Loading...
OPINI
Penulis: H Hans Panjaitan 00:00 WIB | Kamis, 17 Maret 2016

Miskinkan Koruptor!

SATUHARAPAN.COM - Korupsi adalah musuh bersama yang harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Korupsi adalah penghambat majunya sebuah peradaban. Gara-gara korupsi negara gagal menyejahtrakan masyarakat. Dana pembangunan yang jumlahnya amat besar, banyak yang tidak sampai ke sasaran, namun justru masuk ke kantong oknum-oknum yang tidak berperikemanusiaan.

Maka sangat masuk akal bila korupsi harus diperangi hingga musnah. Namun sayang sekali, tekad memerangi korupsi seringkali hanya sebatas jargon atau basa-basi yang tidak pernah diwujudkan. Tentu kita masih ingat bagaimana dulu,   partai penguasa  sangat gencar memperingatkan kita:  KATAKAN “TIDAK” PADA KORUPSI. Eh, ndilalah, hampir semua bintang iklannya malah masuk penjara karena korupsi.

Dalam musim kampanye, calon kepala daerah atau calon anggota legislatif pada umumnya menjadikan “pemberantasan korupsi” sebagai fokus utamanya apabila terpilih. Namun kenyataan yang tersaji kemudian, sungguh bertolak belakang. Banyak kepala daerah yang terseret korupsi. Dan itu pun kemungkinan besar baru yang kedapatan atau tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Oknum yang lihai, yang permainan kotornya tidak terendus, tentu saja ada, tapi mungkin belum waktunya terjerat. Namun kita tidak perlu terlalu pesimis juga, sebab masih ada pejabat atau anggota legislatif yang tidak pernah mau mengkhianati sumpah jabatannya. Hanya saja, jumlah mereka hanya segelintir sehingga gaungya dan dampaknya tidak terlalu signifikan.

Harapan rakyat supaya praktik-praktik korupsi ditiadakan, pun kelihatannya masih membentur tembok  tebal. Indikasinya sudah sangat jelas. KPK yang sudah membuktikan kinerjanya dalam beberapa tahun ini, idealnya diberi keleluasaan untuk bekerja lebih garang lagi. Namun pihak-pihak yang sumber rezeki dan kenyamanannya terusik, melakukan segala cara untuk membungkam lembaga ini. Dan kekuatan mereka sangat dahsyat. Faktanya, pimpinan KPK ada yang masuk penjara dengan dakwaan “membunuh”. Penyidik KPK yang sudah teruji dan terbukti berkerja bagus pun sengaja dijerat dengan kasus lama. Yang lebih mencengangkan adalah saat pelemahan KPK pimpinan Abraham Samad yang begitu telanjang dan nyata menjelang berakhirnya periode mereka. Sebagai “pelipur lara” bagi rakyat, terpilihlah lima komisioner baru untuk menggantikan para pendekar anti-korupsi yang sepertinya sengaja dipinggirkan itu.

Korupsi mestinya mudah dipatahkan, dengan syarat semua elemen bangsa, terutama para pejabat dan tokoh-tokoh yang berwenang bersatu padu dan bersatu hati. Namun apalah yang bisa diharap ketika lembaga negara yang punya otoritas menetapkan komisioner KPK pun terkesan pilih-pilih pemberantas korupsi yang menurut mereka “ramah”. Padahal, kalau semua pihak ingin korupsi dibabat segera dari Bumi Pertiwi ini, sosok-sosok seperti Johan Budi, Bambang Widjojanto, dan lain-lain yang dipilih untuk memimpin KPK. Karena mereka sudah terbukti dan mampu, sementara komisioner yang baru, belum jelas arah dan semangatnya. Meniru iklan minyak gosok: memberantas korupsi (di Indonesia) kok coba-coba!

 

Tidak perlu hukuman mati

Sejauh ini, di negara kita pelaku korupsi hanya diganjar dengan hukuman penjara dengan lama yang bervariasi, tergantung besarnya kerugian negara yang diperbuat. Banyak pihak yang tidak puas atas vonis yang dijatuhkan pengadilan kepada koruptor. Oknum yang terbukti mengembat uang rakyat puluhan miliar rupiah misalnya, bisa dihukum hanya beberapa tahun.

Dengan adanya remisi, dsb., seorang koruptor kakap bisa mendekam di tahanan hanya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dia bebas dengan sumringah dijemput sanak keluarga, melakukan acara syukuran, menikmati hidup. Ini sungguh tidak adil dan melukai hati masyarakat. Sehingga beredar wacana supaya koruptor dihukum mati saja.

Sementara, pelaksanaan hukuman mati saat ini masih kontroversi. Banyak negara yang sudah menghapus hukuman mati dengan berbagai alasan. Ada yang melihat dari sudut agama, bahwa hanya Tuhanlah yang punya hak mencabut kehidupan seseorang. Terlepas dari alasan tersebut, koruptor memang tidak harus dihukum mati. Koruptor “hanya” mengakibatkan negara kehilangan uang. Maka hal yang paling urgen sebenarnya adalah bagaimana supaya uang ini bisa kembali, tanpa harus mengambil nyawa si koruptor. Salah satu caranya tentu saja menyita seluruh miliknya, sehingga uang yang dikorupsi kembali utuh. Sekalipun demikian, si koruptor tetap harus dihukum karena tindakannya tersebut.

Maka dari itu, tindakan memiskinkan koruptor adalah langkah yang sangat tepat. Jika seorang telah dipastikan pengadilan melakukan korupsi, maka seluruh asetnya harus disita dan dikembalikan kepada negara sesuai nilai yang dikorupnya. Untuk apa seseorang dihukum mati atau dipenjara, sementara uang negara yang dicuri tetap bisa dipakai berpoya-poya oleh keluarganya. Jadi, hukuman memiskinkan koruptor adalah langkah ideal. Selain negara tidak “berdosa”  kepada Tuhan, rasa keadilan pun lebih nyata.

Dan bahwa wacana hukuman memiskinkan koruptor ini sangat ditakuti, dapat terlihat dari pernyataan Fahri Hamzah, wakil ketua DPR beberapa waktu lalu. Sehubungan dengan RUU Pengampunan Nasional yang digodok Badan Legislasi DPR, Oktober 2015 lalu, antara lain dia mengatakan bahwa negara tidak boleh memiskinkan warga negara, sekalipun itu seorang koruptor (republika.co.id, 8 Oktober 2015).

Dan tampaknya, cita-cita rakyat Indonesia mengubur korupsi tidak akan pernah terwujud. Gejalanya sudah tampak jelas, di mana pihak legislatif sangat bernafsu untuk merevisi UU KPK, yang di mata banyak pihak itu adalah upaya pelemahan terhadap KPK. Dan kalau niat “wakil parpol” ini tidak bisa diredam, maka seluruh rakyat Indonesia sendiri pada dasarnya masa bodoh dengan korupsi.

 

Penulis adalah Peneliti di Reformed Center for Religion and Society, Jakarta

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home