Loading...
INDONESIA
Penulis: Bayu Probo 19:35 WIB | Selasa, 09 Juni 2015

Pansel KPK akan “Jemput” Albertina Ho Daftar Komisioner

Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Albertina Ho—juga Wakil Ketua Pengadilan Negeri Palembang. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Panitia seleksi (pansel) calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap Albertina Ho mendaftarkan diri.

Anggota pansel KPK, Yenti Ganarsih bahkan secara pribadi berharap Albertina mendaftarkan diri. “Saya sangat berharap hakim Albertina mendaftar. Dia kan salah satu hakim yang sudah terkenal karena berani,” ujar Yenti kepada media, Minggu (7/6).

Albertina Ho menjadi sorotan saat ia memutuskan menjatuhkan vonis penjara tujuh tahun kepada Gayus Tambunan dalam perkara pajak PT SAT senilai Rp 570 juta. Kasus ini juga menyeret Cirus Sinaga, jaksa yang memalsukan pasal penggelapan dalam kasus PT SAT di pengadilan Tangerang.

Menurut Yenti, Albertina yang kini adalah wakil ketua Pengadilan Negeri Palembang itu sudah dirindukan kalangan hukum karena ketegasan dan keberaniannya dalam menyidangkan perkara-perkara korupsi. Sebagai hakim, kata Yenti, Albertina juga sudah membuktikan dirinya tidak tergiur dengan godaan kemewahan.

Karenanya pansel KPK pun ingin mendekati Albertina. “Saya maunya Albertina Ho termasuk yang kami (pansel KPK) jemput bola,” kata Yenti.

Dalam satu wawancara dengan media Yap Thiam Hien, saat dicalonkan sebagai penerima Yap Thiam Hien Award 2011, Albertina Ho kurang berkenan karena masih terikat dengan kode etik. Menurutnya penghargaan yang berhak diterima hanyalah penghargaan yang berasal dari institusi sendiri, yakni Mahkamah Agung. Lalu ketika reporter tersebut menanyakan nomor kontaknya, dengan tegas ia menolak.

“Jangankan wartawan, pengacara saja tidak ada yang tahu nomor hp saya. Kalau mau janji wawancara, coba masukkan surat ke PN Pusat, karena saya merupakan hakim tipikor di PN Pusat,” katanya.

Tahun lalu, kepada Antara, sahabat Albertina Ho—Irma Hutabarat—presenter ternama era tahun 2000-an mengomentari kiprah hakim kelahiran Dobo Maluku Tenggara itu.

“Meskipun sudah mendapatkan tunjangan puluhan juta rupiah, dan rumah serta mobil dinas. Kak Al (panggilan akrab Albertina, Red) tetap jadi anak 'indekostan' dan ini bukan hal baru bagi para sahabatnya, bahkan kemana-mana tetap naik kereta api,” ujar Irma.

Ia mengungkapkan, pada beberapa kesempatan, justru Albertina yang menumpang menginap di hotel, karena para sahabat tidak bisa ditampung di kediamannya.

“Jadi, dengan Kak Al ini semuanya serba terbalik menurut kebanyakan orang biasa, tapi bagi dia jika mengganggu integritas sebagai seorang hakim maka tidak ada kompromi,” katanya lagi.

Menurutnya, Albertina merupakan sosok hakim yang teguh dalam pendirian atau berprinsip serta berani dalam menentukan sikap, karena bukan penganut “asal bapak senang”.

“Jika Indonesia ingin memberantas korupsi maka hakimnya harus seperti Albertina, karena merupakan sosok yang tidak terpengaruh dalam mengambil keputusan supaya para koruptor menjadi jera,” kata aktivis lingkungan ini lagi.

Hakim Istimewa

Tak hanya istimewa dalam gaya hidup, perjalanan hidup Albertina Ho cukup menarik.

Semenjak kecil, ia sudah terpisah dengan kedua orang tuanya demi menempuh pendidikan di Ambon Maluku, dengan cara menumpang di rumah kerabat.

Kehidupan wanita kelahiran Dobo Maluku Tenggara, 1 Januari 1960 ini pun tidak mudah, karena harus bekerja paruh waktu sebagai pelayan warung kopi demi membiayai hidup sembari menempuh pendidikan tingkat atas.

Karena kegigihannya, ia pun berhasil melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Setelah menyandang gelar sarjana (lulus strata satu), kesulitan finansial memaksanya harus mendapatkan pekerjaan.

Di sinilah titik awal kiprah Albertina di bidang hukum, yakni ketika melamar menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan diterima pada 1986.

Empat tahun berselang, gelar hakim pun disandang dan ditugaskan di Pengadilan Negeri Slawi, Tegal, Jawa Tengah pada 1991–1996.

Karier wanita berambut ikal ini pun makin menanjak, setelah menjadi hakim di Pengadilan Negeri Temanggung Jawa Tengah, pada 1996–2002, dan juga Pengadilan Negeri Cilacap Jawa Tengah pada 2002–2005.

Namun, tahun 2005 menjadi masa yang istimewa bagi Albertina, karena kiprahnya mulai dikenal setelah menduduki kursi Sekretaris Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial (dijabat Marianna Sutadi).

Tak lama, kemudian ia ditarik menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2009–2011 yang membawanya pada berbagai kasus yang disorot secara nasional.

Selain kasus Gayus, pendirian Albertina yang kuat juga terlihat ketika menangani kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen dengan terdakwa Sigid Haryo Wibisono, dan turut menyeret Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Antasari Azhar.

Tak berapa lama kemudian, ia pun dimutasikan ke Pengadilan Negeri Sungailiat pada 11 November 2011.

Ketika itu, pemutasian Albertina mengundang pertanyaan mengingat memberikan ketegasannya saat menangani berbagai kasus yang menjadi sorotan nasional, seperti kasus pengawai pajak Gayus Tambunan, jaksa Urip, hingga pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang turut menyeret Ketua KPK Antasari Azhar.

Pemindahannya dituding sebagai upaya “membuangnya” dari penanganan kasus korupsi yang marak di ibu kota.

“Saya justru tahunya dari media massa bahwa banyak yang mencari kemana saya. Sebenarnya, tidak kemana-mana, masih tetap menjalankan tugas, tapi bedanya di kota kecil yakni Sungailiat,” ujar Albertina ketika diwawancara seusai pelantikan.

Selain Albertina, Yenti juga berharap ada kalangan perempuan lain yang mau mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. Ia meyakini keterwakilan perempuan juga dibutuhkan dalam pemberantasan korupsi.

Ikuti berita kami di Facebook


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home