Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Andreas A. Yewangoe 00:00 WIB | Senin, 21 April 2014

Paskah: Pemulihan Kehidupan

SATUHARAPAN.COM - Perayaan Paskah kita selalu dibayang-bayangi oleh kuasa kematian. Di mana-mana di seluruh dunia kita menyaksikan dewa kematian ditabalkan di atas takhta penyebar kengerian. Seruan kemenangan rasul Paulus yang menegaskan kekalahan maut dengan seluruh sengatnya memperoleh tantangan sangat serius. Selalu ada situasi kontras (Bld.: kontrast situatie) di dalam kehidupan kita, sebagaimana dikatakan oleh teolog Belgia Edward Schilleebeeckx.

Kita mendengar berita terakhir dari Amerika Serikat, bahwa hari Minggu lalu, bertepatan dengan perayaan Minggu Palma, simbol perdamaian, seorang bernama Frazier Glenn Cross berusia 73 tahun menembak mati tiga orang Yahudi di Pusat Yahudi di Kansas. Pria uzur ini adalah mantan pendiri Klu Klux Klan. Konon, organisasi ini menggabungkan berbagai anasir ekstrim: kelompok anti-semitisme, mereka yang tidak mempercayai pemerintah, kaum fundamentalisme Kristen, dan kaum yang sangat mengagung-agungkan supremasi kulit putih. Kendati mereka berbeda-beda, namun mempunyai tujuan yang sama, yaitu mempergunakan kekerasan guna melenyapkan musuh-musuh mereka. Adapun musuh-musuh mereka adalah, kelompok-kelompok minoritas, klinik-klinik abortus, bahkan Presiden Barack Obama yang digolongkan sebagai kaum kulit hitam. Kaum Yahudi pun dianggap sebagai kelompok yang telah menguasai Amerika dengan kekuatan ekonominya. Maka mereka harus dimusnahkan, kalau perlu dengan mengulangi metode yang pernah diterapkan Adolf Hitler dalam Perang Dunia ke-2 yang lalu.

Kabar lain yang tidak kurang mengerikan berasal dari benua Afrika. Ada perang saudara di Afrika Tengah yang sudah mengorbankan sekian ribu orang, ledakan mengerikan di Nigeria yang ditengarai dilakukan oleh Boko Haram yang mengharamkan segala sesuatu yang berbau Barat, konflik berdarah di Sudan Selatan, hal yang sangat tragis sebab negara ini baru saja melepaskan diri dari Sudan justru karena merasa diperlakukan diskriminatip dan tidak adil.

Di Timur Tengah juga, konflik Suriah tidak habis-habisnya. Seorang pastor Yesuit bernama van der Lught yang bertahan di kota Homs yang sudah dikepung berbulan-bulan oleh kelompok milisi, guna menolong mereka yang ditimpa kelaparan sebagai akibat peperangan tanpa membeda-bedakan agama dan kepercayaan justru ditembak mati minggu lalu. Kita juga jangan melupakan Pakistan, sebuah negara yang seakan-akan sudah identik dengan kekerasan guna menyelesaikan masalah.

Di negeri kita, kekerasan-kekerasan fisik memang tidak terasa. Kita bersyukur atas hal itu. Namun kekerasan-kekerasan dalam bentuk lain, seperti misalnya pemakaian kata-kata yang cenderung melecehkan dam merendahkan orang lain, lebih-lebih lagi dalam rangka Pemilihan Legislatif dan Presiden tidak jarang kita temukan. Ini juga merupakan bentuk kekerasan.

Selain itu sikap dan perilaku kita yang tidak ramah terhadap orang lain yang mewujud dalam ketidakadilan dan ketidakpedulian tak dapat tidak merupakan bagian dari kekerasan. Kalau seorang koruptor mengambil secara tidak syah sekian milyard rupiah, dan oleh tindakannya itu sekian ratus bayi menderita kekurangan gizi, ini juga bentuk kekerasan. Seringkali kita melupakan hal-hal seperti ini. Lalu kita menganggap perbuatan korupsi sebagai perbuatan kriminal biasa saja.

Di tengah-tengah keadaan seperti ini, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengangkat tema perayaan Paskah tahun ini: “Kebangkitan-Nya Memulihkan Kehidupan” (Bdk. Filipi 3:10-11). Melalui tema ini PGI menyerukan kepada gereja-gereja untuk selalu bersikap optimis menghadapi berbagai keadaan yang mengerikan itu. Pesan Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi ini, menurut PGI memperkenalkan kebenaran sejati di dalam Yesus Kristus, yaitu Yang Bangkit. Kebangkitan itu bukan sekadar pengharapan masa depan, melainkan juga memberikan dampak dalam kehidupan masa kini. Mengapa?

Karena sebagai orang beriman, ada keyakinan amat besar bahwa kita terhisap di dalam persekutuan dengan Dia yang telah bangkit itu. Tentu saja keyakinan ini tidak boleh mengecilkan dan/atau menganggap tidak ada situasi kontras tadi. Kita jangan bertindak seperi burung onta yang membenamkan kepalanya di pasir apabila menghadapi bahaya, lalu dengan demikian seakan-akan persoalan selesai. Gereja-gereja dan orang-orang Kristen mesti berusaha menghadapi situasi konkret itu, dan dengan bertolak dari iman kebangkitan, menemukan solusi-solusi.

Bagaimana misalnya menghadapi keadaan yang penuh dengan ketidakadilan, di mana budaya korupsi sudah menjadi kelaziman? Orang beriman tidak boleh terlibat di dalamnya. Bahkan ia harus memelopori  pemberantasannya. Bagaimana menghadapi ketidakadilan yang sangat telanjang di dalam masyarakat, ketika kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin terkesan makin menganga? Kalau begitu, gereja jangan lagi mengulangi kesalahan masa lampau, ketika ia (gereja) bukan saja membela orang-orang yang kaya secara tidak syah, melainkan juga sendiri memiliki kekayaan-kekayaan secara tidak syah.

Sebagaimana kita mahfum, dalam abad-abad pertengahan di Eropa, gereja memiliki tanah-tanah luas, sementara rakyat kebanyakan menderita. Itulah sebabnya, gereja pun tidak luput dari sasaran kemarahan pada waktu revolusi sosial meledak. Kita teringat misalnya Karl Marx yang tanpa tedeng aling-aling mencap gereja (dan agama Kristen) sebagai candu bagi masyarakat (Religion ist der opium des volkes). Sebagaimana halnya candu yang membius seseorang guna melupakan sejenak penderitaannya, demikian juga agama Kristen bagi rakyat. Untunglah, dalam abad kita dewasa ini, gereja-gereja di Amerika Latin misalnya secara terang-terangan berdiri di pihak mereka yang diperlakukan tidak adil.

Bagaimana sikap gereja terhadap persoalan lingkungan hidup? Gerejapun harus mempelopori pelestariannya. Tidak jarang juga gereja, alih-alih mempelopori pelestarian justru cenderung berpihak kepada mereka yang mengeksploitasinya. Dengan melakukan semua ini, gereja melakukan introspeksi dan kemudian mengoreksi dirinya sendiri. Sikap koreksi diri ini mesti dilanjutkan.

Di dalam persaingan sangat ketat dewasa ini antara apa yang disebut neo-liberalisme di bidang ekonomi yang melanda seluruh dunia, di mana kebebasan pasar hampir-hampir menjadi juru selamat baru (Ltn.: Extra mercatum nulla salus), dengan ekonomi kerakyatan pada pihak lain, gereja-gereja di Indonesia harus secara jelas menentukan di pihak mana mereka berdiri.

Saya menyadari ini tidak mudah. Tidak mudah menegakkan (kembali) fasal 33 UUD 1945 ditengah-tengah eforia kebebasan pasar dewasa ini. Namun, kalau sungguh-sungguh kita setia kepada tujuan bernegara sebagaimana secara sangat khikmad dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, maka sikap pro-rakyat ini harus diemban. Kalau gereja-gereja juga ikut mempopulerkan sikap hidup pro neo-liberalisme dan neo-kapitalisme, di mana hedonisme menjadi sikap hidup, maka gereja-gereja bukan saja ikut menyebarkan budaya kematian, melainkan juga menyangkal Amanat Paskah, bahwa Allah memulihkan kehidupan.

Selamat Paskah 2014.  

 

Penulis adalah Ketua Umum PGI

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home