Merespons Cerita Freddy Budiman
SATUHARAPAN.COM – Cerita Freddy Budiman yang disebarkan oleh Koordinator KontraS, Haris Azhar, adalah pesan yang menimbulkan kengerian tentang situasi di Indonesia yang terus dirundung oleh jenis kejahatan luar bisa (extraordinary crime) peredaran narkotika.
Freddy Budiman diadili sebagai bandar narkotika, dan dijatuhi hukuman mati, bahkan hingga seluruh proses hukum yang bisa ditempuh vonis itu tidak berubah. Eksekusinya telah dilakukan pada pekan lalu.
Masyarakat Indonesia memang sangat geram dengan kejahatan jenis ini. Data pengguna narkotika bisa menggambarkan hal itu. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan pengguna narkotika di Indonesia mencapai 3,3 juta pada tahun 2008. Tahun 2015 angkanya menjadi 5,1 juta. Angka yang mengerikan yang menunjukkan pohon binis narkotika tumbuh subur.
Di tengah situasi seperti itu, muncul kisah yang menurut Haris diceritakan oleh Freddy ketika bertemu di Nusakambangan, Cilacap pada tahun 2014. Yang mengerikan adalah Freddy bercerita bahwa ada keterlibatan oknum di BNN, Bea Cukai, Polri, dan TNI dalam binis barang terlarang itu.
Catatan Haris tentang apa yang disebutkan sebagai pengakuan Freddy lantas menimbulkan guncangan besar pada sejumlah institusi negara dan penegak hukum. Apalagi keinginan kepolisian, salah satu institusi yang disebut, untuk membawa Haris pada tuntutan hukum kasus pencemaran nama baik.
Kapak Tumpul?
Bagi publik, kisah tentang ‘’kejahatan’’ oleh penegak hukum sudah terlalu sering didengar. Sebut saja, tentang jaksa dan hakim yang korupsi dengan ‘’memelitir keputusan hukum,’’ atau narapidana kabur dengan bantuan oknum Lapas, bahkan peredaran narkotika dikendalikan dari balik penjara. Maka cerita Freddy sebenarnya tidak cukup ‘’mengguncang’’ publik.
Peredaran narkotika yang meluas dan terus meningkat, haruslah dipahami bahwa memang ada masalah serius. Bisnis ilegal ini menyangkut dana besar, dan pertumbuhannya mencerminkan juga meningkatnya jumlah orang yang terlibat untuk menumpuk kekayaan secara cepat, meskipun ilegal. Para penegak hukum adalah pihak yang berada pada batas tipis ke akses bisnis ini.
Peningkatan pengguna dan bisnis narkotika itu menimbulkan pertanyaan yang serius: apakah ‘’kapak’’ hukum di Indonersia tidak cukup tajam untuk membabat pohon bisnis narkotika, sehingga terus tumbuh? Atau sebaliknya ada yang menggunakan untuk ikut ‘’memanen’’ uang dari pohon bisnis ilegal ini?
Dalam konteks ini, publik cenderung melihat informasi yang disebutkan sebagai kisah dari Freddy ini sebagai tekanan untuk menajamkan hukum dalam membabat pohon kejahatan narkotika. Sebab, suara yang menyebut tentang keterlibatkan oknum penegak hukum belakangan ini memang makin santer.
Pencemaran Nama Baik?
Namun sayangnya bahwa pihak kepolisian, salah satu institusi yang disebut dalam cerita Freddy kepada Haris, bukannya lebih sibuk menelusuri kebenaran informasi itu. Jika ada oknum kepolisian yang terbukti ikut bernain bisnis narkotika segera ditindak dan bersihkan institusi itu dari ‘’penjahat narkotika.’’
Suara dari kepolisian, berkecenderungan menuntut Haris untuk membuktikan catatannya, dan ingin menjerat Haris dalam kasus pencemaran nama baik terhadap institusi. Proses ini justru tidak akan berkontribusi bagi pemberantasan narkotika, kecuali membawa perdebatan tentang ‘’pencemaran nama baik.’’
Hal itu tidaklah sulit bagi kepolisian, walaupun informasinya tidak bisa dikonfirmasi pada sumber utama (Freddy), karena dia sudah dieksekusi. Namun ada saksi, yaitu beberapa orang yang hadir ketika Freddy bercerita pada Haris. Di situ ada Kepala Lapas Nusakambangan, Sitinjak, ada dua pelayan gereja, dan juga John Kei.
Sebagai lembaga publik bidang penegakan hukum, kepolisian sebaiknya tidak menghadapinya dengan ‘’menebarkan ketakutan’’ ke publik yang menyampaikan informasi yang tidak menyenangkan bagi institusi ini. Hal ini justru akan mengganggu akuntabilitas lembaga itu.
Maka, pilihannya bisa disederhanakan, kepolisian lebih fokus pada pemberantasan narkotika dengan konsekuensi menelusuri kebenaran informasi dan mengambil tindakan hukum jika ditemukan ada oknum yang terlibat bisnis narkotika. Dan hal ini bisa bekerja sama dengan Haris dan KobntraS. Atau fokus pada ‘’menjaga’’citra kepolisian, karena penyebaran cerita Freddy oleh Haris?
Sayangnya, pilihan kedua lebih tampak lebih merupakan cara pandir untuk membangun citra penegak hukum. Sebab, tidak akan meredam kegeraman rakyat pada kejahatan narkotika, bahkan sebaliknya.
Pj Wali Kota Pekanbaru Risnandar Terjaring OTT KPK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan Penjabat (Pj) Wali Kota ...