Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 18:57 WIB | Rabu, 07 Agustus 2013

Merayakan Lebaran, Leburan, Luberan, dan Laburan dengan Kupat Janur

SATUHARAPAN.COM - Hari ini, umat Muslim merayakan Idul Fitri 1434 Hijriah, setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Pada hari raya ini, selain mengikuti shalat Ied, umat Muslim biasanya bersilaturahmi dengan kerabat dan sahabat, dan di dalamnya ada proses saling memaafkan. Hal ini melengkapi proses membersihkan diri selama puasa untuk memasuki  babak baru kehidupan manusia sesuai fitrah yang dikehendaki Sang Pencipta.

Dalam memaknai Idul Fitri, masyarakat Muslim di Jawa mempunyai caranya sendiri dengan menyebutnya sebagai lebaran. Dan dalam lebaran ini ada makna lain, yaitu leburan, luberan dan laburan. Lebaran mempunyai  arti lepas, bebas, sudah, selesai atau habis. Leburan berarti luluh, lebur, atau diampuni (berkaitan dengan salah dan dosa), luberan berarti luapan (meluap), dan laburan berarti melapisi dengan kapur (dinding rumah pada masa lalu biasanya dilabur, dicat dengan kapur putih).

Lebaran dimaknai sebagai selesai atau sudah, yaitu sudah dan selesai menggembleng diri dan mengendalikan diri melalui puasa. Dan pada Idul Fitri umat Muslim melalukan luberan, meluapkan rezeki  dengan membagikan zakat bagi warga masyarakat yang kekurangan. Idul Fitri dirayakan dengan semangat berbagi, sharing dalam kehidupan.

Sedangkan leburan bermakna meluluhkan segala kesalahan dengan saling memaafkan dan membangun silaturahmi baru yang lebih baik dengan sesama ciptaan. Leburan melengkapi proses pengendalian diri  melalui puasa untuk kembali pada fitrah manusia dengan cara saling memaafkan atas kesalahan.

Sedangkan laburan dimaknai sebagai membangun lembaran baru yang lebih bersih dan lebih 'putih'. Setelah berpuasa selama tiga puluh hari dengan mencapai pengendalian diri, kehidupan berikutnya menjadi lebih baru, termasuk dalam relasi dan silaturahmi  dengan sesama.

Kupat dan Janur

Yang menarik lagi adalah dalam suasana gembira di hari Lebaran hidangan yang tidak pernah absen adalah ketupat. Konon tradisi ini muncul sejak zaman walisongo dan diperkenalkan oleh  Sunan Kalijogo. Dalam bahasa Jawa ketupan disebut sebagai kupat. Satu makanan sederhana dari beras yang dimasak dengan dibungkus daun kelapa muda (janur) yang masih berwarna kuning dengan cara dijalin atau dianyam.

Dalam masyarakat Jawa, ada cara memaknai kata-kata yang disebut kerata basa, yaitu mengartikan kata-kata menurut asal mula kata-kata tersebut. Caranya bisa dengan mengambil singkatan kata-kata tersebut (Bahu Sastra Jawa-Indonesia). Hal ini dilakukan untuk memudahkan menjelaskan dan juga mudah mengingatnya.

Kupat secara kerata basa berasal dari kata ngaku lepat atau mengaku salah. Dalam merayakan Lebaran, ada kemauan untuk mengakui kesalahan yang dilakukan pada masa lalu, dan membutuhkan pengampunan dari Allah dan pemaafan dari sesama.

Hal ini menarik, karena dalam rekonsiliasi dan perdamaian di mana ada pemaafan yang dimuali dengan pengakuan atas kesalahan pada  masa lalu. Dengan demikian, lebaran mempunyai makna rekonsiliasi, membangun silaturahmi baru yang tidak lagi dibebani kesalahan masa lalu. Sebaliknya lebih melihat hari depan yang lebih baik dalam silaturahmi dengan sesama dan dilandasi fitrah kemanusiaan yang dicapai. Dengan demikian, Lebaran mendorong kohesi yang lebih kuat di antara sesama manusia.

Janur memiliki makna penting dalam masyarakat Jawa, bahkan sebelum masuknya Islam. Dalam kaitan Lebaran, janur berasal dari kata sejatining nur artinya cahaya yang sejati atau cahaya kebenaran. Hal ini bermakna bahwa ngaku lepat dalam Lebaran dan memulai fitrah baru ditandai oleh hidup dengan cahaya kebenaran dan dituntun oleh Sang Cahaya Sejati.

Kerata basa memang sering terlihat sebagai othak-athik gathuk atau mengait-ngaitkan agar terlihat menyambung. Namun hal itu adalah kecerdasan suatu masyarakat dalam berkomunikasi dan mengajarkan nilai-niai. Maka setelah menggembleng diri dalam puasa, Lebaran dimaknai dengan leburan sebagai pengakuan atas kesalahan dan saling memaafkan, kemudian luberan dengan berbagai pada sesama yang lemah, dan laburan  untuk memulai hal baru yang lebih bersih.

Dengan cara ini, Idul Fitri ditampilkan dalam perspektif universalitasnya, yaitu membangun kohesi baru di antara sesama makhluk dan menjadi pijakan karya umat Muslim sebagai rahmatan lil alamin. Bahasa universal tentang ini adalah rekonsiliasi untuk menjadi berkat bagi semua.

Selamat merayakan Idul Fitri. Mahon maaf atas kesalahan dan kekurangan pelayanan kami dalam menyajikan berita melalui media online ini. Semoga hari depan lebih baik dengan ikatan dan silaturahmi baru di antara sesama umat manusia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home