Loading...
INDONESIA
Penulis: Melki Pangaribuan 11:06 WIB | Senin, 12 Agustus 2013

Negara Tak Lagi Netral Ketika Terbitkan SKB Tentang Ahmadiyah

Negara Tak Lagi Netral Ketika Terbitkan SKB Tentang Ahmadiyah
Ahmad Najib Burhani (kanan) bersama Profesor Studi Islam dan Kajian Timur-Tengah di UCSB, Juan E. Campo (kiri). (Foto-foto: dok.)
Negara Tak Lagi Netral Ketika Terbitkan SKB Tentang Ahmadiyah
Ahmad Najib Burhani menjadi pembicara dalam satu diskusi tentang Islamic Reform Movements.
Negara Tak Lagi Netral Ketika Terbitkan SKB Tentang Ahmadiyah
Ahmad Najib Burhani (di podium), pada konferensi tentang Kajian Indonesia di Universitas California, Los Angeles (UCLA).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ahmad Najib Burhani, tanggal 5 Juni 2013, memperoleh penghargaan The Professor Charles Wadell Memorial Award 2012-2013 dari Universitas California, Santa Barbara (UCSB). Penghargaan ini diberikan kepada pakar comparative religions within a single religious tradition (Islam) dan kajian tentang “konsep, teori, dan praktek heresy”,  atas prestasinya dalam pengembangan Studi Islam dan Kajian Timur Tengah di Amerika Serikat, secara khusus mengkaji tentang Ahmadiyah dengan judul When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia.

Dalam wawancara satuharapan.com dengan Ahmad Najib Burhani melalui surat elektronik, dan dijawab pada Minggu (4/8),  dijelaskannya alasan dia tertarik mengkaji tentang kelompok minoritas keagamaan dalam Islam atau pecahan dari Islam.

Menurut peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia  (LIPI)  yang saat ini masih berada di Amerika Serikat, ada beberapa kriteria yang dijadikan acuan ketika menentukan kepakaran yang dia pilih dan juga tema dalam penulisan disertasinya.

Pertama, disertasi yang dia tulis harus menjadi batu pijakan yang kokoh untuk “positioning” dalam masyarakat akademik di dunia dan Indonesia, terutama dalam bidang humanities. Maksud dia, di Indonesia telah ada beberapa sejarawan agama seperti Azyumardi Azra, ada filosof agama seperti Amin Abdullah, ada filolog agama seperti Oman Fathurrahman, ada scholar tentang radikalisme seperti Noorhaidi Hasan. Saya harus punya kepakaran dan spesialisasi yang orang lain tidak punya. Dengan studinya di Amerika Serikat dalam bidang Religious Studies (Kajian Agama), dia akhirnya memilih untuk menjadi ahli dalam bidang “Minority Religions & Religious Sects,” lebih spesifik lagi kepakaran yang dia ambil adalah ahli comparative religions within a single religious tradition (Islam) dan kajian tentang “konsep, teori, dan praktek heresy”. Bidang ini meliputi (1) sekte-sekte sempalan dari Islam dan kemudian membentuk agama baru seperti Baha’i Faith; (2) Sekte-sekte yang masih dalam Islam seperti Ismaili; (3) Sekte yang berada antara Islam dan agama sendiri seperti Ahmadiyah dan Druze. Di Indonesia banyak sekali sekte/aliran keagamaan yang bisa dimasukkan dalam tiga kategori itu, seperti Lia Eden, Satrio Piningit, Wetu Telu, dan berbagai aliran kebatian.

“Beruntung saya mendapat pendidikan yang menekankan teori dan metodologi yang kuat dalam bidang ini dari kuliah-kuliah saya selama ini, terutama dari Dept. of Religious Studies Univ California – Santa Barbara. Nah, disertasi saya harus memiliki pijakan yang kuat dalam area/kepakaran yang saya pilih itu,” kata Ahmad Najib.

Level Internasional

Kriteria kedua dalam penentuan disertasinya adalah bahwa kajian yang dia ambil harus mampu mengangkat dirinya dari sekadar pengakuan akademik tingkat nasional menuju level internasional atau keluar dari boundaries of Indonesian studies. Maksudnya, kontribusi yang dia berikan dalam penulisan disertasi harus memberikan dampak yang lebih luas dari lingkup Indonesia. Ia harus memberi manfaat secara global atau bisa dipakai sebagai acuan pada kajian yang serupa di negara lain. Ia pernah membuat prospektus atau proposal disertasi tentang Muhammadiyah, tapi proposal ini dibatalkannya karena tidak memenuhi kriteria ini. Kemudian, ia membuat lagi proposal tentang construction of Islamic authenticity dengan membandingkan antara kelompok traditionalist, modernist, neo-modernist, dan post-traditionalist. Kembali, tema ini dibatalkannya dengan alasan yang agak sama. Najib lantas membuat prospektus tentang Indonesian Islam dengan harapan bisa menemukan pattern tentang Islam khas Indonesia/Asia Tenggara yang berbeda dari Islam di tempat lain. Meski kriteria ini mendekati kriteria yang bisa membawanya ke kancah internasional, tapi ia tidak memenuhi kriteria pertama. Ini lebih merupakan area studies, bukan religious studies.

“Saya sebetulnya tidak membatalkan sama sekali minat saya pada tema Indonesian Islam, saya hanya menunda. Saya rasa tema ini jauh lebih besar dari waktu yang tersedia untuk menulis disertasi. Tema ini juga membutuhkan landasan teori yang lebih rumit. Untuk saat ini tema ini juga saya batalkan, tapi suatu saat pasti saya akan kembali lagi ke penelitian ini,” paparnya.

Kriteria ketiga adalah sumbangan teori. Ia selalu teringat dengan Clifford Geertz yang menjadikan disertasinya sebagai pijakan membangun teori-teori setelah usai pendidikan doktoralnya. Disertasi Geertz memang khusus tentang Indonesia, tapi teori yang dibangun setelah selesai disertasi adalah untuk wacana internasional. Disertasi bukanlah akhir atau puncak karya, tapi awal dari karya-karya dan karir akademik yang lebih serius. Dengan disertasi yang kuat dan bagus, maka kemungkinan akan menjadi intelektual yang benar. Geertz kemudian terkenal dengan teorinya “religion as symbolic system” berkat studinya di Morocco dan Indonesia.

“Saya tahu diri dengan kapasitas saya, tapi tidak ada salahnya saya bermimpi akan menjadi orang seperti Clifford Geertz dalam bidang religious studies (bukan teologi). Selama mimpi, harapan, idealisme, dan semangat masih ada, saya kira akan sangat baik jika saya mengikuti dan memupuknya. Saya khawatir, pada suatu saat nanti, semangat/mimpi seperti ini akan mati dan diganti dengan semangat yang pragmatis. Untuk lebih tepatnya, saya ingin menyumbangkan teori tentang persoalan sektarianisme, kelompok agama minoritas, perpecahan dalam agama dan sejenisnya,” ungkap Ahmad Najib.

Berdasarkan tiga kriteria itu, dia akhirnya memilih mengkaji tentang Ahmadiyah dengan judul When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia. Tema ini memenuhi kriteria pertama, sebagai pijakan menjadi ahli minority religions & religious sects. Untuk menjadi ahli bidang itu, tentunya tidak mungkin baginya untuk mengkaji seluruh kelompok keagamaan minoritas untuk disertasi. Pembatasan waktu penelitian dan scope of study membuat dia harus memilih satu topik yang terjangkau dan menarik.

“Saya punya waktu tiga tahun untuk menulis disertasi. Karena itu saya harus memilih satu dari beberapa kelompok agama minoritas di Indonesia. Dan pilihan saya jatuh ke Ahmadiyah,” jelasnya.

Tema ini juga memenuhi kriteria kedua, yaitu memperkenalkan dirinya ke kancah masyarakat internasional dan membawanya ke beberapa negara. Meski dia memfokuskan diri mengkaji Ahmadiyah di Indonesia, tapi Ahmadiyah ada di lebih dari 100 negara. “Disertasi yang saya tulis memungkinkan dikaji atau dibaca oleh peneliti dari berbagai negara. Atau, tulisan ini memungkinkan untuk dikembangkan, diadaptasi, dan sebagainya di banyak Negara,” kata dia.

Pendeknya, orang yang mungkin tertarik pada kajiannya bukan hanya mereka yang mengenal/mengkaji Islam di Indonesia, tapi juga orang yang mengkaji agama secara umum, termasuk pejabat pemerintah yang menghadapi masalah tentang pengungsi dan pencari suaka dari anggota Ahmadiyah dan juga lawyers dalam bidang imigrasi.

Teori Homo Sacer

Tema Ahmadiyah juga memenuhi kriteria ketiga. Tulisan-tulisan tentang Ahmadiyah di Indonesia didominasi oleh pendekatan sejarah, teologi, komunikasi, politik, dan HAM. “Nah, saya akan mengisi dengan perspektif yang berbeda yang saya ambilkan dari kajian religious studies, di antaranya kajian tentang persekusi dengan teori homo sacer dari Giorgio Agamben,” kata Ahmad Najib.

Di antara kesimpulan dari disertasinya itu adalah: Pertama, permusuhan terhadap Ahmadiyah itu bukan fenomena baru di Indonesia. Permusuhan itu sudah terjadi sejak Ahmadiyah datang tahun 1920-an. Namun demikian, ada perbedaan penting antara permusuhan terhadap Ahmadiyah pada masa lalu dan sekarang. Dulu, permusuhan itu terbatas bersifat diskursif, wacana. Sementara sekarang permusuhan itu mengarah terhadap penyerangan fisik, penghancuran rumah ibadah, pengusiran dan sejenisnya. Mengapa ini terjadi? Di antaranya adalah karena lemahnya negara menegakkan hukum dan memberi perlindingan terhadap minoritas. Dengan retorika demokrasi dan suara mayoritas, kelompok Islam garis keras memaksakan kehendaknya hingga pada titik-titik yang melanggar hukum. Tragisnya, ketika mereka melanggar hukum,  mereka tak mendapat hukuman yang setimpal, bahkan sering dibebaskan. Akibatnya, mereka semakin berani menyerang kelompok lemah seperti Ahmadiyah.

Kedua, fatwa sering dituduh sebagai penyebab penyerangan terhadap Ahmadiyah. Bagi saya, fatwa hanyalah satu faktor. Fatwa terhadap Ahmadiyah telah dikeluarkan organisasi Islam sejak tahun 1929. MUI pun telah mengeluarkan fatwa pada tahun 1980. Namun tidak ada penyerangan terhadap Ahmadiyah seperti sekarang. Bahkan pada tahun 1989, Ahmadiyah menang di pengadilan pada kasus pelecehan terhadap gambar Mirza Ghulam Ahmad yang dimuat oleh Serial Media Dakwah. Fatwa memberikan aura sakral atau ideological persuasion dalam penyerangan terhadap Ahmadiyah. Kalaulah pemerintah tegas menindak pelanggaran, maka fatwa ini tidak akan mampu membuat orang berbuat anarkis dan brutal.

Ketiga, posisi Ahmadiyah yang berada dalam posisi antara menjadi salah satu faktor yang dijadikan pembenaran oleh kelompok radikal untuk membenci Ahmadiyah dan memperlakukan mereka lebih buruk dari non-Muslim. Bahasa yang sering dipakai adalah: musuh dalam selimut, bisul, kanker, menusuk dari belakang, tumor, dan sejenisnya. Ahmadiyah pernah dianggap bagian dari Islam tapi kemudian dianggap membawa Islam ke arah dan tujuan berbeda dari Islam. Secara sosiologis, inilah menyebabkan banyak sekali kelompok yang dituduh heretik sering mengalami lebih buruk dari orang dengan agama yang sama sekali berbeda. Tentu saja secara normatif ini tak bisa dibenarkan. Dalam kondisi ketika kelompok konservatif dan gerakan radikal keagamaan meningkat, kelompok seperti ini sering menjadi korban paling mengenaskan.

Keempat, kolaborasi antara agama dan negara dalam menentukan ortodoksi atau pemahaman agama yang dianggap benar atau sah adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap persekusi Ahmadiyah yang beberapa tahun lalu tejadi di Indonesia. Posisi negara yang sekular adalah menganggap semua keyakinan sebagai ortodok atau benar. SKB tentang Ahmadiyah tahun 2008 menunjukkan bahwa negara telah mengambil posisi tertentu dalam keyakinan keagamaan, bukan lagi pada posisi netral.

Editor : Windrarto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home