Merawat Wajah Keindonesiaan Allah
SATUHARAPAN.COM – Sekalipun ada peristiwa Talikora-Papua dan kasus-kasus kekerasan sosial lain atas nama agama, namun kita bersyukur karena masih banyak orang Indonesia yang beragama mengambil sikap anti-kekerasan dalam mengelola perbedaan agama dan suku-bangsa. Mereka yang mengambil sikap anti-kekerasan menyukuri kemajemukan adalah berkat Tuhan yang terberikan (given). Karena itu tidak ada seorang pun di bawah kolong langit ini dapat menolak atau mampu menyangkalnya.
Kita yang sadar akan hal ini pun sungguh sadar bahwa tidak secara kebetulan para pendiri bangsa Indonesia mempertahankan sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Indonesia merdeka. Bacaan historis tentang hal ini telah banyak tersedia untuk membantu kita memahami motif dari pencantuman sila pertama sebagai dasar negera. Di sini, dalam rangka menyambut Hut Kemerdekaan ke-70 RI, saya ingin berbagi dengan pembaca “bacaan -teologis” dasar negara kita ini di tengah-tengah masih sering terjadi kekerasan sosial atas nama agama.
Kemajemukan Allah, Kemajemukan Bangsa
Sebagai seorang rohaniawan saya mulai refleksi ini dengan mengutip Kitab Kejadian 1:26-27: Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita. ..... Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan mereka. Allah memberkati mereka. Teks ini jelas mengungkapkan rahasia kemajemukan umat manusia yang berbangsa-bangsa seperti kita kenal sekarang.
Kemajemukan umat manusia berbangsa-bangsa itu adalah inheren dalam kehendak Allah, Sang Pencipta itu. Itu berarti pula tidak seorang pun yang mengakui Allah sebagai Pencipta dapat merendahkan manusia lain apapun latar belakang etnis, budaya dan agamanya. Usaha merendahkan dan/atau meniadakan orang beragama lain dan/ atau beretnis dan berbudaya lain tidak lain tindakan, baik dalam niat maupun dalam tindakan nyata, merendahkan dan meniadakan Allah itu sendiri. Seharusnya itulah yang diinfasi oleh umat manusia yang berbangsa-bangsa itu. Apalagi bangsa Indonesia yang memang sudah menjadi fitranya menjadi bangsa yang majemuk ketika memproklamasikan dirinya menjadi Indonesia merdeka tahun 1945 itu. Saya yakin agama mana pun di Indonesia, bahkan di dunia ini, memiliki visi keberagamaan yang sadar tentang kemajemukan wajah Allah seperti nyata pada umat manusia yang bersuku-suku bangsa itu.
Memang harus diakui bahwa dalam perkembangan keberagamaan manusia kemajemukan wajah Allah yang berbangsa-bangsa itu kemudian tegeser oleh kultur keberagamaan masyarakat monarkhial. Wajah kultural Allah yang serba-majemuk itu kemudian menjadi monokultural dalam semangat dan praktik keberagamaan masyarakat monarkhial. Keberagamaan monokultural inilah telah menyebabkan wajah keberagamaan, seperti tampak di semua agama di dunia ini, tampil keras, galak dan melahirkan manusia-manusia: homo homini lupus!
Kita semua punya ingatan historis tentang semua hal ini dalam sejarah agama-agama dunia. Tampaknya, para pendiri bangsa Indonesia, cukup menyadari bahaya dari keberagamaan monokultural itu yang telah menyebabkan wajah Allah serba-majemuk itu terluka hampir setiap saat, sehingga mereka mencoba membalut dan merawat wajah Allah yang terluka oleh politik dominasi kaum penjajah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan gagasan keberagamaan yang sadar kemajemukan itu. Dalam pengertian ini wawasan keberagamaan sila pertama sungguh-sungguh mengaribawahi bahwa kemajemukan suku-bangsa di Indonesia dengan kemajukan ekspresi keberagamaannya adalah inheren dalam kesadaran etis emansipatoris humanis-religius para pendiri bangsa Indonesia. Itulah sebabnya setiap usaha untuk menyangkal perbedaan agama dan budaya – apalagi tidak memberi ruang untuk hidup termasuk agama lokal/aliran kepercayaan – adalah niatan dan tindakan menyangkal politik religius-humanis para pendiri bangasa Indonesia itu sendiri.
Politik Identitas sebagai Kearifan Merawat Kemajemukan Wajah Allah
Seperti telah disinggung di atas politik religius-humanis para pendiri bangsa Indonesia ialah untuk merawat wajah ke-Indonesia-an Allah dengan cara menjadikan semanagat keagamaan sebagai semangat yang mengemansipasi rakyat Indonesia yang bersuku-suku bangsa itu dari kekuasaan hegemonik mereka yang ingin menyangkal kemajemukan wajah Allah dalam bentuk politik monokultural tradisi iman monarkis pada zaman itu.
Tentu saja kita bersyukur mewarisi tradisi iman para pendiri bangsa yang lebih dekat kepada tradisi iman masyarakat egaliter. Itulah sebabnya perbedaan agama, jenis kelamin dan bahkan ideologi sekalipun bukan halangan untuk bisa hidup bersama dengan aman dan damai. Kalau tokh ada riak-riak seperti masih kita saksikan dan alami maka itu sebaiknya disikapi sebagai proses transformasi dari semangat keberagamaan monokultural tradisi iman masyarakat monarkis dan feodal belum sepenuhnya tuntas.
Kita perlu menyadari hal itu sehingga kita tidak menggeneralisasi tindakan sebagian kecil orang beragama yang kembali melukai wajah Allah dalam masyarakat kita akhir-kahir ini seperti kasus Talikora-Papua sebagai tindakan yang disetujui oleh agama Kristen Indonesia. Atau sebaliknya, apa yang dilakukan oleh sebagian kecil orang beragama seperti terjadi di Yogyakarta dan di beberapa tempat di Jawa Barat sebagai tindakan yang disetujui oleh agama Islam Indonesia. Agama Islam dan agama Kristen yang berkembang di Indonesia adalah agama-agama monoteitik yang menemukan sifat keagamaannya secara egaliter. Bukan sifat keagamaan yang monarkhial dan feodal seperti di beberapa negara yang mencoba menjadikan Islam sebagai agama negara dan/atau Kristen sebagai agama negara.
Kecakapan para pendiri bangsa menolak menjadikan salah satu agama sebagai agama negara telah membuat sifat keberagamaan rakyat Indonesia tetap menjadi keberagamaan yang toleran, adaptatif, negosiatif, dan pencerah hati untuk selalu humanis dalam menghayati semangat keberagamaannya. Penghayatan keagamaan seperti ini selalu akan merasa terluka ketika sesamanya, sebagai sesama wajah Allah, dilukai dan ditindas, baik secara ekonomi maupun politik. Karena keberagamaan seperti ini tidak akan menjadikan semangat keberagamaan sebagai pemberi inspirasi politik identitas keagamaan ekslusif dan hendak meniadakan “yang lain (the others)”.
Sebaliknya, menjadi insentif terhadap politik identitas keagamaan sebagai politik religius humanis dan ekologis. Politik identitas keagamaan yang sadar tentang kemajemukan wajah Allah dalam suatu masyarakat dan bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Dalam politik identitas keagamaan seperti ini para pemimpin dan umat berbeda agama tidak akan lagi berlomba-lomba untuk memperebutkan “jiwa” sebagai penambahan kepada penjumlahan statestik keanggotaannya. Sebaliknya, para pemimpin dan warganya, berlomba-lomba menyediakan usaha-usaha kreatif dan inovatif untuk merawat wajah Allah yang sedang dicabik-cacik oleh politik kekuasaan dan ekonomi yang tidak adil dan eksploitatif bukan saja di Indonesia melainkan di seluruh dunia .
Di sini kita memberi apresiasi terhadap setiap usaha penemuan kembali “semangat keberagamaan ke-Indonesia-an” dalam bentuk usaha-usaha ekonomi kreatif dan inovatif serta menghayati politik bukan sekedar teknik merebut kekuasan melainkan kearifan menatalayani kesejahteraan bersama sesama warga bangsa Indonesia! Dalam pengertian ini politik identitas keagamaan bukan lagi suatu hal yang menakutkan dan mengerikan melainkan berkat yang harus disyukurinya!
Selamat Menyambut HUT Kemerdekaan Indonesia ke-70!
Penulis adalah rohaniawan, sekaligus peneliti lepas masalah sosial keagamaan dan kebangsaan
Hamas dan Fatah Hampir Sepakat Siapa Akan Mengawasi Gaza Pas...
KAIRO, SATUHARAPAN.COM-Para pejabat Palestina mengatakan kelompok Palestina Fatah dan Hamas hampir m...