Loading...
OPINI
Penulis: Sandro Hasoloan L Tobing 07:27 WIB | Rabu, 13 Mei 2020

Pandemi Narsisisme dalam Pandemi COVID-19

Tak hanya pandemi COVID-19, narsisisme juga berbahaya.

Pemerintah RI telah menetapkan status wabah COVID-19 sebagai bencana nasional sejak 14 Maret 2020. Saat ini Indonesia dalam situasi tanggap darurat bencana non alam pandemik COVID-19. Hingga Selasa (12/05), korban yang meninggal di Indonesia akibat pandemi berjumlah 1.007 orang.

Demi memutus penularan virus ini, pemerintah secara khusus telah mengimbau masyarakat untuk bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Namun, tak semua orang rela menaati imbauan tersebut. Masih ada yang yang tidak patuh, bahkan menolak menghadapi wabah ini dengan serius. Penolakan ini agaknya mencerminkan ideologi narsisisme, di mana kepuasan diri sendiri lebih berharga ketimbang keselamatan orang lain.

 

Narsisisme: sikap mengagumi diri sendiri

Psikolog terkenal, sekaligus ahli ilmu syaraf, Sigmund Freud—dalam bukunya On Narcissicm: An Introductionmenjelaskan bahwa setiap orang memiliki tingkat narsisisme di sepanjang hidupnya. Freud membaginya menjadi dua, yaitu narsisisme primer dan narsisisme sekunder.

Narsisisme primer adalah bentuk energi positif, yang hadir sejak lahir, seperti sikap manusia mengagumi suatu objek tertentu. Sebaliknya, narsisisme sekunder adalah bentuk negatif, yang cenderung terlalu mengagumi diri sendiri, memisahkan diri dari masyarakat, sangat defensif dan, tidak tertarik pada orang lain.

Sean Grover, psikoterapis terkenal di Amerika, dalam tulisannya ”Why Narcissists Ignore Social Distancing, menggambarkan dua kriteria terkait mengapa narsisisme berbahaya di tengah wabah seperti ini.

Pertama, orang yang narsistik tidak pernah berpikir komunal, kurang empati, serta menganggap diri mahakuasa, dan cenderung mengabaikan orang di sekitar dan norma-norma sosial yang ada. Ini terlihat dari tingkah para figur publik yang terus-menerus sibuk mencari konspirasi dan menyalahkan pemerintah. Memang tak ada salahnya berpikir kritis dan mencari kebenaran, namun agaknya mereka lupa akan dampaknya. Tanpa mereka sadari, atau bisa jadi juga merasa sadari, banyak orang akhirnya memikirkan hal yang serupa dan cenderung mengikuti mereka.

Kedua, orang yang narsistik cenderung tidak dewasa. Grover menjelaskan, tidak peduli seberapa cerdas mereka, secara emosional orang yang memiliki sifat narsisisme belum sepenuhnya matang. Biasanya mereka sulit menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri. Dalam hal ini, saya menyoroti komunitas agama yang kurang dewasa dalam menerapkan imannya. Kita tidak menyalahkan orang yang beriman kepada Allah, tetapi dalam konteks saat ini kita harus bisa melihat apakah iman tersebut dapat membawa kebaikan atau justru membawa dampak buruk bagi orang di sekeliling kita.

Bisa disimpulkan, tak hanya pandemi COVID-19, tetapi narsisisme juga berbahaya. Jean M. Twenge dan W. Keith Campbell dalam buku mereka, The Narcissism Epidemic, menyatakan bahwa narsisisme itu seperti pandemi atau penyakit menular yang dapat merusak tatanan masyarakat. Karena itu, narsisisme yang ada di Indonesia saat ini juga merupakan pandemi yang harus dicegah.

 

Mengatasi narsisisme dan masalahnya

Apa yang seharusnya kita lakukan untuk mengatasi narsisisme saat ini?

Pertama, sebagai masyarakat yang paham bahaya pandemi COVID-19, kita harus mengambil bagian dalam membantu pemerintah untuk mengisolasi virus ini dengan menaati protokol kesehatan secara ketat.

Kedua, jangan memberikan ”panggung” kepada mereka, misalnya dengan menyebarkan kembali pendapat mereka. Semakin merasa didengar, mereka akan merasa semakin benar.

Ketiga, sebisa mungkin tidak berurusan dengan mereka.

Lalu, bagaimana kita mengetahui apakah orang di sekitar kita memiliki sifat narsistik atau tidak? Menurut Grover, kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri:

  1. Apakah mereka menguras energi saya dan membuat saya merasa lelah secara emosional?
  2. Apakah mereka mementingkan diri sendiri, dan terus mencari perhatian serta pujian?
  3. Apakah mereka suka memutarbalikkan fakta untuk mendukung argumentasi mereka?
  4. Apakah mereka terobsesi dengan citra mereka?
  5. Apakah mereka hanya tertarik kepada saya karena mereka menginginkan sesuatu?

Jika kita menjawab sedikitnya tiga ”ya” dari 5 pertanyaan di atas, maka kemungkinan kita sedang bertemu dengan orang yang narsistik. Yang membuat kita semestinya waspada.

Namun demikian, kita pun perlu introspeksi. Jangan-jangan kita juga narsistik!

 

Sandro Hasoloan L Tobing (Mahasiswa Pascasarjana STFT Jakarta)

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home