Loading...
RELIGI
Penulis: Mery Kolimon 18:58 WIB | Jumat, 25 Juli 2014

Pendeta Indonesia Melayani di Badan Misi Global (2)

ibadah pengutusan para misionaris Global Mission. (Foto: Dok.Mery Kolimon)

SATUHARAPAN.COM – Badan misi Global Ministries (GM) adalah sebuah badan misi bersama dari Wider Church Ministry dari United Church of Christ (UCC) dan Disciples World Ministry dari gereja The Disciples. Badan pengurusnya disebut dengan Common Global Ministries Board (CGMB), dimana saya melayani sebagai pengurusnya.

Badan misi global ini memiliki banyak misionaris yang diutus untuk melayani bersama dengan gereja-gereja  mitra mereka di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Misionaris yang bekerja di Indonesia, misalnya Pdt. Dr. John Campbell Nelson dan ibu Dr. Karen C. Nelson yang melayani di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang. Para misionaris yang diutus biasanya bukan hanya pendeta. Ada pula dokter, ahli bangunan, ahli pertanian, aktivis lingkungan hidup, jurnalis, ahli bahasa, dan sebagainya. Misionaris diutus untuk menjawab kebutuhan gereja mitra.

Pada umumnya anggota Pengurus Badan Misi ini datang dari kedua gereja. Anggota-anggota itu berasal dari berbagai latar belakang profesi: pendeta dan awam. Ada kesadaran untuk menjaga keseimbangan jumlah antara pendeta dan awam, perempuan dan laki-laki, latar belakang etnik dan ras (misalnya kulit putih, hitam, Asia, penduduk pribumi), serta kawasan/teritori/negara bagian dalam kepengurusan.

Selain anggota dari masing-masing gereja, ada tradisi di CGMB untuk meminta perwakilan dari mitra untuk duduk di Badan Pengurus. Mereka membagi wilayah pelayanan sedunia mereka ke dalam 6 bagian besar: Timur Tengah, Eropa, Asia Selatan, Asia Utara, Pasifik dan Karibia, dan Afrika. Untuk itu di setiap periode kepengurusan ada enam “international partners” yang diminta untuk duduk dalam kepengurusan itu.

Saya terlibat menjadi anggota badan pengurus mewakili Asia Selatan (South Asia) dalam kepengurusan itu, menggantikan teolog India, Dr. Dyanand Charr yang melayani dua periode sebelumnya.

Tugas-tugas teknis sehari-hari dikerjakan oleh tim eksekutif yang berkantor baik di Indianapolis maupun di Cleveland. Kedua kota ini merupakan ‘kantor sinode’ dan sekaligus kantor badan misi dari masing-masing gereja. Tim eksekutif Global Ministries itu diketuai secara bersama oleh pemimpin dari masing-masing gereja. Dua co-executive  Global Ministries pada periode ini adalah Pdt. Dr. Jim Moose dan Pdt. Julia Brown-Karimu.

Sejak April 2010 yang lalu saya menjadi anggota Badan Pengurus CGMB untuk periode 2010-2013, dan kembali diminta untuk melanjutkan kepada periode kedua, yaitu 2014-2017. Kesempatan terlibat dalam kepengurusan Global Ministries ini merupakan kesempatan yang sangat berharga karena dapat belajar dari gereja-gereja di Amerika bagaimana memahami dan mengerjakan misi globalnya. Sebaliknya, saya juga memiliki kesempatan untuk memberikan wawasan dan refleksi kritis sebagai misiolog feminis Asia.

Dalam sebuah refleksi kritis yang saya disampaikan pada pertemuan pengurus, co-executive Pdt. Kelly Roger menyampaikan sambutannya, “Saya senang akhirnya ada perempuan Asia dalam badan pengurus.” Jim Moose seorang pengurus lain mengatakan: “See, we have a Timorese in the Board (Lihat, kita punya seorang Timor dalam badan pengurus)”.

Pelajaran yang saya dapatkan adalah bahwa gereja pendukung GM memiliki semangat yang sangat kuat untuk terlibat dalam misi Allah, tidak saja dalam konteks mereka tetapi juga di seluruh dunia. Pada waktu terjadi tsunami di Aceh atau badai Yolanda di Filipina, GM memiliki sistem, organisasi, kapasitas, dan jaringan untuk memberikan tanggapan secara cepat dan tepat kepada penduduk yang paling membutuhkan. Istilah yang dipakai adalah to be present for people in the deepest need and to be a critical presence, yang berarti sebuah kehadiran kritis bagi mereka yang berada dalam situasi kritis dan sangat membutuhkan dukungan, dan itulah misi GM.

Mutualitas, Kuasa, dan Misi

Dalam sebuah dokumen strategis CGMB, terdapat rumusan nilai organisasi: solidaritas dan mutualitas. Dalam sebuah rapat periode Nopember 2013, saya dan Dr. Johnson Mbillah (Islamolog Kenya yang mewakili Afrika di badan pengurus) diminta untuk memrefleksikan makna mutualitas. Prof. Mbillah yang juga bekerja sebagai koordinator Procmura, yaitu badan kerjasama lintas iman di Afrika, menekankan perlunya membongkar Islamophobia, yaitu ketakutan terhadap Islam baik di Afrika dan di Amerika, bahkan di seluruh dunia. Hanya dengan begitu perdamaian dunia bisa tercapai.

Mutualitas dalam misi ekumenis global masa kini, harus bermula dari kesadaran bahwa kita semua memiliki warisan sejarah misi masa lampau yang justru terbalik dari nilai ini. Pemahaman dan praktik misi di masa kolonial dipahami dalam hubungan subyek/pelaku-obyek/penerima. Gereja-gereja di Barat (Eropa dan Amerika) memandang diri dan dipandang sebagai pelaku misi dan negeri Barat sebagai pangkalan misi. Mereka menyebut diri dan disebut sebagai “gereja-ibu” (mother-churches). Sedangkan gereja-gereja di Asia, Afrika, dan dipersepsikan dan mempersepsikan diri sebagai “ladang/lapangan misi” dan sebagai “gereja-anak” (daughter-churches). Akibatnya misi dipandang sebagai gerakan satu arah: yang kuat menolong yang lemah, yang kaya mendukung yang miskin, yang maju dan pintar menyelamatkan yang terbelakang dan bodoh.

Praktik misi masa lalu ini ternyata tercemari oleh motif ekonomi dan politik (gold, glory, and gospel). Seperti kata orang Afrika: “Ketika orang kulit putih datang, mereka membawa Alkitab dan kami punya tanah. Lalu mereka meminta kami berdoa. Setelah berdoa, kami mendapat Alkitab, mereka mendapatkan tanah kami”.

Dari kontras tersebut, saya kemudian menantang anggota Badan Pengurus yang lain untuk membicarakan mutualitas (hubungan timbal balik) dalam relasi ekumenis dan misi masa kini, dengan kesadaran penuh akan beban masa lalu itu. Walaupun kolonialisme telah berakhir namun dampaknya masih ada. The impact of colonialism remains. Bahkan bisa kita katakan bahwa globalisasi adalah salah satu bentuk neo-kolonialisme, disadari atau tidak.

Cara pandang pengurus satu dengan yang lain seringkali masih dipengaruhi oleh bias rasisme dan paternalisme. Oleh globalisasi, hegemoni budaya, politik, dan ekonomi kulit putih disebarkan dan berpengaruh diseluruh dunia. Orang dan budaya kulit putih dipandang lebih unggul dari orang dan budaya kulit berwarna. Akibatnya muncul arus balik dalam bentuk fundamentalisme dan radikalisme, baik secara etnis maupun keagamaan masa kini.

Tantangan dalam membangun komitmen untuk mutualitas dalam misi, adalah bagaimana menggali dan menemukan pandasaran teologis yang memampukan kita memahami maksud Allah bagi hubungan yang tepat di antara kita.

Saya mengajukan usul kerangka teologi koinonia ilahi, khususnya konsep perichoresis untuk memberi dasar dan makna kepada relasi kemitraan dalam misi. Teologi perichoresis menekankan bahwa hubungan antara Tiga Yang Esa (Pencipta-Penyelamat-Pembaharu), bukanlah hubungan hirarkis-kompetitif melainkan hubungan yang mutualis dan equalis (timbal-balik dan setara). Relasi perichoresis dapat digambarkan dengan metafora tarian melingkar, di mana ketiga yang esa dalam keunikan dan energy/daya/kekuatannya masing-masing membuka diri untuk bersinergi dalam hubungan yang setara dan adil.

Mengimani Allah yang dalam diri-Nya relasional, mutualis dan equalis, kita dipanggil juga berada dalam relasi satu sama lain yang demikian. Manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, karenanya pada manusia ada kapasitas untuk membangun relasi timbal baik yang adil dan setara seperti relasi Allah Tritunggal.

Ini pada akhirnya tiba pada pengakuan bahwa masing-masing di Barat dan di Timur, Utara dan Selatan planet bumi ini, ada daya untuk misi. Allah menciptakan manusia dengan kapasitas untuk terlibat dalam karya keselamatanNya di bumi. Gereja-gereja di Barat perlu bertobat dari pola pandang paternalistik bahwa mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari gereja-gereja di bagian Timur planet bumi, atas alasan apa pun (ras, kemajuan teknologi, dll).

Misi tidak dapat lagi dipandang sebagai bantuan dari pihak kuat kepada kaum lemah karitas (charity), tetapi sebaliknya misi perlu dimengerti sebagai kerjasama (cooperation) dan berjalan bersama sebagai sahabat sekerja Allah (accompaniment).

Proyek-proyek misi bersama baik di Barat dan di Timur harus selalu bersifat partisipatif, melibatkan semua pihak sejak perencanaan, dalam pelaksanaan, maupun dalam monitoring dan evaluasinya.

Di pihak lain, gereja-gereja di Timurpun perlu bertobat dari mental ketergantungan yang cenderung terinternalisasi sepanjang zaman kolonial yang panjang. Ini berarti pula bertobat dari “mental dana hibah” tanpa program dan perencanaan yang jelas. Program misi bersama yang dilakukan mesti punya dampak bagi semua pihak yang terlibat dalam program tersebut, serta bagi kebaikan kemanusiaan dan segenap semesta. Pada masing-masing kita ada kapasitas untuk terlibat dalam misi Allah secara holistic dan kosmik. Karena itu panggilan misi bersama adalah untuk terlibat dalam tarian kehidupan Allah: berbagi daya dan sumber daya untuk keselamatan semua manusia dan segenap semesta ciptaan Allah.

Tanggapan badan pengurus dan badan eksekutif Global Ministries terhadap pokok pikiran yang saya sampaikan sangat positif. Bagi mereka ini adalah sebuah suara kenabian yang menantang pemahaman dan pelaksanaan misi masa kini dan masa depan yang lebih relevan.


Pendeta Dr. Mery Kolimon dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) saat ini adalah pengajar pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang dan juga Koordinator Jaringan Perempuan Indonesia Timur/JPIT untuk Studi Perempuan, Agama, dan Budaya. 
 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home