Loading...
OPINI
Penulis: Andreas Kristianto 00:00 WIB | Senin, 27 Juni 2016

Menyibak Spiritualitas Puasa

Puasa bukan hanya dikenal di lingkungan Islam, tetapi juga agama-agama lain. Pada hakikatnya merupakan upaya merendahkan diri di hadapan Tuhan demi melayani sesama.

SATUHARAPAN.COM - Razia sebuah warung di kota Serang, provinsi banten oleh Satpol PP ketika bulan puasa (ramadhan) menjadi perhatian banyak pihak. Saeni yang menjadi pemilik warung, tidak tahu harus berbuat apa, ketika warungnya di sweeping oleh pihak terkait. Ratusan juta lenyap dengan seketika.

Bulan yang menjadi penuh berkat, berubah menjadi laknat. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan pesan, "Yang tidak puasa menghormati yang puasa. Yang puasa pun juga menghormati saudaranya yang tidak puasa. Jadi kita semua saling menghormati.” Dengan menilik pengalaman Ibu Saeni, apa sebenarnya makna puasa itu sendiri?

Pertanyaan yang penting adalah motivasi apa di balik setiap ritual yang kita jalankan? Hikmat apa yang bisa dipetik dari ritual, khususnya berpuasa? Jangan-jangan, ritual yang kita jalankan, hanya supaya dilihat orang lain. “Saya orang beragama, koq rasanya tidak pantas, kalau saya tidak berpuasa.” “Saya orang beriman, koq rasanya tidak pantas, kalau saya tidak pergi ke gereja atau masjid.” Ungkapan-ungkapan ini sebenarnya adalah ungkapan yang tidak otentik, karena lahir dari topeng kepura-puraan, yatu cara beragama supaya dilihat orang lain.

Dalam Kekristenan, puasa juga juga diajarkan ketika tiba masa raya gerajawi, yakni minggu pra paskah (penderitaan Yesus). Dalam menjalankan puasa tersebut, umat Kristen mendapat ‘peringatan’ serius. Yesus mengatakan, Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”(Matius 6 : 17-18).

Spiritualitas yang diajarkan Yesus soal puasa bagi pengikutnya adalah spiritualitas yang tersembunyi, yang otentik lahir dari nurani diri yang terdalam dengan Tuhan. Dengan spiritualitas yang tersembunyi, ada atau tidak ada warung makan, tentu tidak menjadi persoalan yang mengganggu ibadah puasa.

Puasa merupakan suatu ibadah, sehingga berkaitan erat dengan doa dan memberi sedekah. Puasa juga merupakan panggilan hati, bukan sebuah tuntutan keagamaan. Sehingga sikap kita di dalam menjalani puasa adalah rasa kebahagiaan, bukan beban berat.

Tujuan orang melakukan puasa adalah untuk merendahkan diri di hadapan Allah, menyatakan rasa kasih kita kepada Tuhan Yesus, untuk melatih kerohanian kita dari godaan dunia, untuk memperkuat rasa empati kita kepada sesama, dan melatih kita untuk mengenal sesama dengan baik, dalam bingkai toleransi dan persaudaraan. Oleh sebab itu di dalam Kekristenan puasa tidak hanya berdimensi vertikal, tetapi juga horizontal. 

“Puasa yang kuhendaki adalah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang-orang yang teraniaya, dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian…” (Yesaya 58 : 6-8). Puasa adalah spiritualitas untuk menghargai dan menghormati sesama yang teraniaya, yang lapar, yang haus, yang miskin, yang telanjang. Supaya mereka memiliki kehidupan yang lebih baik.

Saat kita berpuasa, tentu itu menjadi media/ sarana untuk melatih dan mempertajam spiritualitas dan iman yang kita miliki. Sehingga setelah berpuasa, seharusnya kita dapat mengalami perubahan hidup; agar hidup kita menjadi lebih arif dalam menghadapi situasi yang terjadi di dunia ini. Hasil dari puasa adalah kemampuan spiritual yang mampu untuk mengendalikan diri, dari setiap bentuk godaan dunia. Justru semakin lembut hati, menjadi jernih dan dapat merasakan dengan penuh empati, penderitaan dan kemiskinan orang sekitar kita.

Puasa adalah identitas yang sama di banyak agama yaitu Islam, Yahudi, Kristen, Khatolik, KonGhucu, Budha dan Hindu. Kesamaan ini merupakan modalitas besar untuk memperkuat dialog antar iman. Karena setiap agama-agama juga memiliki tradisi puasa itu, dengan cara ritual yang berbeda-beda, sesuai penghayatannya masing-masing.

Bahkan puasa ramadhan dalam Islam merupakan perintah Tuhan, sebagaimana yang juga telah dilaksanakan umat-umat Islam sebelumnya. Tujuannya agar manusia semakain bertaqwa kepada Tuhan, menjadi orang yang saleh secara personal dan sosial, personal lebih bersifat ritualistik, seperti sholat, sedangkan kesalehan sosial dicirikan dengan relasi kasih sayang terhadap orang lain.

Di agama Konghucu, puasa biasanya dilakukan setiap perayaan Imlek, hari besar konghucu dan setelah tahun tahun baru Imlek selama 1 Minggu. Hakikat puasa sendiri adalah membersihkan hati agar selalu sejalan dengan 5 kehendak Tuhan yaitu cinta kasih, kebenaran, kesusilaan, bijaksana dan dapat dipercaya. Dalam agama Hindu, tradisi puasa telah diajarkan dalam agama Hindu jauh sebelum masehi, tujuannya untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan berempati kepada sesama.

Dengan demikian, pertanyaan refleksinya adalah apakah ketika kita berpuasa, kita menghormati Tuhan atau sesama? Selamat berpuasa dan menyambut Idul Fitri bagi teman-teman Muslim.

 

Penulis adalah Penggerak Jaringan GusDurian di Jombang

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home