Loading...
HAM
Penulis: Francisca Christy Rosana 20:18 WIB | Selasa, 03 Februari 2015

Pegiat HAM: Eksekusi Mati, Simbol Jokowi Harapan Luntur

Ricky Gunawan (tengah) pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam Konferensi Pers Evaluasi Pelaksanaan Hukuman Mati dan Dampak Hukuman Mati pada Hubungan Internasional Indonesia di Cikini, Jakarta pada Selasa (3/2). (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menolak grasi enam terpidana mati kasus narkoba semenjak ia menjabat menjadi Presiden RI.

Januari lalu, enam terpidana ini telah menjalani eksekusi mati.  Mereka yang telah dieksekusi adalah Ang Kim Soei (62) warga negara Belanda, Namaona Denis (48) warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga negara Brasil, Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria, dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38) warga negara Indonesia dan Tran Thi Bich Hanh (37) warga Vietnam.

Eksekusi mati menimbulkan gejolak yang cukup tinggi bagi masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia.

Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) yang tergabung dalam Human Rights Working Group (HRWG) secara tegas menyatakan sangat keberatan dan menolak tindakan Jokowi mengeksekusi terpidana dalam kasus apapun menjalani hukuman mati.

“Kalau mencermati respons Jokowi, dia seolah-olah kebal dengan kritik internasional. Dia seakan tidak peduli dengan reputasi internasional,” ujar Rifki Gunawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam Konferensi Pers Evaluasi Pelaksanaan Hukuman Mati dan Dampak Hukuman Mati pada Hubungan Internasional Indonesia di Cikini, Jakarta pada Selasa (3/2).

Jokowi yang sebelumnya merepresentasikan simbol harapan bagi masyarakat, kini simbol itu menurut Rifki lama-lama luntur. Padahal menurutnya Jokowi punya modal untuk menjadi jawara HAM dunia.

Symbol of hope ini pelan-pelan memudar di masa kepemerintahan Jokowi yang kala itu belum 100 hari. Jokowi sudah eksekusi enam orang. Waktu dekat akan ada 11 orang yang dieksekusi. Belum pernah sebelumnya SBY mengeksekusi begitu masif terpidana dalam waktu yang relatif dekat. Ini tentu akan menciderai symbol of hope Jokowi sebagai orang yang bisa mengangkat bendera HAM,” ujarnya.

Rifki menilai Jokowi seperti memiliki kuasa seperti Tuhan yang dapat menentukan hidup dan mati seseorang.  

“Luar biasa kuasanya. Tapi kalau kita cermati, semua dipukul rata. Presiden menolak seluruh grasi. Dia tidak memperhatikan baik-baik. Tidak ada penjelasan apapun,” ujarnya.

Sementara itu, kini ada lebih dari 100 warga negara Indonesia (WNI) yang tengah terancam hukuman mati di Saudi Arabia. Artinya, Indonesia butuh lebih banyak sahabat dan teman di negara lain untuk menyelamatkan WNI yang tengah terancam hukuman mati.

Sayangnya, dengan eksekusi hukuman mati di Indonesia sendiri, Rifki menduga negara-negara lain seperti negara yang tergabung dalam Uni Eropa akan segan membantu penjaminan kebebasan WNI yang terjerat hukuman mati di negara lain.

“Kalau Indonesia mencari ribut dengan Belanda atau Brasil, Indonesia tentu kesulitan mencari bantuan untuk membebaskan WNI nya yang terancam hukuman mati. Apalagi Uni Eropa dengan tegas mengecam hukuman mati,” ujarnya.

Selain itu, Indonesia kedepan juga diduga akan kehilangan donatur reformasi peradilan terbesar yakni Belanda.

“Belanda menyediakan begitu banyak asistensi teknis maupun keuangan untuk pelatihan kepolisian, jaksa, dan hakim. Kalau sampai pelatihan terhadap hakim berakibat pada dijatuhi hukuman mati di Indonesia, Belanda bisa mencabut dukungan itu,” katanya.

HRWG memohon agar Presiden beserta jajarannya meninjau ulang eksekusi hukuman mati. Implikasi hukuman mati ini tentu akan berdampak pada kerja sama, baik ekonomi, politik, dan hal-hal lain di luar itu. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home