Loading...
BUDAYA
Penulis: Sotyati 07:10 WIB | Sabtu, 06 Juni 2015

Menyulap Tenun Tradisional untuk Busana Bercita Rasa Global

Menyulap Tenun Tradisional untuk Busana Bercita Rasa Global
Koleksi Chossy Latu berbahan songket Halaban (kiri) dan koleksi Auguste Soesastro berbahan tenun Sambas (kanan). (Foto-foto: Dok JFFF)
Menyulap Tenun Tradisional untuk Busana Bercita Rasa Global
Koleksi Stephanus Hamy menggunakan tenun Bali (kiri) dan koleksi Priyo Oktaviano menggunakan tenun Baduy (kanan).
Menyulap Tenun Tradisional untuk Busana Bercita Rasa Global
Koleksi Ari Seputra yang menggunakan bahan tenun Lombok (kiri) dan koleksi Denny Wirawan yang menggunakan bahan tenun Sulawesi Tenggara.

SATUHARAPAN.COM – Seiring dengan alunan lagu pembuka serial terkenal Sex and The City, tampil satu per satu koleksi perancang Chossy Latu di panggung peragaan busana Fashion Festival, rangkaian dari Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) 2015, pada penggal akhir Mei lalu.

Melalui delapan koleksi berpayung tema “Songket and The City”, perancang busana senior itu menunjukkan kepada khalayak pencinta fashion bahwa songket pun pantas tampil di panggung mode dunia, tak kalah dengan kain modern.  Lewat tangan kreatifnya, songket Halaban, Sumatera Barat, yang didominasi warna perak tanpa tumpal itu, dia olah menjadi busana modern, dilengkapi hat, tak menyisakan kesan tebal, kaku, dan kuno yang selama ini melekat pada citra wastra tradisional.

Chossy Latu menampilkan koleksi pada Selasa malam itu bersama Auguste Soesastro, Stephanus Hamy, Denny Wirawan, Ari Seputra, dan Priyo Oktaviano, dalam peragaan busana persembahan Cita Tenun Indonesia (CTI).  Mengusung tajuk “Jalinan Lungsi Pakan”, peragaan busana yang menampilkan karya orisinal desainer-desainer itu adalah bentuk sinergi antara CTI, desainer dan mitra binaan, baik dari  pemerintah daerah, badan usaha milik negara, maupun swasta, yang kemudian menghasilkan kain tenun yang sarat akan sejarah dan budaya sekaligus berdaya pakai tinggi dan yang memperkaya industri mode Tanah Air.

Masing-masing desainer mitra CTI itu mewakili daerah binaan CTI yang berbeda. Selain Chossy Latu yang mewakili daerah Halaban, Sumatera Barat, Ari Seputra mewakili daerah Lombok dengan koleksi yang didominasi oleh warna hitam-putih dan bersiluet modern bertema “Monochrometnic”.

Auguste Soesastro, desainer yang dikenal pencinta mode sebagai perancang mode yang kerap kali menampilkan koleksi dengan garis potong minimalis, mewakili daerah Sambas. Ia menampilkan koleksi kecil (capsule collection) dengan mengusung brand Kraton Auguste Soesastro, “Indonesian Woven Textile Collaboration. A Capsule Collection by Kraton Auguste Soesastro”.

Denny Wirawan, dengan menggunakan kain tenun dari Sulawesi Tenggara, mempersembahkan koleksi berjudul “Ocean Mood”. Priyo Oktaviano, menggunakan kain tenun buatan suku Baduy, mempersembahkan “Gamematic of Baduy”. Ia memperlihatkan garis geometris yang terinspirasi dari ragam hias lingkungan alam yang ditemukan di Baduy. Mengusung tema “Bali”, Stephanus Hamy mengolah kain tenun binaan daerah Bali.

Karya yang dipresentasikan keenam desainer pada “Jalinan Lungsi Pakan” itu merupakan ekspresi modernisasi mereka terhadap kain tenun yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri.

Mengangkat Industri  Kreatif

CTI didirikan pada 2008 sebagai perkumpulan yang bertujuan untuk mengangkat dan memajukan keberadaan kain tenun asal Indonesia di berbagai daerah. Bekerja sama dengan desainer mode, desainer interior, desainer tekstil ,dan sektor lainnya, CTI membangun program pembinaan yang menjadi ekspresi kepedulian para pendirinya yang mencintai kebudayaan Indonesia dan memiliki tekad melestarikan warisan leluhur.

“Untuk mengangkat industri kreatif harus ada sinergi antarsektor supaya bisa memberikan nilai tambah kepada komunitas masyarakat di setiap daerah binaan dan juga Indonesia secara keseluruhan,” demikian dipaparkan Okke Hatta Rajasa, Ketua CTI.

Sebagai mitra dari Jakarta Fashion dan Food Festival, CTI berharap dapat mengedukasi masyarakat serta memperkenalkan warisan budaya tenun Indonesia secara luas melalui ajang itu. Mempersembahkan “Jalinan Lungsi Pakan”sebagai tema peragaan busana pada JFFF 2015 ini adalah cara untuk menceritakan kembali bahwa tradisi dan kekayaan budaya menjadi salah satu penggerak dari industri mode Indonesia.

“Jalinan Lungsi Pakan” yang menjadi tema itu dimaksudkan sebagai sebuah cerita dalam jalinan anyaman benang lungsi dan pakan yang menciptakan lembaran baru sebuah kain tenun mengandung karya cipta dan karsa sang perajin tenun. Benang lungsi adalah benang yang terletak memanjang (vertikal) pada alat tenun, sementara benang pakan adalah benang yang masuk dan keluar pada lungsi saat menenun (horizontal). “Jalinan itulah yang menghasilkan jenis tenun yang beragam,” Okke Hatta Rajasa menambahkan.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home