Loading...
INDONESIA
Penulis: Ardy Pradana Putra 19:32 WIB | Jumat, 17 Oktober 2014

Pembentukan UU Pilkada Bentuk Kemarahan Elite Politik

Peneliti Senior LIPI Prof. Syamsuddin Haris (kiri) dan Peneliti dari Perludem Titi Anggraini (kanan) memaparkan pentingnya mempertahankan pilkada langsung di Hotel Oria, Jumat (17/10) siang. (Foto: Ardy Pradana Putra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti dari Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem) Titi Anggraini menyatakan UU Pilkada, yang mengamanatkan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD, dibentuk sebagai balas dendam dan kemarahan elite politik.

Pernyataan itu disampaikan dalam unjuk bincang (talk show) bertajuk “Ancaman Hilangnya Kedaulatan Rakyat” yang diadakan oleh Demos, Elsam, Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, LP3ES, Perludem dan Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI di Hotel Oria, Jl. KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat hari Jumat (17/10) siang.

“Publik akan jadi pengekor DPRD, pembentukan UU Pilkada dibentuk sebagai balas dendam dan kemarahan elite politik karena kalah pemilu, padahal partai yang mendukung UU Pilkada sebelumnya mendukung pilkada langsung,” kata Anggraini.

Anggraini menyesalkan ketidaktegasan Presiden Yudhoyono dan langkah Presiden yang mengeluarkan Perppu Pilkada. Menurutnya Perppu hanya sebagai pencitraan politik semata.

“Bagaimana bisa Presiden mengeluarkan Perppu karena kecewa dengan pengesahan UU Pilkada, sementara Presiden sendiri yang mengesahkan undang-undang itu dan partai pengusung Presiden adalah partai berkuasa. Padahal Presiden memiliki wewenang besar, sistem presidensial macam apa ini?” kata Anggraini.

“Publik harus waspada, pengesahan UU Pilkada memunculkan wacana pemilihan presiden dipilih oleh MPR dan pembubaran MK,” Anggraini menambahkan. Ia menyarankan publik harus melakukan konsolidasi gerakan untuk mengawal proses pengembalian pilkada langsung.

Sementara Peneliti Senior LIPI Prof. Syamsuddin Haris mengingatkan publik harus sadar gerakan penolakan UU Pilkada bersifat jangka panjang.

“Konsolidasi gerakan masyarakat sipil dibutuhkan, dengan menumbuhkan rasa saling percaya antara warga sipil. Gerakan masyarakat sipil harus berhasil mendorong pengembalian pilkada langsung pada tahun 2015, tidak mungkin berhasil dalam waktu satu-dua bulan saja,” kata Prof. Haris.

Ia menyindir pengesahan UU Pilkada memiliki keuntungan, yaitu publik dapat mengetahui siapa yang menjadi pengkhianat dan sampah reformasi.

Ditanya mengapa partai pengusung Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) yaitu, PDI-P dan anggota Koalisi Indonesia Hebat, bisa mengalami kekalahan sehingga Koalisi Merah Putih (KMP) menguasai parlemen. Aktivis Petani dari Omah Tani Handoko berpendapat kekalahan itu sebagai karma.

“Kekalahan Koalisi Indonesia Hebat di Parlemen itu karma, karena lima tahun sebelumnya PDI-P tidak serius menyerap aspirasi rakyat, terutama isu tani dan buruh, hanya segelintir kader PDI-P yang benar-benar mengakomodasi aspirasi rakyat,” kata Handoko.

Ia mengingatkan jangan sampai gerakan masyarakat sipil yang mendorong pengesahan pilkada langsung menjadi gerakan pendukung Koalisi Indonesia Hebat. “Gerakan ini jangan sampai menjadi gerakan pendukung Koalisi Indonesia Hebat, tapi sebagai bentuk ketakutan dan kekhawatiran rakyat atas pencabutan hak demokrasi,” kata Handoko.

Omah Tani merupakan LSM berbasis di Batang, Jawa Tengah yang mengadvokasi hak-hak petani. Unjuk Bincang berlangsung tertib dan peserta antusias mengikuti unjuk bincang yang berakhir Jumat (17/10) sore.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home