Loading...
RELIGI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 12:49 WIB | Rabu, 21 Desember 2016

Penantian Damai Natal dari Seorang Katolik Suriah

Pengungsi Suriah yang kini menetap di Kanada: André (atas), Alissar (bawah kiri), Angie (kedua kiri), Jennifer Al-Kaed (kedua kanan) dan Sarah Swidan (bawah kanan) duduk di rumah baru mereka. (Foto: Evan Buhler Photo)

KANADA, SATUHARAPAN.COM – Andre Al Kaed, pria berwajah Arab kelahiran Suriah ini mendambakan suasana Natal yang damai tahun ini setelah empat tahun mengalami penderitaan perang yang berkepanjangan di tanah kelahirannya.

Pria berusia 20 tahun yang beragama Katolik Roma ini tiba di Salmon Arm, Kanada pada bulan Oktober lalu, dengan bantuan dari Gereja Katolik Roma St. Joseph.

Dia akhirnya berkumpul lagi dengan ibu dan ketiga adik perempuannya pada 5 Desember lalu. Brian Ayotte, salah satu pemimpin Koalisi Pengungsi Shuswap menyebutnya sebagai moving reunion.

“Dia berlutut memeluk ketiga adiknya,” kata Ayotte, sambil memperhatikan tidak ada mata yang tidak basah ketika pertemuan kembali itu terjadi. Semua terharu. “Ketika ibunya keluar dari pintu, dia memeluk anak laki-lakinya itu dengan erat selama beberapa menit.”

Empat tahun lalu, Al Kaed sedang berada di sekolah di Damaskus ketika tetangganya mengabarkan bahwa rumahnya telah dibom.

“Semuanya hancur tapi tidak ada seorang pun ada di dalam rumah itu,” kata Al Kaed, yang pernah menjadi juara nasional lomba catur pada umur 14 tahun. “Semua tetangga bilang, Yesus ingin keluarga ini hidup. Itu adalah hari terakhir saya di sekolah bersama teman-teman, hari terakhir saya merasa bahagia.”

Ketika ayahnya menolak meninggalkan Suriah, Al Kaed mau tidak mau harus menjadi dewasa sebelum waktunya, dia meyakinkan ibunya untuk mengajak adik-adiknya pergi ke Lebanon bersamanya.

“Kami menjual barang-barang kami dan tinggal di tenda pengungsian Lebanon. Kehidupan di sana sangat berbahaya untuk anak-anak dan perempuan,” kata dia. “Satu pagi, saya bangun dan melihat dua adik saya bermain di tumpukan sampah.”

Terkejut melihat kehidupan di tenda pengungsian, Al Kaed pergi ke Beirut, mencari rumah untuk keluarganya dan sebuah pekerjaan.

Dia menemukan sebuah kamar dengan tarif USD 300 (Rp 3,9 juta) per bulan di Gereja Notre Dame des Anges dan bekerja di dua pekerjaan tujuh hari seminggu agar keluarganya tetap bertahan hidup.

Salah satunya adalah dengan bekerja di tempat perhiasan. Dia bekerja dari jam 8 pagi hingga 6 malam. Pekerjaannya adalah membuat perhiasan untuk pemiliknya, yang mengambil semua desainnya tapi pengawas membayarnya di bawah upah pekerja orang Lebanon.

“Hanya karena saya orang Suriah (jadi tak diupah tinggi),” kata dia. Sepertiga penduduk yang ada di Lebanon adalah orang Suriah dan orang Lebanon tidak menyukainya.”

Sore harinya, Al Kaed bekerja dari jam 7 malam hingga jam 1 dini hari sebagai pelayan restoran di dekat rumahnya. Untungnya dia hanya bekerja enam hari saja dalam seminggu.

“Kami tidak punya waktu, tempat atau uang untuk merayakan Natal. Itu sangat menyedihkan,” kata dia sambil menatap ibunya dan adik-adiknya yaitu Jennifer (7), Angie (9) dan Elissar (16).

“Saya masih berusia di bawah 18 tahun dan masih suka bersenang-senang dengan teman-teman saya,” kata dia. “Karena bom, saya harus menjadi laki-laki dewasa.”

Selain itu, jiwa kedewasaannya muncul karena konfrontasi kotor dari polisi Suriah.

Saat dia berusia 17 tahun, kala itu dia sedang dalam perjalanan ke suatu acara Kristen di mana anggotanya harus membawa kembang api. Namun, dua polisi menginterogasinya dan menilai sikap Al Kaed tidak sopan.

Mereka menuduhnya membawa kembang api dari luar negeri dan akan menjualnya di Suriah. Al Kaed akhirnya dipenjara. Al Kaed hidup di sel sempit dengan jendela kecil yang terpasang di dinding, kelaparan dan dipukuli setiap hari. Dia menderita patah rahang saat dipenjara.

Untungnya, keluarganya kenal baik dengan beberapa imam, salah satunya berusaha membebaskan Al Kaed untuk lepas dari tiga hari yang menakutkan itu.

Pengalaman menyakitkan itu bagaikan teror yang selalu menghantuinya bahkan dia tak pernah bisa tidur nyenyak di malam hari.

Namun, pertemuan kembali dengan ibu dan ketiga adiknya akan mengubah hidupnya dan dia bersyukur saat ini bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.

“Saya senang sekali. Sungguh,” kata dia dengan mata yang berbinar-binar tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. “Sekarang saya ingin mewujudkan suasana Natal yang baik untuk mereka. Saya ingin membeli pohon dan dekorasi Natal yang menarik dan saya akan memperkenalkan ide menggantung kaos kaki kepada adik-adik saya. Adik saya yang paling kecil tidak tahu Natal sama sekali.”

Semangatnya menyala-nyala ketika dia berencana untuk menyiapkan hidangan tradisional Natal tahun ini seperti ayam, salad dan nasi.

Di Suriah, anak-anak lelaki belajar drum dan ikut serta dalam parade Natal di kota terbesar di Irak itu. Acara semakin meriah kala figur Sinterklas muncul seraya membagikan permen kepada anak-anak. Acara ini juga dihadiri oleh orang Muslim.

“Ketika anak-anak bangun, mereka akan menghampiri orang tuanya dan mengatakan ‘Selamat hari Natal’ sambil menengadahkan tangan meminta uang,” kata Al Kaed sambil mengenang masa kecilnya. Uang adalah hadiah Natal tradisional dan anak-anak akan langsung pergi ke luar rumah untuk membeli makanan cepat saji dan permen. “Mereka senang karena mereka bisa membeli apapun yang mereka inginkan. Itu yang selalu saya ingat saat masih kecil di Suriah.”

Sama halnya dengan orang Kristiani di seluruh dunia, menghadiri misa adalah bagian yang tak terpisahkan dari acara Natal.

“Pelayanan misa selalu sama setiap tahun, lagu-lagu yang sama dan kita menikmati seseorang mengalunkan lagu dengan gitar dan piano,” kata Al Kaed, hanya bedanya mereka bernyanyi dalam bahasa Arab.

Tetangganya di Suriah beragama Islam dan Kristen.

“Kami hidup rukun berdampingan. Saat perang terjadi, mereka (keluarga Muslim) membantu kami melindungi gereja dan kami (orang Kristiani) membantu menjaga masjid mereka.”

Karena dia sudah berusia di atas 18 tahun, Al Kaed harus mengisi surat aplikasi secara terpisah untuk bisa datang ke Kanada. Melalui lika-liku birokrasi yang rumit, dia tiba di Kanada dua bulan sebelum ibu dan adik-adiknya.

Ayotte dan beberapa imam dari Suriah saat ini sedang mencoba membawa keluarga kekasih Al Kaed keluar dari Damascus.

“Keluarganya beranggotakan tujuh orang. Semua orang Kristen,” kata dia dengan nada khawatir. “Pemerintah Kanada telah memperlambat prosesnya lagi. Ada 36.000 pengungsi tahun ini dan 17.000 pengungsi dibatasi pada tahun 2017. Tapi yang sudah menunggu untuk masuk Kanada sudah 17.000 orang.” (revelstokereview.com)

 

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home