Loading...
OPINI
Penulis: Teuku Kemal Fasya 00:00 WIB | Kamis, 19 Februari 2015

Menyelamatkan Reformasi dan/atau Jokowi?

SATUHARAPAN.COM – Pilihan utama saya di Jakarta setelah kerja adalah menonton film di bioskop. Saat itu karena tak ada pilihan lain, saya memilih menonton film Di Balik 98, sebuah film nasional yang sedang banyak diputar di bioskop-bioskop Jakarta. 

Awalnya saya ingin menonton film Taken 3, untuk melanjutkan analisis kontradiksi peradaban Islam dan Barat. Alasan lain menonton film Di Balik 98 karena pernah menjadi aktivis di masa itu. Menonton film ini seperti melihat cermin sendiri sekaligus nostalgia sejarah. 

Sketsa Prahara

Kisah film ini seputar sejarah Mei 1998, ketika krisis ekonomi menjadi tsunami politik nasional. Rupiah atas dollar menembus angka Rp 13 ribu, harga-harga bahan pokok melonjak, dan antrean masyarakat membeli minyak tanah cukup susahnya. Sementara itu mahasiswa terus melakukan aksi reformasi menurunkan Soeharto. Ada kisah tentara membubarkan aksi mahasiswa secara brutal sehingga beberapa mahasiswa Universitas Trisakti meninggal. 

Kejadian itu menyulut kemarahan massa hingga pecah kerusuhan dan aksi rasialisme paling buruk di Indonesia setelah prahara 65-66. Saat itu, Soeharto baru pulang kunjungan dari Mesir melakukan perombakan kabinet. Sayangnya tidak ada yang mau menjadi menteri di kabinet barunya itu. Soeharto berada di pucuk dilema sehingga memilih mengundurkan diri. Sebelumnya secara “retoris Jawa”, Soeharto meminta Habibie untuk bersiap-siap menggantikannya.

Pada satu babak film ini tergambarkan ketegangan Soeharto dan Habibie, karena sesungguhnya ia tak ingin Habibie “mendadak” menjadi presiden. Itu adalah sisi terburuk hubungan penguasa utama Orde Baru dan putera pangerannya. Sebagai sebuah rekonstruksi sejarah, film ini bagus ditonton oleh generasi muda dan awam.

Sayangnya secara sinematografis film ini kurang cukup baik digarap. Estetika visualnya tidak cukup rapi. Para pemeran gagal mendalami watak asli para tokoh politik saat itu. Pemeran Habibie, Harmoko,  Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo, Nurcholis Madjid, dan Amin Rais terkesan karikatural. Sosok Soeharto (Amoroso Katamsi) juga tidak setua itu. Meskipun Soeharto tidak sesegar sebelum Ibu Tien meninggal, ia taklah seringkih itu.

Demikian pula properti dan setting situasi yang digunakan tidak begitu baik dan alamiah. Mobil-mobil yang dibakar terlihat mobil rongsokan, bukan mobil “mewah”. Demikian pula rumah Tionghoa yang dijarah dan dirusak bukan rumah hunian, tapi bangunan kosong. Seharusnya edit dan efek visual bisa memperbaiki penampakan, mengingat film ini banyak menggunakan figuran. Sutradara juga tidak teliti ketika kisah ini maju ke tahun 2015. Saat itu Daniel dan adiknya kembali ke bekas rumahnya. Pada latar-belakang, terlihat siaran televisi ketua KPU sedang berbicara, mungkin seputar problem Pilpres. Kita tahu itu berita televisi pada tahun 2014, bukan 2015.

Yang membantu film ini menjadi bagus ialah karakter pemeran-pemeran utamanya. Sosok Diana (Chelsea Elizabeth Islan), mahasiswa Trisakti, mewakili sikap remaja aktivis saat itu. Ia ikut melakukan aksi mahasiswa menggulingkan Soeharto, padahal berasal dari keluarga yang bekerja di pemerintahan. Kakaknya Salma (Ririn Ekawati), bekerja di istana presiden bagian konsumsi. Abang iparnya Bagus (Donny Alamsyah), tentara letnan dua yang bertugas menjaga aksi mahasiswa di Universitas Trisakti dan Gedung MPR/DPR. Ada bumbu percintaan antara dua aktivis, Diana dan Daniel (Boy William), seorang Tionghoa yang rumahnya ikut dijarah saat kerusuhan massal.

Donny Alamsyah cukup tepat memainkan perannya sebagai tentara. Kemarahannya kepada atasan yang tidak memberikan izin untuk mencari istrinya saat kerusuhan, sangat berkemilau. Ada satu babak yang membuat saya tersentuh bahkan hingga meneteskan air mata, ketika Diana memaki abang iparnya karena membiarkan istrinya hilang di tengah lautan demonstrasi. Dialog itu tepat mewakili sikap mahasiswa tanggung yang marah. Rata-rata aktivis mahasiswa saat itu hanya punya motif tunggal gerakan: menurunkan Soeharto!

Sejarah Berulang

Yang membuat film ini sangat bernyala adalah momentum pemutarannya. Film ini bertemu dengan era pemerintahan Jokowi yang kerap disyiarkan sebagai gerbang baru perubahan Indonesia pascareformasi. 

 

  Semiotika politik yang terbaca dari Dibalik 98 adalah ketidakberdayaan Jokowi persis ketidakberdayaan Soeharto. Jika dulu Soeharto dililit IMF, kini Jokowi dililit “para naga” baik politik dan ekonomi, sehingga sulit bernafas.     

 

Film ini menjadi penanda bagi era Jokowi untuk mengingat bagaimana hari-hari terakhir Soeharto sebelum jatuh. Film ini tidak berbicara tentang dosa-dosa politik Soeharto yaitu eksploitasi Freeport atau pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) di Aceh. Ia juga tidak mengisahkan prahara 27 Juli 1996 dan kriminalisasi kepemimpinan Megawati. Di Balik 98 berbicara tentang kegagalan Soeharto menstabilkan politik ekonomi nasional: harga-harga bahan pokok, ke-blunder-an menaikkan BBM, dan hancurnya rupiah terhadap dollar.

Secara semiotis, film ini seperti menyasar Jokowi dengan konteks saat ini. Sikap Jokowi memilih menteri ekonomi beraliran neoliberal menyebabkan ekonomi bangsa berada pada titik krisis baru. Postur ekonomi neolib ekstrem hanya membahagiakan elite dan menyengsarakan rakyat. 

Salah satu nalar ekonomi paling buruk ialah ketika Jokowi menaikkan BBM di tengah kecenderungan harga minyak dunia menurun. Kebijakan itu menyebabkan ledakan kenaikan harga-harga barang dan jasa. Ketika BBM kembali diturunkan, harga-harga tidak ikut turun. Istilah ekonomi atas fenomena ini ialah kekakuan harga pasar (market price rigidity). 

Semiotika politik yang terbaca dari Di Balik 98 adalah ketidakberdayaan Jokowi persis ketidakberdayaan Soeharto. Jika dulu Soeharto dililit IMF, kini Jokowi dililit “para naga” baik politik dan ekonomi, sehingga sulit bernafas. 

Kriminalisasi KPK juga babak dari fase transisi lain. Sikap santun Jokowi atas kriminalisasi pimpinan KPK saat ini - Abraham Samad, diikuti Bambang Widjayanto, dan kini mulai terdampak ke Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain – bisa menghanguskan agenda utama reformasi yaitu pemberantasan korupsi.

Pesan Di Balik 98 ialah menurunkan Soeharto menjadi jalan kelahiran reformasi. Kini reformasi muda tengah mendapat ancaman. Tak ada jalan lain, Jokowi sebagai wali reformasi harus melakukan upaya cukup menyelamatkannya. Jika itu dilakukan pasti rakyat berada dibelakangnya. Namun jika ia tidak melakukannya, maka kita, rakyat sendirilah yang harus menyelamatkan reformasi, salah satunya menyelamatkan KPK. Biarkan Jokowi menyelamatkan dirinya sendiri.

 

Penulis adalah Antropolog, mantan aktivis mahasiswa 1998.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home