Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 18:35 WIB | Jumat, 20 November 2015

Pakar: 2 Hal Luput dari Perhatian Publik pada Kasus Novanto

Ketua DPR, Setya Novanto. (Foto: Dok. satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, menilai ada dua permasalahan yang luput dari perhatian masyarakat dalam kasus terbongkarnya rekaman percakapan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Setya Novanto, yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada PT Freeport Indonesia.

“Selain menyangkut pencatutan nama yang dilakukan Novanto, ada persoalan lain yang menurut saya juga tidak kalah penting, yaitu proses penegakan hukum dan demokrasi. Di mana terdapat masalah konstitusional terkait pasal 33 Undang-undang Dasar (UUD) 1945,” ujar Asep dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com, hari Jumat (20/11).

Menurut dia, proses perekaman percakapan tanpa izin pihak terkait kemudian menyebarkannya tanpa izin merupakan pelanggaran hukum. Terlepas dari kebenaran isi rekaman tersebut, hal itu bisa digunakan sebagai bukti hukum, maka bukan tidak mungkin masyarakat ikut dijebak dengan yurisprudensi dalam kasus yang disangkakan pada Novanto.

“Yang namanya merekam, apalagi sampai menyebarkan harus seizin yang bersangkutan. Kalau pengusaha saja bisa menjebak seorang pemimpin lembaga tinggi negara seperti ini, penguasa juga bisa melakukan hal seperti ini pada rakyatnya, dampak ini yang harus dipikirkan,” ujar Asep.

Dengan begitu, menurut dia, akan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat untuk berbicara dan mengkritik penguasa. Masyarakat khawatir setiap pembicaraannya direkam oleh pihak tidak bertanggung jawab dan dibawa ke ranah hukum.

”Jika ada yang bicara jelek tentang penguasa dan kemudian ada yang melaporkan, kemudian orang tersebut kemudian ditindak atas dugaan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan, repot rakyat nantinya,” kata Asep.

Taktik Pemerintah

Dia juga menyampaikan, proses penegakan hukum seharusnya dilakukan sesuai dengan hukum juga. Penegakan hukum tanpa menggunakan aturan hukum, akan menyebabkan kesewenang-wenanngan. “Ini seharusnya juga diperhatikan, penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan melanggar hukum,” kata salah satu staf pengajar di Unpar Bandung itu.

Lebih lanjut, Asep berpendapat, hal tersebut bisa menjadi alasan pemerintah ketika hanya melaporkan Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, tanpa ke aparat penegak hukum. Pemerintah sadar, jika Novanto dilaporkan ke aparat penegak hukum, maka Novanto bisa menuntut balik.

“Jika bukti didapatkan tidak melalui proses hukum yang benar, maka pengadilan pun bisa menolak dan membatalkan bukti yang diajukan. Bahkan, bukan tidak mungkin pihak yang digugat bisa menuntut balik. Ini makanya saya lihat pemerintah enggan melaporkan Novanto ke aparat hukum dan hanya melaporkan ke MKD,’ ucap dia.

“Itu juga makanya Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Pandjaitan, buru-buru mengatakan bahwa presiden Jokowi tidak akan memperpanjang dan melaporkan kasus ini,” ujar Asep menambahkan.

Kasus Ariel dan Clinton

Asep pun membandingkan kasus rekaman video artis Ariel ‘Peterpan’ dengan beberapa wanita. Ariel dikenakan hukuman karena merekam tanpa izin dan penyebabrnya juga dikenakan hukuman.

”Yang wanitanya kan tidak dikenakan hukuman. Masalah bahwa para wanita tersebut melanggar hukum agama atau hukum pernikahan kan tidak diadili. Kalau pidananya adalah asusila, maka semua wanita yang terlibat juga harus kena juga saat itu Ini tampaknya yang dikhawatirkan oleh si pelapor, merekam dan menyebarkan tanpa izin.,” kata Asep.

Sementara, dia melanjutkan, untuk laporan di MKD sangat tergantung pada DPR sebagai lembaga. Proses yang terjadi di DPR adalah proses politik, bukan hukum pidana umum. Dia memperkirakan, meski bukti-bukti yang nantinya dihadirkan kuat, kemungkinan legislatif akan memutuskan Novanto tidak bersalah, sama seperti pada kasus Presiden Amerika Serikat ke-42, Bill Clinton.

“Seperti pada kasus Bill Clinton dan Monica Lewensky. Meski terbukti ada tindakan asusila dan terbukti bahwa Bill Clinton berbohong, senat Amerika Serikat memutuskan bahwa Clinton tidak bersalah  dan proses pengadilan impeachtment pun gagal. Jadi berkaca pada kasus ini justru yang bisa kena kasus Sudirman Said dan Novanto bebas,” kata dia.

Buka Permasalahan Freeport

Selain itu, dia pun menilai kasus Novanto membuka mata rakyat Indonesia akan banyakanya hal tidak beres dengan PT Freeport Indonesia selama beroperasi di Indonesia. Bukan hanya persoalan pembagian yang tidak adil bagi Indonesia, tapi ada banyak hal lain yang selama ini melanggar hukum namun terabaikan.

“Utamanya pelanggaran UUD 1945 pasal 33, di mana disebutkan bumi air dan semua yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sekarang yang dapat besar rakyat apa PT Freeport? Kalau Freeport yang mendapatkan keuntungan lebih besar dari rakyat, itu pelanggaran konstitusi,”  ucap Asep.

Oleh karena itu, dia berharap, kasus Novanto dapat membuka mata rakyat Indonesia bahwa izin PT Freeport Indonesia tidak boleh diperpanjang lagi, bila perlu izin yang sudah ada dibatalkan. Kasus ini sekaligus menjadi bukti bahwa PT Freeport Indonesia melakukan berbagai cara, termasuk lobi-lobi sejumlah pejabat Indonesia

”Jadi jangan hanya melihat Novanto-nya, tapi juga harus melihat Freeport-nya. Jangan-jangan negosiasi-negosiasi seperti ini sudah sering mereka lakukan sebelumnya. Masyarakat juga harus melihat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT Freeport Indonesia. Kalau bisa dibuktikan, PT Freeport Indonesia selama ini melanggar aturan hukum yang berlaku di Indonesia, maka sebenarnya kontrak bisa dibatalkan,” tutur Asep.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home