Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 08:55 WIB | Senin, 12 Agustus 2013

Paradigma Pembanguan dan Mudik

Berbondong-bondong menuju Jakarta atau Jawa. (Foto: dok. satuharapan.com)

SATUHARAPAN.COM – Pada akhir libur Idul Fitri, berbagai pihak mulai membicarakan masalah urbanisasi, dan mengungkapkan berbagai cara untuk mengurangi ‘serbuan’ orang-orang desa masuk kota. Dengan alasan kota sudah padat, dan mereka yang datang sering disebut sebagai berkemampuan rendah, bahkan tanpa ketrampilan. Dan dikhawatirkan akan menjadi ‘korban’ dari kerasnya hidup di kota.

Beberapa hari belakangan ini arus orang yang pulang kampung (mudik) pada libur lebaran mulai kembali ke kota-kota. Arus lalu lintas menuju kota makin ramai. Disinyalir mereka yang kembali ke kota juga membawa kerabat dan kenalan untuk mengadu nasib di kota. Salah satu yang menjadi tujuan utama adalah Jakarta.

Dalam konteks Indonesia, sebenarnya arus ini bukan saja menuju Jakarta, tetapi juga menuju kota-kota lain di Jawa. Urbanisasi, tampaknya juga lebih banyak dibicarakan sebagai jakartanisasi. Kita lupa bahwa arus migrasi juga cukup deras ke Jawa, atau jawanisasi. Namun masalah ini harus dikaji benar bagaimana sebenarnya arus migrasi penduduk di Indonesia.

Arus  menuju Pulau jawa, khususnya di kota-kota tampaknya tidak bisa dipungkiri. Pulau Jawa yang merupakan bagian kecil dari seluruh wilayah Indonesia sekarang dihuni setidaknya oleh 137 juta jiwa dari 237 juta penduduk Indonesia, berdasarkan Sensus 2010. Hal ini tentu terkait dengan pertumbuhan penduduk secara alami (kelahiran), namun juga karena arus migrasi ke Jawa yang masih tinggi. Dan sekaligus menandai upaya penyebaran dan pemerataan penduduk melalui transmigrasi  bisa dikatakan gagal.

Melihat Keluar Jawa

Arus masuknya penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) dan juga arus penduduk menuju Jawa tidak bisa dicegah hanya dengan mengimbau. Apalagi sedikit menakut-nakuti mereka yang rendah skill-nya akan jadi korban. Hal itu tidak cukup berhasil, karena justru banyak kelompok penduduk usia muda yang mobilitasnya masih tinggi mengejar ketrampilan dengan memasuki kota dan dalam konteks nasional memasuki Jawa.

Pemerintah selama ini memang cenderung mengabaikan masalah kependudukan, bahkan angka pertumbuhan penduduk yang sempat membaik pada beberapa dekade lalu mulai naik lagi. Masalah arus migrasi penduduk juga tidak pernah dengan serius disentuh kebijakan pemerintah. Padahal, hal ini adalah masalah penting yang kalau diabaikan bisa menjadi faktor tidak efektifnya pembangunan.

Masalahnya, kembali kepada sentralisasi di banyak hal, bahkan hampir semua bidang. Akibatnya pusat-pusat pertumbuhan tidak berkembang secara maksimal di daerah-daerah, khususnya di luar pulau Jawa.

Pembangunan infrasktruktur disebutkan yang paling lemah. Di Jawa saja banyak infrastruktur jalan yang tidak memadai, dan di luar Jawa kondisinya lebih parah. Menjelang lebaran, misalnya, perbaikan jalan protokol di Jawa saja dilakukan sebagai tindakan reaktif, sekalipun lebaran merupakan aktivitas tahunan, dan jalan diperlukan sepanjang tahun, bukan hanya untuk libur lebaran.

Akibatnya, pusat  pertumbuhan ekonomi tidak maksimal di daerah. Pengembangan perkebunan dan aktivitas pertambangan di daerah-daearah sama sekali tidak punya argumentasi sebagai pusat pertumbuhan, karena putaran uang dan transaksi tetap ada di Jakarta. Pusat perdagangan juga masih di Jakarta, dan Jawa. Demikian juga pusat pendidikan, kebudayaan, dan dalam pemerintahan adalah pusat pengambilan keputusan. Akibatnya, di daerah uang yang beredar hanya kelas ‘recehan’.

Arus orang ke luar Jawa memang ada, namun sering sifatnya sementara. Karena banyak daerah di luar Jawa belum dikembangkan sebagai kawasan yang menarik untuk ditinggali. Arus ke luar lebih banyak karena ada projek dan akan kembali ke Jawa setelah tugas selesai atau projek selesai.

Oleh karena itu, masalah urbanisasi dan penyebaran penduduk hanya bisa terwujud jika masalah sentralistik kebijakan ini dikurangi. Indonesia seharusnya melihat lebih banyak ke luar Jawa dan menjadikan kawasan itu tujuan untuk tinggal, bukan untuk projek. Sibuk membicarakan kembalinya pemudik dengan membawa kerabat hanya menjadi pembicaraan sia-sia tanpa perubahan paradigma pembangunan. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home