dikemukakan di sini bukanlah sesuatu yang terlalu baru juga, karena dalam setiap persidangan PGI topik-topik yang menyangkut keragaman, kesatuan, bahkan persekutuan telah sering diangkat.

Yang baru adalah bahwa topik-topik ini diletakkan di bawah “payung” spiritualitas keugaharian. Tentu harus dijelaskan, apa persis yang dimaksud dengan sspiritualitas keugaharian itu. Setidak-tidaknya dapat dikatakan, bahwa spiritualitas keugaharian adalah sikap pemasrahan diri ke bawah keadaan cukup dan memadai. Sebagai seorang Kristen, hal penyerahan diri mutlak ini dapat ditimba dari Doa Yesus sendiri, “Berikanlah kami pada hari ini makanan yang secukupnya”. Secukupnya menafikan sikap hidup berlebih-lebihan, apalagi kerakusan. Maka kalau seorang beriman menundukkan diri ke bawah spiritualitas keugaharian, itu bukanlah sekadar peri-laku praktis dan temporer, melainkan sebuah sikap iman yang melandasi dan mengarahkan kehidupan seumur hidup.

“Tumbuh bersama” mengindikasikan bahwa ada berbagai orang dan/atau komunitas manusia yang hidup berdampingan. Komunitas-komunitas ini bisa dilihat dari berbagai jenis: etnis, suku, ras, agama, ekonomi, politik, kepentingan. Tetapi hidup berdampingan tidak selalu bertindih-tepat dengan hidup serasi. Bahkan bukan tidak mungkin terjadi ketegangan-ketegangan bahkan gesekan-gesekan sosial oleh berbagai sebab.

Dalam sejarah bangsa kita, ketegangan-ketegangan dan gesekan-gesekan tersebut bukan sesuatu yang asing lagi. Mulai dari masa-masa permulaan lahirnya bangsa kita hingga tahun-tahun terakhir ini ketegangan-ketegangan dan gesekan-gesekan sosial yang multi-motivasi: politik, ekonomi bahkan agama cukup marak. Untungnya, kita masih mampu menyelesaikannya. Maka memang adalah suatu keajaiban bahwa bangsa kita masih bisa bertahan sebagai bangsa, kendati banyak bangsa-bangsa lain di Eropa seperti Uni Sovyet dan Yugoslavia pecah berantakan. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” kelihatannya masih ampuh.

Tetapi pertanyaannya adalah sampai kapan. Kemiskinan yang masih merupakan persoalan akut bangsa kita tetap menjadi pedang Domokles yang sewaktu-waktu jatuh dan menebas leher kesatuan kita. Bagaimana mempersempit jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin tetap merupakan upaya yang tidak habis-habisnya. Dulu di era Suharto, dikenal istilah “pemerataan”, namun dalam prakteknya justru kesenjangan makin menjadi-jadi. Di era Susilo Bambang Yudhoyono ada juga upaya-upaya serupa dengan misalnya membuka zona-zona ekonomi yang konon sesuai dengan spesifik wilayah. Namun demikian, hal-hal itu tidak juga berjalan baik. Bahkan negeri kita dipenuhi oleh mafia-mafia yang merajalela dalam berbagai bidang.

Di era Jokowi sekarang para mafia ini diberantas dan kembali sarana-sarana infra struktur digiatkan pembangunannya. Muah-mudahan bangsa kita cukup dewasa untuk bersabar, sehingga tidak mengajukan tuntutan yang aneh-aneh, seakan-akan sim sala bim dalam semalam terjadi keajaiban. Berkaitan dengan masalah ketidakadilan, rasanya ini juga akan tetap menjadi perjuangan yang tidak habis-habisnya. Kalau benar lembaga-lembaga pengadilan pun telah dimasuki oleh mafia-mafia, maka perjuangan kita menjadi berkali-kali lipat beratnya. Bagaimana dengan lingkungan hidup?

Kita baru saja menyinggung keputusan PN Palembang yang dianggap aneh. Mungkin juga keputusan-keputusan aneh mengenai lingkungan hidup ini (dan hal-hal lainnya) akan terus membentang di depan kita. Namun demikian, ada juga tanda-tanda pengharapan, yaitu komitmen 4 (empat) orang menteri untuk memulihkan danau Toba. Semoga bukan hanya danau Toba saja yang dipulihkan, melainkan juga setiap danau, sungai-sungai dan terusan-terusan yang selama ini telah dicemari di mana-mana, supaya sungguh-sungguh dipulihkan.

Radikalisme juga akan tetap menjadi pekerjaan rumah kita yang bukan tidak mungkin makin intens di tahun-tahun mendatang. Bom yang baru saja diledakkan di jalan Thamrin minggu lalu, di mana ISIS mengklaimnya sebagai perbuatan mereka, perlu mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak. Tentu saja benar bahwa tidak ada agama mengajarkan kekerasan, tetapi perlu juga disadari bahwa penafsiran keliru terhadap teks-teks kitab suci dapat membawa orang kepada sikap radikal. Saya rasa sudah tiba saatnya untuk diserukan kepada komunitas agama-agama untuk menafsirkan ayat-ayat kitab suci tidak secara harafiah belaka, melainkan juga secara kontekstual. Artinya setiap ayat kitab suci mestilah diperhatikan sungguh-sungguh lingkungan sosial budaya dan sejarah yang melingkupiya. Tidak setiap ayat yang tertulis mesti berlaku secara harafiah di dalam era kita ini.

Tanpa memperhatikan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka tumbuh bersama di dalam keragaman adalah sebuah utopia. Barangkali baik juga diserukan kepada bangsa kita untuk menjadikan tahun 2016 sebagai “Tahun Pertobatan”, kendati saya tidak memaksudkan bahwa kita hanya bertobat hanya pada tahun itu. Yang dimaksud adalah pertobatan sungguh-sungguh, tidak hanya ritualistik belaka. Kalau pertobatan ritualistik hampir setiap hari kita saksikan dan lakukan. Namun hampir tidak ada yang berubah di dalam lingkungan sosial kita. Maka pertobatan yang dimaksudkan adalah pertobatan yang membawa perubahan.

Tumbuh bersama di dalam keragaman sudah tentu tidak hanya diserukan kepada bangsa Indonesia, melainkan terutama juga untuk gereja-gereja. Rasanya keanekaragaman di dalam gereja cukup besar. Biasanya hal itu dilihat sebagai kekayaan spiritual. Namun kita juga harus jujur untuk mengatakan, keragaman itu bisa menjadi sumber perpecahan.

Sebagaimana berkali-kali dikatakan, maraknya jumlah gereja-gereja di Indonesia bukanlah semata-mata disebabkan oleh kehendak sukarela, melainkan juga dipicu oleh konflik-konflik yang terjadi di dalam gereja. Masuknya pemahaman teologi sukses sebagai akibat berpenetrasinya virus neo-kapitalisme di dalam gereja adalah fakta. Uang menjadi tujuan, dan gereja direduksi sedemikian rupa sebagai tidak lebih dari sekadar lembaga pengumpul uang. Yesus Kristus dimetamorfosakan ke dalam mammon, kendati mulut kita tidak henti-hentinya menyebut nama-Nya. Gereja-gereja mesti memperlihatkan keteladanannya, bahwa tumbuh bersama di dalam keragaman itu adalah mungkin asal semuanya rendah-hati dan tunduk kepada spiritualitas keugaharian itu.

Paulus berbicara mengenai keseimbangan, tidak saja dalam pengertian ekonomi, melainkan terutama dalam penghayatan iman. Maka yang kuat  secara iman ikut menguatkan mereka yang lemah.

 

Penulis adalah Pendeta (Emiritus) Gereja Kristen Sumba, mantan Ketua Umum PGI (2004 – 2014). Kini menjadi Ketua Majelis Pertimbagnan PGI (2014 – 2019).

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home