Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 07:01 WIB | Senin, 14 Maret 2016

Pameran Seni Rupa Lupa Rupa Usai Digelar

Pameran Seni Rupa Lupa Rupa Usai Digelar
Pameran Seni rupa Lupa Rupa yang diselenggarakan di Jogja Nasional Museum Yogyakarta (11-13/3). (Foto-toto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Pameran Seni Rupa Lupa Rupa Usai Digelar
Lukisan dengan judul Jogja Ora Didol karya Aris Firmansyah.
Pameran Seni Rupa Lupa Rupa Usai Digelar
Sebuah lukisan yang menggambarkan alih fungsi daerah resapan air di Yogyakarta menjadi hotel dan hunian komersial.
Pameran Seni Rupa Lupa Rupa Usai Digelar
Yunanto dari Taring Padi Yogyakarta memberikan workshop cukil kayu (woodcut) pada Pameran Seni rupa Lupa Rupa, Minggu (13/3)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bersama perupa muda dari Yogyakarta, bertempat di Jogja Nasional Museum (JNM) mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain (STSRD) Visi Yogyakarta menggelar pameran seni rupa bertajuk "Lupa Rupa". Acara yang berlangsung dari 11-13 Maret itu menampilkan 100 karya perupa muda dalam berbagai media, mulai dari lukisan, drawing, dan seni instalasi. Selain pameran, acara dimeriahkan dengan workshop serta performing art dari beberapa grup musik di Yogyakarta.

Pada hari Minggu (13/3) di Plasa JNM, pameran Lupa Rupa diisi dengan workshop batik oleh perupa Johan Widya Anugrah dan cukil kayu (woodcut) oleh Taring Padi.

Cukil kayu sebagai proses pencetakan, merupakan seni cetak dengan teknologi yang paling sederhana. Hanya memerlukan media kayu/hardboard/plywood, pisau cukil (cutter), sementara proses pencetakan diperlukan cat berbasis minyak, kaca, roller, serta media cetak sesuai kebutuhan.

"Dibanding teknik lainnya, woodcut relatif lebih murah. Memang dituntut ketelitian dan kesabaran, namun hasilnya akan sepadan. Paling sederhana bisa dicetak satu warna. Namun, untuk edisi terbatas seperti edisi Tan Malaka, kita menggunakan cetak reduksi yang terdiri dari beberapa warna," Yunanto menjelaskan kepada satuharapan.com di sela-sela acara workshop.

Dengan ketelatenan, cetak cukil kayu bisa memiliki nilai ekonomis mealui proses yang sederhana dan murah. "Beberapa waktu lalu kita memberikan workshop pada masyarakat Tobelo, Maluku Utara. Saat ini mereka telah memproduksi barang-barang cetakan terutama kaus dan tas kain dengan teknik woodcut dan dipasarkan di sana sebagai souvenir khas sana. Pernah juga kita melakukan workshop di Toraja. Jika selama ini perajin Toraja menjual master (karyanya) langsung dengan harga yang mahal, dengan pendekatan dan sedikit modifikasi sekarang mereka memulai memroduksi karya seninya dengan perbanyakan melalui teknik woodcut. Hasilnya selain harganya bisa lebih murah, juga bisa diproduksi banyak dalam waktu relatif cepat tanpa kehilangan detail," lebih lanjut Yunanto menjelaskan.

Lupa Rupa Yogyakarta

Rian Kresnandi, ketua pelaksana pameran kepada satuharapan.com pada Minggu (13/3) menjelaskan, pameran Lupa Rupa merupakan respons perupa muda atas kondisi sosial di masyarakat Yogyakarta akhir-akhir ini.

"Pameran ini merupakan refleksi perupa dan penikmat seni bahwa ada yang hilang di Yogyakarta. Lupa baik dengan secara sadar ataupun tidak sadar bahwa pembangunan di Yogyakarta telah menghilangkan wajah (rupa) Yogyakarta. Terkesan lebih berpihak pada korporasi sehingga permasalahan sosial-lingkungan yang ditimbulkannya karena terbiasa diperlihatkan setiap hari, menjadi hal yang lumrah dan terabaikan. Ambil contoh, pembangunan hotel di wilayah Yogyakarta yang menyisakan permasalahan sosial hingga saat ini bagi masyarakat sekitar. Belum lagi pembangunan lainnya. (Fenomena mengalami) 'keterbiasaan' inilah yang lambat laun membuat Yogyakarta kehilangan rupanya," kata Rian lebih lanjut.

Beberapa karya secara langsung memberikan kritik atas pembangunan yang terjadi di wilayah Yogyakarta. Lukisan dengan judul "Jogja Ora Didol" karya Aris Firmansyah yang menggambarkan pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan modern telah menyebabkan kemacetan di mana-mana serta 'tergusurnya' masyarakat sekitar.

Begitupun karya lukisan yang menggambarkan Yogyakarta yang selama ini dihidupi oleh lahan sawah, pedesaan, salah satu daerah resapan air sedikit demi sedikit telah diambil-alih fungsinya menjadi permukiman, hotel, maupun pusat perbelanjaan modern.

Permintaan akomodasi penginapan sebagai konsekuensi daerah tujuan wisata, terkesan direspons secara belum terencana dalam penataan ruang-wilayah Yogyakarta. Bangunan yang memiliki nilai historis-kultural sebagai cagar budaya lambat laun mulai tidak terlihat seiring tumbuh tingginya hotel dan hunian komersial yang semakin menjulang mengikuti tingginya kebutuhan pariwisata.

Pembiaran yang terjadi secara terus menerus telah membuat masyarakat kehilangan ruang budaya, dan menuju sebuah kota yang anonim bagi penghuninya di masa datang. Setidaknya, saat ini masyarakat sekitar bangunan tinggi tersebut telah mengalami gerhana matahari yang sebenarnya setiap hari. Sebelum terlambat, jagalah Yogyakarta jangan sampai suatu saat masyarakat Lupa Rupa Yogyakarta yang sesungguhnya. Sebelum semuanya menjadi seperti ibu kota.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home