Loading...
HAM
Penulis: Melki Pangaribuan 20:34 WIB | Senin, 02 September 2013

PBB: Sri Lanka Semakin Otoriter

Komisaris Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Navi Pillay. (Foto: Istimewa)

KOLOMBO, SATUHARAPAN.COM - Komisaris Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Navi Pillay menilai bahwa pemerintah Sri Lanka "semakin otoriter" terhadap aktivis HAM dan lembaga-lembaga perdamaian.

"Saya sangat prihatin bahwa Sri Lanka menunjukkan tanda-tanda menuju ke arah semakin otoriter," kata Komisaris itu dalam sebuah konferensi pers, pada Sabtu (31/8) pekan lalu.

Menurut Navi Pillay, Sri Lanka mengalami perkembangan pesat setelah berakhirnya perang saudara 27 tahun yang lalu, antara pemerintah dan separatis Tamil, namun tindakan kekerasan dan penindasan masih terus terjadi. Ia melaporkan bahwa, pemerintah Sri Lanka melakukan pembiaran tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi dan militer.

Selanjutnya, Navi Pillay mengatakan penderitaan di Sri Lanka belum berakhir dan diperlukan perbaikan lebih menyeluruh. “Rekonstruksi dan pembangunan kembali merupakan prestasi penting dalam memulihkan bekas zona perang,” kata Komisaris Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang melakukan kunjungan selama tujuh hari ke Sri Lanka.

"Namun, rekonstruksi fisik saja tidak akan membawa rekonsiliasi, martabat, atau perdamaian abadi. Jelas, pendekatan yang lebih holistik diperlukan untuk menyediakan kebenaran, keadilan dan memulihkan penderitaan rakyat selama perang," kata dia menambahkan.

Navi Pillay mendesak pemerintah Sri Lanka, Presiden Mahinda Rajapakse untuk memulihkan bekas zona perang di wilayah timur dan utara negara itu dan juga demilitarisasi (pembersihan) di wilayah pasca perang etnis pada tahun 2009.

Sejumlah Tuduhan

Kemudian, Navi Pillay mengatakan bahwa ia memiliki "tuduhan yang kredibel" bahwa kedua belah pihak (antara pemerintah dan kelompok separatis Tamil) telah melakukan kekejaman dan kejahatan perang.

Kepala bidang HAM di PBB itu menyerukan untuk terus dilakukan penyelidikan internasional terhadap kejahatan perang yang mengakibatkan hingga 40.000 warga sipil tewas, selama perang saudara antara pejuang Tamil dan pasukan pemerintah.

“Luka tidak akan sembuh dan rekonsiliasi tidak akan terjadi, tanpa rasa hormat bagi mereka yang berduka, dan mengingat untuk puluhan ribu warga Tamil, Sinhala, Muslim dan lainnya yang meninggal sebelum waktu mereka di medan perang, di bus, di jalan, atau di penahanan,” kata Navi Pillay dalam pidatonya, seperti dikutip dari situs ohchr.org.

“Lebih dari 30 wartawan diyakini telah tewas sejak tahun 2005, dan beberapa lagi - termasuk kartunis Prageeth Ekneligoda-telah menghilang. Banyak orang lain telah melarikan diri negara. Koran dan TV kantor telah dirusak atau mengalami serangan pembakaran,” ungkap data laporan HAM PBB itu.

“Dengan didorong oleh rasa takut, wartawan melaporkan bahwa mereka tidak berani menulis artikelnya, dan editor mereka tidak berani mempublikasikan. Kebebasan berekspresi adalah di bawah serangan berkelanjutan di Sri Lanka,” kata dia menambahkan.

Dalam agendanya, Navi Pillay melakukan kunjungan ke Kolombo pekan lalu. Dia juga mengunjungi bekas zona perang di Jaffna, Kilinochchi, Mullaitivu dan distrik Timur Trincomalee, dan ia bertemu dengan para pemimpin di ibukota Kolombo

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home