Loading...
SAINS
Penulis: Tunggul Tauladan 17:15 WIB | Kamis, 15 Januari 2015

Mudahnya Perizinan Hotel di Yogyakarta Ancam Lingkungan Hidup

Diskusi bertajuk "Jogja Asat" di Ruang Pameran, Pusat Studi Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH), UGM, pada Rabu (14/1). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Beberapa aktivis di Yogyakarta menggelar pemutaran film “Belakang Hotel” di Ruang Pameran, Pusat Studi Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH), UGM, pada Rabu (14/1) malam. Tak hanya pemutaran film, acara yang dihadiri sekitar 600-an orang ini juga disusul dengan diskusi yang mengangkat tema “Jogja Asat” (Jogja Kekeringan).

Isu paling kuat yang berkembang dalam diskusi tersebut adalah kemudahan mendapatkan perizinan untuk mendirikan hotel dan persoalan lingkungan hidup yang semakin rusak akibat pendirian hotel. Hal yang mendapat sorotan adalah terjadinya “perebutan” air antara masyarakat Yogyakarta dengan pihak hotel atau antara pemodal dengan rakyat.

Totok Dwi Diantoro dari Pusat Kajian AntiKorupsi (PUKAT), UGM menyampaikan pandangannya, bahwa pada 2014 silam, banyak sumur warga, yang bersinggungan langsung dengan hotel, menjadi kering. Fenomena kekeringan sumur warga, yang beberapa di antaranya telah berusia ratusan tahun, baru terjadi saat ini. Sebelumnya, meskipun kemarau panjang melanda Yogyakarta, sumur-sumur tersebut tidak pernah mengalami kekeringan.

Kekeringan yang terjadi tersebut bertalian erat dengan banyaknya hotel yang tumbuh dan berkembang di Yogyakarta. Hotel-hotel dapat dengan mudah menjamur karena perizinan yang dinilai sangat mudah untuk didapatkan. Totok menilai bahwa masalah izin ini yang kemudian berimbas pada permasalah air.

“Izin seolah telah menjadi komoditi bagi kepala daerah untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di titik ini, kepala daerah memberikan kemudahan dalam pengurusan izin. Nah di sinilah permasalahann muncul,” ujar Totok Dwi Diantoro.

Di sisi lain, Eko Teguh Paripurno dari Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Negeri (UPN) Veteran Yogyakarta menyampaikan tentang konsep “Hamemayu Hayuning Bawono” yang menjadi jargon pembangunan di Yogyakarta. Konsep tersebut secara harfiah diterjemahkan sebagai keselarasan antara manusia dengan lingkungan hidup.

Dalam konsep tersebut, pemimpin dan rakyat di suatu daerah hendaknya mampu menjaga keselarasan dengan lingkungan sekitar. Maraknya hotel yang berdiri dengan kemudahan izin menjadi sesuatu yang sudah tidak selaras lagi dengan konsep “Hamemayu Hayuning Bawono”.

Pasalnya, hotel yang marak berdiri sangat mengancam keberadaan kualitas maupun kuantitas air yang ada di Yogyakarta. Hotel terus-menerus menyedot air sehingga dampak kekeringan dan kerusakan lingkungan semakin nyata. Celakanya, masyarakatlah yang paling merasakan dampak terbesar dari kekeringan dan kerusakan lingkungan tersebut.

“Kesejahteraan untuk mendapatkan air bagi masyarakat juga merupakan konsep ‘Hamemayu Hayuning Bawono’”, ujar Eko.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home