Loading...
INDONESIA
Penulis: Melki Pangaribuan 16:51 WIB | Jumat, 19 Juli 2013

Mudji Sutrisno: Jalan Kebudayaan sebagai Perekat dalam Menghadapi Krisis Global

Mudji Sutrisno: Jalan Kebudayaan sebagai Perekat dalam Menghadapi Krisis Global
Budayawan, Mudji Sutrisno. (foto: Elvis Sendouw)
Mudji Sutrisno: Jalan Kebudayaan sebagai Perekat dalam Menghadapi Krisis Global

DEPOK, SATUHARAPAN.COM - Budayawan, Romo Mudji Sutrisno, menawarkan "Jalan Kebudayaan" sebagai  perekat di tengah situasi menghadapi krisis global, menghayati kembali hidup dalam perbedaan, dan men-dekonstruksikan istilah mayoritas-minoritas untuk membangun bangsa Indonesia dewasa ini.

Pernyataan itu disampaikan Budayawan, Mudji Sutrisno kepada satuharapan.com, pada hari Hari Ulang Tahun Abdurrahman Wahid Centre (AWC) yang pertama, dalam acara Round Table Discussion: "Minoritas di Asia Tenggara: Perspektif Akademik Aktivis dan Agamawan". Di mana terminologi minoritas-mayoritas sudah semestinya tidak digunakan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kebijakan pemerintahan, dan realitas kepentingan politik.

Selanjutnya, satuharapan.com menggali lebih jauh apa saja yang menjadi pemikiran Romo Mudji Sutrisno mengenai hal tersebut dalam satu sesi wawancara. Wawancara dengan Guru Besar STF Driyarkara dan Dosen Pasca Sarjana UI ini, berlangsung di samping Ruang Apung Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis (18/07). Berikut petikan wawancaranya:

Satuharapan.com: Berkaitan dengan minoritas dan mayoritas, apa yang diharapkan ke depan?

Mudji Sutrisno: "Ada dua yang diharapkan."

"Satu, kita harus kembali lagi ke dalam ranah hidup dalam perbedaan, kita harus kembali menghayati hidup dalam perbedaan. Dalam keluarga itu tiap orang unik kan? dan yang paling lemah itu harus diberi perhatian, dan dalam hal ini pemerintah harus memberikan contoh (perhatian)."

"Yang kedua, mayoritas dan minoritas itu adalah kategori sosiologis yang menjebak. Kenapa? karena itu minoritas mesti didekonstruksi, harus dirombak."

"Saya ini minoritas secara agama, karena saya katolik di Indonesia. Tapi saya di Indonesia mayoritas, karena saya Jawa, secara suku. Oleh karena itu, perasaan mayoritas dan minoritas ini hanya kategorisasi."

"Untuk itu supaya orang betul-betul memperjuangkan bahwa di Indonesia tidak ada mayoritas dan minoritas, tetapi kita sebagai pendiri bangsa ini, di depan hukum sama, di hadapan Konstitusi, Undang-undang 1945, dan Pancasila."

Satuharapan.com: Dalam hal ini, bukankah akan menjadi pengkotak-kotakan kembali, ada sukuisme, dan lain-lain?

Mudji Sutrisno: "Begini, kita dalam transisi perkembangan. Awalnya kan Indonesia, kalau kita lihat awalnya linear: selalu adalah identitas etnik, kemudian identitas agamais, kemudian menjadi nasionalis, dan saat ini mengarah kepada global."

"Nah, ketika dalam global ini kita mengalami krisis-krisis itu dan di situ mesti dicari perekat-perekatnya, salah satu perekat yang saya promosikan adalah jalan kebudayaan, yaitu makin dialog maka makin tahu keterbatasan, dan makin menyerap satu sama lain akan perbedaan itu sendiri."

Romo Mudji menambahkan, bahwa jalan politisi itu selalu memecah-mecahkan dan jalan ekonomis mereduksi orang untuk uang yang akan habis.

"Jalan politis jelas, partai-partai yang agamis pecah terus kan? Kristen juga pecah, partai Islam juga pecah kan? Jalan politik selalu memecah, sana kawan-sini lawan,"

Sementara itu, kata Romo Mudji bahwa jalan ekonomis yang ditempuh, telah mereduksi orang untuk "uang, uang, uang, dan itu akan habis. Maka jalan kebudayaan mesti terus diupayakan."

Satuharapan.com: Lalu, apa yang tepat mengenai dekonstruksi mayoritas dan minoritas? 

Mudji Sutrisno: "Begini, dekonstruksi ini dalam kategori mayoritas-minoritas sosiologis, tapi pada satu identitas tertentu, pada setiap orang itu relatif sekali. Jadi selain pengertiannya, itu hanya untuk mengotakan."

Romo Mudji yang turut menjadi pelopor lahirnya AWC UI menambahkan, bahwa pengotakan tersebut berasal dari Indonesia masa lalu. "Selama warisan dari Soeharto (Mantan Presiden Indonesia, red) kepada kita itu, dia berhasil sekali mengkotak-kotakan kita dalam kotak, yang tidak hanya kelompok-kelompok, tetapi juga SARA (Suku, Agama, Ras, Adat) itu sendiri."

"Sekarang ini karena kotak-kotak itu terbuka, maka orang-orang mulai makin masuk dengan SARA itu sendiri. Nah, Kotak-kotak itu sendiri jangan boleh masuk ke sana: peri non peri, mayoritas dan minoritas; jadi jangan melanjutkan pengkotak-kotakan tetapi kita membuka jendela masing-masing dan yang paling penting mau rendah hati untuk belajar toleransi."

Satuharapan.com: Seperti apa toleransi itu?

Mudji Sutrisno: "Ada tiga macam toleransi, toleransi yang pertama adalah saya menghormati anda saja. Ya sudah, tetap beda."

"yang kedua, toleransi dalam tahap saya menghormati anda, tetapi di dalam hati kecil saya: 'wah, saya mayoritas, superior.' Nah, itu belum toleransi."

"Nah, toleransi tahap ketiga adalah ketika tolerasi sampai tahap, bukan hanya pada tahap empatik tetapi juga menaruh diri, seperti kata Karen Amstrong, 'menaruh diri pada posisi anda'. Jadi, kalau saya berada di posisi minoritas, apa yang mesti saya lakukan untuk itu? itu masalahnya."

Satuharapan.com: bagaimana dekonstruksi dimulai dalam struktur yang sudah ada?

Mudji Sutrisno: "Kita mesti kembali kepada kebijaksanaan hidup, mana struktur (sistem) yang membuat hidup bersama lebih baik, mana yang menghambat untuk hidup bersama. Ke depan, kita mulai melihat perbedaan itu, sebagai perbedaan yang memperkaya, seperti yang kita punya di Nusantara ini.”

“Jadi, bagaimana nilai ke-Islam-an memberi sumbangan untuk kemartabatan dan untuk ke-Indonesia-an, yang pluralis dan beradab. Bagaimana nilai ke-Katolik-an, ke-Kristen-an memberi sumbangan untuk Indonesia itu. Bagaimana ke-Jawa-an memberi sumbangan untuk itu, misalnya dengan roso-nya, lalu bagaimana ke-Minang-an, dengan sisi demokratisnya memberi sumbangan untuk ke-Indonesiaan."

Editor : Yan Chrisna


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home