Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 09:43 WIB | Selasa, 25 Oktober 2016

OECD: Kualitas Tata Kelola Pemerintahan Jokowi-JK Buruk

OECD: Kualitas Tata Kelola Pemerintahan Jokowi-JK Buruk
Grafik yang menunjukkan rendahnya belanja pemerintah untuk bantuan sosial dalam ukuran persentase dari Produk Domestik Bruto (PDB). Indonesia terendah di antara negara-negara emerging market utama.
OECD: Kualitas Tata Kelola Pemerintahan Jokowi-JK Buruk
Grafik yang menunjukkan peringkat tata kelola pemerintahan Indonesia yang buruk, yang ditampilkan oleh OECD dalam survei tahunannya tentang Indonesia. Indonesia berada nyaris di peringkat paling bawah, hanya lebih baik dari Peru.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Di antara berbagai pujian atas pencapaian pemerintahan Jokowi-JK dalam dua tahun terakhir, terkuak kritik tajam dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi yang berbasis di Prancis. Kritik itu disampaikan dalam survei mereka tentang perekonomian Indonesia yang dilansir Senin (24/10).

Di antara penilaian OECD terhadap perekonomian Indonesia, ialah bahwa tata kelola pemerintahan Jokowi-JK tergolong buruk bila dibandingkan dengan negara-negara emerging market lainnya. Dalam ringkasan atas survei mereka,yang ditampilkan pada laman resmi organisasi itu, OECD menunjuk contoh kebijakan pemerintah menargetkan 20 persen dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan 5 persen untuk kesehatan.

Menurut OECD, target belanja yang besar seperti halnya untuk pendidikan dan kesehatan itu, di satu sisi merupakan gambaran prioritas pemerintah. Tetapi, menurut OECD, hal ini tidak efisien karena tidak ada batasan mengenai bagaimana cara menggunakan dana tersebut.

Oleh karena itu, OECD menyarankan perlunya adanya hubungan lebih erat antara belanja tahunan dan tujuan jangka menengah, sekaligus dengan penganggaran yang berbasis kinerja. Hal itu, lanjut OECD, harus disertai dengan evaluasi sistemik terhadap program penyelenggaraan administrasi yang sudah ada dan yang masih dalam perencanaan.

"Sudah ada rencana untuk mengingkatkan anggaran 2017, tetapi ini baru berlaku untuk pemerintah pusat," demikian OECD.

Hambatan utama dalam hal tata kelola pemerintahan, menurut OECD, terutama terjadi di tingkat daerah. Dikatakan, ada perbedaan kinerja yang ekstrem di antara berbagai tingkat pemerintahan dan di antara berbagai daerah.

"Hal ini semakin mempertegas pentingnya meingkatkan kapasitas, terutama melalui pelatihan. Upaya-upaya tersebut hendaknya ditujukan bagi daerah yang memang memerlukannya, termasuk daerah yang mendapat peringkat rendah dalam pemerintahan dan daerah yang kesulitan dalam membelanjakan alokasi anggaran atau dalam melaporkan data statistik."

Di bagian lain paparannya, OECD memuji transformasi yang dialami oleh perekonomian Indonesia dalam dua dekade terakhir. Dikatakan, pertumbuhan yang kuat  telah mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan dan memungkinkan kemajuan penting dalam bidang-bidang seperti kesehatan dan pendidikan.

Hanya saja, rendahnya tingkat belanja publik dan penerimaan pajak, menurut OECD, telah merusak kualitas pelayanan sosial dan memperburuk kesenjangan infrastruktur.

Lebih jauh, OECD menyimpulkan bahwa sementara penghapusan beberapa subsidi BBM telah mendukung peningkatan belanja di bidang-bidang prioritas seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur, diperlukan tindakan lebih lanjut. Pengeluaran untuk subsidi energi yang tidak efisien masih sangat tinggi (sekitar 7 persen dari belanja publik) dan mendorong kegiatan polusi intensif.

"Subsidi ini harus dihapus, dilengkapi dengan investasi di energi terbarukan dan panas bumi untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan energi," demikian OECD.

OECD juga menunjukkan bahwa korupsi masih tetap hambatan utama untuk melakukan bisnis di Indonesia. OECD merekomendasikan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberikan lebih banyak sumber daya dan wewenang, dan mendukung perluasan kegiatan pelatihan ke dalam wilayah Indonesia untuk mendorong pemerintah daerah mengidentifikasi dan mengatasi korupsi secara lebih baik.

Dalam kesempatan meluncurkan rekomendasi atas hasil kajian ini, Sekretaris Jenderal OECD, Angel Gurria mengatakan: "Semakin banyak orang Indonesia yang menikmati standar yang lebih tinggi  berkat kemajuan ekonomi dan sosial yang luar biasa di Indonesia. Masih banyak tantangan, tetapi pemerintah bergerak ke arah yang benar dengan mengurangi hambatan untuk melakukan bisnis, memperbaiki lingkungan investasi, dan memotong subsidi," kata dia.

Angel Gurria pada hari Senin (24/10) memimpin delegasi OECD menemui  Presiden Joko Widodo di Istana.

OECD adalah sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara anggota yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Berawal tahun 1948 dengan nama Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi Eropa (OEEC - Organisation for European Economic Co-operation), ia dipimpin oleh Robert Marjolin dari Prancis, untuk membantu menjalankan Marshall Plan, untuk rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II. Kemudian, keanggotaannya merambah negara-negara non-Eropa, dan tahun 1961, dibentuk kembali menjadi OECD oleh Konvensi tentang Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi.

Negara anggota pendiri terdiri dari Amerika Serikat, Austria, Belanda, Belgia, Inggris, Bosnia dan Herzegovina, Denmark, Republik Irlandia,Islandia,   Italia, Jerman,Kanada,Luksemburg,Norwegia, Prancis,  Portugal, Spanyol,Swedia,Swiss,Turki dan Yunani.

Sedangkan negara yang bergabung kemudian adalah Jepang (1964), Finlandia (1969), Australia (1971), Selandia Baru (1973), Libya (1983), Meksiko (1994),  Republik Ceko (1995), Korea Selatan (1996), Hungaria (1996), Polandia (1996), Slowakia (2000), Chile (2010), Slovenia (2010) dan Israel (2010).

 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home