Pemda Bisa Gugat Balik Pemerintah Terkait Pencabutan Perda
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqe, mengatakan pemerintah daerah dapat menggugat balik apabila tidak puas dengan keputusan pemerintah pusat yang mencabut 3.114 Peraturan Daerah (Perda) bermasalah.
Bahkan, kata Jimly, bila pemerintah daerah bisa membuktikan Perda yang dibuat tidak bertentangan dengan aturan di atasnya, maka pencabutan oleh pemerintah pusat dapat dibatalkan.
“Pemda harus membuktikan Perda yang dibatalkan tidak bertentangan dengan Undang-Undang kalau dia berhasil membuktikan berarti harus dicabut lagi,” kata Jimly di aula lantai 4 Gedung MUI Jakarta Pusat, hari Selasa (21/6).
Menurut Jimly, pemerintah berpatokan kepada UU Nomor 23 Tahun. Sehingga pemerintah tidak salah mencabut ribuan Perda tersebut.
Namun, kata Jimly untuk penataan kedepan sebaiknya lebih dirinci. Selain itu, sebaiknya pemerintah daerah yang merasa tidak puas dengan pembatalan yang dilakukan pemerintah pusat diberi untuk upaya hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, kata Jimly memang tidak eksplisit disebut aturan pencabutan Perda. Namun, berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
“Jadi di Undang-Undang Nomor 32 itu lebih eksplisit bahwa pemerintah daerah tidak puas bisa mengajukan ke Mahkamah Agung (MA) langsung tapi dengan pasal itu tidak eksplisit di UU yang baru tetap harus dipahami semangat pasal 24 a UUD kita itu memberikan kekuasan ke pengadilan untuk menilai secara final apakah suatu norma hukum yang lebih rendah bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, dalam hal ini UU,” kata dia.
Karena keputusan pembatalan Perda itu adalah produk keputusan administrasi, Pemda bisa mengajukan ke pengadilan PTUN untuk membuktikan bahwa Perda mereka tidak bertentangan dengan UU. Kalau bisa dibuktikan, maka bisa saja menjelis PTUN membatalkan pencabutan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
“Itu jalan keluarnya dan harus dibuktikan bahwa tidak bertentangan,” katanya.
Selain itu, Jimly menyarankan ke depan jangan menggunakan logika investasi. Sebab, investasi bukan konstitusi.
“Jadi alasanya jangan investasi seakan-akan kita ini mengabdi kepada investasi, mengabdi kepada investor itu peristilahan yang keliru. kita ini negara hukum bukan negara investasi,” kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
BI Klarifikasi Uang Rp10.000 Emisi 2005 Masih Berlaku untuk ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bank Indonesia (BI) mengatakan, uang pecahan Rp10 ribu tahun emisi 2005 m...