Loading...
HAM
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 17:50 WIB | Kamis, 17 Juli 2014

Muslim Amerika Terus Perjuangkan Hak-hak Sipil Mereka

Pasca tragedi 11 September, Arab dan Muslim Amerika terus mengalami diskriminasi dan memperjuangkan hak-hak sipil mereka. (Foto: aljazeera.com)

WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Arab Amerika dan beberapa aktivis lainnya mengatakan bahwa tiga belas tahun setelah serangan 11 September, orang-orang Arab dan Muslim di Amerika Serikat (AS) masih terus menghadapi prasangka buruk dari lingkungan mereka dan mereka terus memperjuangkan hak-hak sipil mereka.

“Peristiwa tersebut membuat semuanya semakin buruk bagi kami,” kata Nadia Tonova, direktur eksekutif dari Jaringan Nasional Masyarakat Amerika Arab (NNAAC) di Dearborn, Michigan. “Kami adalah masyarakat yang terus menerus dicurigai. Hal ini benar-benar berada pada titik puncak di mana semuanya telah berada di luar kendali.”

NNAAC menggelar kampanye akar rumput yang menghabiskan dana sebesar USD 4,5 juta atau sekitar Rp 52 triliun bertajuk “Menghapus Kebencian” di New York City pada Senin (15/7) yang bertujuan untuk memperlengkapi Arab dan Muslim Amerika untuk memerangi bias dan prasangka yang selama ini dituduhkan kepada mereka. Kampanye yang didanai oleh Yayasan Open Society dan Proteus Fund akan fokus pada pencapaian perubahan kebijakan publik, mendidik masyarakat AS tentang Muslim dan aktivis masyarakat memberikan sebuah wadah untuk memerangi diskriminasi.

Kampanye ini bertujuan untuk menantang tindakan diskriminasi seperti insiden yang terjadi pada 16 Juni lalu, dalam diskusi panel yang diselenggarakan oleh konservatif Heritage Foundation di Washington, DC.

Selama diskusi tentang serangan terhadap konsulat AS di Benghazi, Libya, seorang mahasiswa hukum Muslim bernama Saba Ahmed mengatakan: “Kami menggambarkan Islam dan semua Muslim di sini sangat buruk, tetapi ada sekitar 1,8 miliar pengikut Islam dan kami memiliki delapan juta ditambah Muslim Amerika di negara ini dan saya tidak melihat mereka terwakili di sini.”

Salah satu panelis, Brigitte Gabriel, menjawab bahwa Muslim moderat di AS “tidak relevan” dalam memerangi radikalisme. “Sudah saatnya kita mengambil kebenaran politik dan membuangnya di tempat sampah dan mulai melabel orang lain secara jujur dan apa adanya,” balas Gabriel yang kemudian disambut dengan standing ovation dari sekitar 150 orang yang hadir pada saat itu.

Dalam pertukaran pikiran melalui sebuah stasiun televisi baru-baru ini dengan Gabriel, Linda Sarsour, direktur advokasi nasional untuk NNAAC tersebut menantang Gabriel untuk menghubungkan semua umat Islam dengan terorisme. “Saya ingin Anda mengerti bahwa jika Anda ingin memerangi terorisme, Anda mungkin perlu bekerja di dalam komunitas Muslim. Anda perlu memastikan apakah kita adalah bagian dari terorisme dan sebuah kutipan tentang Muslim moderat yang Anda bicarakan, yang dianut oleh sebagian besar Muslim di negara ini harus menjadi bagian dalam diskusi ini.”

Aktivis Muslim Amerika khawatir bahwa retorika seperti Gabriel dapat memicu serangan kekerasan dan kejahatan maupun kebencian terhadap Arab dan Muslim di AS. Menurut Arab American Institut,  ada sekitar 3,6 juta orang Amerika keturunan Arab  yang sebagian dari mereka adalah umat Kristen dan enam juta Muslim Amerika yang diperkirakan berasal dari berbagai bangsa.

“Hal-hal buruk yang terjadi di Timur Tengah juga berdampak bagi kami, orang Arab Amerika di AS. Setiap kali ada sesuatu yang serius terjadi di Timur Tengah, di sini juga terkena dampaknya,” kata Samer Khalaf, presiden Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab (ADC) mengatakan kepada Al Jazeera yang dirilis pada Minggu (13/7). “Orang-orang ada yang diserang dan dipukuli tanpa sebab hanya karena mereka terlihat sebagai Muslim.”

Kejahatan Kebencian terhadap Anti-Muslim

Ada 155 kasus kejahatan kebencian terhadap anti-Muslim yang dilakukan terhadap orang-orang Arab dan Muslim di AS selama tahun 2012 menurut data statistik FBI terbaru. Yang paling mengerikan adalah penembakan di kuil Sikh di Wisconsin, yang dilakukan oleh supremasi kulit putih dan salah mengira bahwa dia telah menyerang Muslim. Di dalam serangan tersebut dia membunuh enam orang Sikh dan kemudian ditembak oleh polisi sebelum dia membunuh dirinya sendiri.

Sejak serangan 11 September, 30 kelompok kebencian anti-Islam telah terbentuk di AS, menurut Southern Poverty Law Center, yang didirikan pada tahun 1971 untuk memerangi rasisme terhadap kulit hitam di selatan Amerika. “Kami telah melihat beberapa kejahatan mengerikan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dianggap Arab,” kata Richard Cohen, presiden Southern Poverty Law Center kepada Al Jazeera.

Pada bulan Maret, sekitar 40 jamaah menghadiri shalat subuh di Prayer Center Orland Park, sebuah kota pinggiran selatan Chicago, beberapa peluru ditembakkan melalui kubah masjid. Tidak ada yang terluka dalam insiden itu. Kantor Chicago dari Dewan Hubungan Amerika-Islam meminta FBI untuk menyelidiki insiden itu sebagai kejahatan rasial, namun belum ada tersangka yang dapat diidentifikasi.

Menurut juru bicara FBI, Stephen Fischer, pada Januari 2015 mendatang, satuan FBI dalam kasus kejahatan terhadap kebencian secara khusus akan melacak kejahatan kebencian terhadap orang-orang Arab, sebuah kategori satuan hukum yang belum diakui sebelumnya oleh lembaga penegak hukum. FBI juga akan melacak kejahatan kebencian terhadap anti-Sikh dan sentimen anti-Hindu.

Pada konferensi bulan Juni di Washington yang diselenggarakan oleh ADC, peserta mengatakan Amerika Arab mengakui mereka berada dalam kesinambungan pasca 11 September untuk memperjuangkan hak-hak sipil. Hal itu bukanlah sekadar membenci kejahatan, Arab dan Muslim di AS mengatakan mereka menghadapi diskriminasi yang merajalela di setiap bidang kehidupan. “Kami adalah orang kulit hitam di abad ke 21,” kata Azizah Y al-Hibri, pendiri Pengacara Wanita Muslim untuk Hak Asasi Manusia (HAM) dan seorang pensiunan profesor di University of Richmond Williams School of Law.

Survei pada tahun 2012 yang dilakukan oleh Arab American Institute menemukan bahwa 55 persen Arab dan Muslim Amerika telah mengalami diskriminasi dan 71 persen takut dengan diskriminasi yang akan terjadi di masa mendatang.

Arab Amerika secara rutin menghadapi kerepotan ekstra saat bepergian dan Haytham Faraj, seorang pengacara pembela yang berbasis di Chicago menyatakan bahwa jaksa sering membesar-besarkan tuduhan terhadap Amerika Arab dengan menuduh kejahatan yang berat yang terkait dengan dugaan mata-mata atau terorisme.

Ketakutan yang Menguat

 Sejak tahun 2010, ADC mengatakan telah melihat lonjakan keluhan diskriminasi di tempat kerja. Bulan lalu, sebuah kelompok telah mengajukan gugatan diskriminasi terhadap sebuah dealer mobil di Lexington, Kentucky, atas nama Easa Shadeh, seorang warga negara AS yang disebut “joki unta” dan dia dikatai oleh rekan kerjanya bahwa orang Arab adalah orang “negro baru”.

Denyse Sabagh, kepala kelompok praktik imigrasi di firma hukum Duane Morris mengatakan bahwa orang-orang Muslim dan Arab menghadapi penundaan lebih birokratis dan hambatan dalam sistem imigrasi AS dibandingkan dengan kelompok minoritas lainnya. “Saya mewakili orang-orang dari seluruh dunia dan orang-orang yang sepertinya memiliki masalah adalah orang-orang yang berasal dari Arab dan Muslim,” kata dia.

Arab dan Muslim telah lama digambarkan sebagai penjahat dan musuh dalam budaya populer Amerika seperti yang tertuang dalam kartun, film dan acara televisi. Serangan 11 September dengan cepat menjadi tren dan disuntikan ke dalam dinamika politik AS, kata Jack Shaheen, produser film dokumenter 2006, Reel Bad Arab: Bagaimana Hollywood Memfitnah Orang.

“Ada ketakutan kuat dari Muslim sebelumnya yang bukan hanya umat Islam tetapi juga Muslim Amerika,” kata Shaheen kepada Al Jazeera. “Masalah ini telah tumpah ke arena politik dan semakin memburuk.” (aljazeera.com)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home