Loading...
BUDAYA
Penulis: Sotyati 19:57 WIB | Rabu, 27 Mei 2015

Pesta Kain Negeri di Fashion Festival JFFF 2015

Pesta Kain Negeri di Fashion Festival JFFF 2015
Koleksi Danny Satriadi dan koleksi Yogi Pratama (kiri-kanan). (Foto-foto: Dok JFFF 2015)
Pesta Kain Negeri di Fashion Festival JFFF 2015
Koleksi Yongki Budisutisna dan koleksi Tri Handoko (kiri-kanan).
Pesta Kain Negeri di Fashion Festival JFFF 2015
Koleksi Carmanita dan koleksi Liliana Lim (kiri-kanan).
Pesta Kain Negeri di Fashion Festival JFFF 2015
Musa Widyatmodjo dengan koleksinya, busana pria siap pakai.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM –  Fashion Festival sebagai rangkaian Jakarta Fashion and Food Festival, memasuki penyelenggaraan ke-12 pada tahun 2015 ini, tetap konsisten menampilkan kekayaan kain negeri. Tenun, batik, tapis, songket, lurik, hingga sulam, yang biasanya hanya dihadirkan pada saat-saat tertentu seperti upacara adat, “disulap” desainer-desainer Tanah Air menjadi produk fashion modern dan layak jual.

Selain membantu mengangkat hasil kerajinan Indonesia, pemanfaatan kain negeri untuk produk fashion seperti dikemukakan Ketua Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI)  Sjamsidar Isa, merupakan kekuatan negeri ini yang mungkin tidak dipunyai negara-negara tetangga kita.

Melalui pergelaran peragaan busana bertema “Kain Negeri”, enam perancang busana yang tergabung dalam IPMI memamerkan persembahan kreativitas mereka mengolah kain negeri di Ballroom Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Senin (25/5). Keenam desainer tersebut ialah Danny Satriadi, Tri Handoko, Liliana Lim, Yongki Budisutisna, Carmanita, dan Yogi Pratama.

“Ini salah satu tanggung jawab IPMI untuk memperkenalkan produk anak bangsa, seiring persiapan kita menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tak lama lagi. Kebudayaan Indonesia di bidang fashion tentu menjadi nilai tambah di tengah persaingan perdagangan bebas negara di Asia Tenggara,” kata Sjamsidar Isa.  

Liliana Lim melalui karya yang ia beri tema “Cadudasa”, mengolah kain ikat Bali dan memadukannya dengan lace menjadi sackdress elegan dan chic, yang selalu menjadi ciri khas dalam setiap karyanya. Sementara itu, Yogi Pratama memilih songket Palembang dalam pergelaran kali ini, “Styling-nya vintage, tetapi saya kemas secara modern,” kata Yogi memaparkan konsep rancangannya.  

Batik Cirebon menjadi pilihan Danny Satriadi dan Yongki Budisutisna. Danny mengangkat motif bunga daisy dalam koleksi bertema “Itsydaisee”, tanpa meninggalkan teknik layering yang menjadi ciri khas pada karya yang mengedepankan konsep padu padan. Yongki, dengan mengusung tema “Coalition”, menggabungkan kain batik Cirebon, tenun Bali, dan songket ke dalam satu kesatuan koleksi yang memancarkan kesan playful dalam warna-warna cerah.

Carmanita, yang tak pernah kendur semangatnya untuk mengangkat kain Indonesia, memilih tenun Majalaya untuk koleksi kali ini, memadukannya dengan kain-kain daerah lain. Berbeda dengan rekan-rekannya, Tri Handoko menampilkan karya tie dye (jumputan) yang ia padu dengan teknik lukis pakai kuas. Koleksi yang ia persiapkan khusus untuk JFFF itu, ia tampilkan dalam warna monokromatik, hitam-putih, dengan garis gunting longgar.    

Mengolah kain-kain negeri menjadi produk fashion modern, seperti dikemukakan desainer senior Carmanita, merupakan wujud tanggung jawab untuk turut melestarikan kekayaan budaya Nusantara. “Kain negeri harus diangkat dan dikenakan sehari-hari, sebagai salah satu upaya menangkal budaya lain yang semakin membanjiri negeri ini,” kata Carmanita di hadapan wartawan sebelum pergelaran.

Pertanggungjawaban Desainer

Diselenggarakan pertama kali pada 2004, JFFF konsisten mengusung misi mengangkat citra bangsa melalui industri berbasis budaya. Selain menjadi sarana memelihara kekayaan budaya, acara tahunan yang penyelenggaraannya diprakarsai Pemerintah Provinsi Jakarta melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan Summarecon ini diharapkan menjadi wadah untuk mempromosikan produk mode, selain kuliner, hingga ke kancah internasional.  

Pesta kain negeri itu sudah tampak sejak hari pertama pembukaan, 20 Mei, yang menampilkan “Kebaya Nusantara”.

Pada pergelaran Selasa (21/5), desainer Musa Widyatmodjo menggelar peragaan busana pria siap pakai label ‘Musa Widyatmodjo’, dari busana semicasual hingga busana formal. Ia memadukan lurik dengan batik, lurik dengan tenun Bali atau tenun NTT, batik dengan tenun, atau bahkan “menabrakkan” batik, lurik, dan tenun sekaligus. Pada sebagian koleksi, ia memberikan aksen berupa kerah yang dilapis dan diberi sulaman pada bagian tepi atau pada bagian ujung lengan kemeja. Musa membuat koleksi eksklusif, karena olahan padu padan motif serta aplikasi itu menghasilkan karya yang tidak sama antara satu kemeja dan kemeja lain.

“Koleksi busana pria ini merupakan dedikasi saya untuk memajukan fashion di Indonesia. Karena jika ingin menjadi kiblat fashion di Asia Tenggara seperti kita tekadkan bersama, kita harus mewujudkannya menjadi sebuah karya, sehingga bila ditanya oleh industri kreatif, brand ini kelak akan menjadi jawabannya,” katanya.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home