Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 17:29 WIB | Jumat, 11 Desember 2015

Moody's: Ancaman Terbesar Ekonomi RI adalah Politik Dalam Negeri

Ratusan aparat dari kepolisian saat berjaga-jaga mengamankan aksi unjuk rasa para mahasiswa yang digelar di seberang Istana Negara menuntut Presiden Joko Widodo terkait dengan melemahnya perekonomian Indonesia belum lama ini. Responden dalam survei Moody's mengatakan risiko terbesar yang dihadapi perekonomian adalah risiko politik dalam negeri (Foto: Dedy Istanto)

SINGAPURA, SATUHARAPAN.COM - Moody Investors Service mengatakan berdasarkan jajak pendapat terbaru yang dilakukan di Jakarta, risiko politik dalam negeri dan tidak efektifnya pelaksanaan kebijakan merupakan risiko terbesar ekonomi makro Indonesia pada tahun 2014.

Risiko tebesar kedua adalah dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok serta melemahnya harga komoditas global, diikuti oleh depresiasi rupiah yang dipicu oleh kemungkinan naiknya suku bunga The Fed.

Menurut Moody's, 36 persen remsponden menempatkan risiko politik sebagai risiko terbesar, 31 persen menyebut perlambatan ekonomi Tiongkok dan 31 persen menyebut pelemahan nilai tukar rupiah.

Lebih jauh, jajak pendapat itu menunjukkan dua pertiga responen percaya kebangkitan pertumbuhan di Indonesia tidak mungkin terjadi pada tahun 2016.

"Ancaman potensial terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2016 terdiri koreksi lebih jelas dalam pertumbuhan PDB Tiongkok, dan respon tak teratur terhadap pengetatan kebijakan moneter Federal Reserve AS," kata Rahul Ghosh, Wakil Presiden Moody's, dalam siaran pers yang dilansir pada laman resmi perusahaan itu.

"Berbeda dengan pandangan pasar, kami percaya bahwa risiko dari politik dalam negeri telah surut sedikit."

Ghosh menjelaskan bahwa Moody's memperkirakan Indonesia hanya akan mencapai pertumbuhan PDB riil sebesar 4,7 persen pada tahun 2016; kecepatan yang sama dengan ekspansi yang diharapkan terjadi pada tahun 2015. Perkiraan ini menggabungkan asumsi Moody's tentang harga komoditas global yang masih rendah, dan normalisasi bertahap suku bunga AS.

Ghosh menjelaskan hal ini ketika berbicara tentang laporan mereka yang baru dirilis, berjudul Indonesia Credit: Inside ASEAN --The View from Indonesia.

Laporan ini membahas hasil dari jajak pendapat real-time terhadap lebih dari 60 investor, broker, regulator dan emiten yang menghadiri acara Moody's di Jakarta pada 3 Desember 2015.

Terkait masalah depresiasi mata uang, sebagian besar pelaku pasar yang disurvei oleh Moody's memperkirakan adanya tambahan tekanan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 2016.

Setengah dari responden melihat profil kredit dari pengembang properti (26%) dan perusahaan minyak dan gas (24%) yang paling terkena akibat pelemahan mata uang lebih lanjut. Diikuti oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi (19%).

Sebaliknya, Moody's mengatakan pelemahan dalam rupiah kemungkinan akan dapat ditangani oleh perusahaan infrastruktur dan eminten yang disurvei oleh Moody's.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home