Loading...
OPINI
Penulis: Suhadi Cholil 00:00 WIB | Kamis, 05 Mei 2016

Pendidikan Agama Monoreligius-Inklusif

Kurikulum pendidikan Islam sebagai rahmat bagi semesta barusan diluncurkan. Dapatkah mendidik orang untuk lebih toleran dan inklusif?

SATUHARAPAN.COM - Mungkin agak luput dari perhatian kita, sekitar sebulan lalu Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama meluncurkan kurikulum pendidikan Islam rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta). Padahal kehadiran kurikulum itu sebenarnya telah ditunggu sejak lama oleh banyak pihak.

Kurikulum baru yang sedang diujicobakan di sebagian sekolah dan madrasah tersebut menekankan pemahaman Islam yang damai, toleran, dan moderat. Hasilnya, diharapkan mampu berkontribusi mencegah pemahaman keagamaan yang ekstrim atau radikal.

 

Monoreligius Inklusif   

Dalam pembahasan teoritis mengenai kaitan antara pendidikan agama dan inklusivisme/ eksklusivisme atau toleransi/ intoleransi, para pakar mengajukan berbagai teori. Salah satunya mengenai model-model pendidikan agama dari aspek perspektif maupun peserta didiknya.

Pertama, monoreligius. Dalam sebuah kelas mono-religius terdapat siswa yang semuanya seagama dan perspektif yang ditekankan adalah perspektif agama tersebut. Sebagian besar sekolah di Indonesia menerapkan model ini. Kedua, multireligius, di mana terdapat siswa dengan beragam agama dalam satu kelas. Di kelas ini siswa dikenalkan tentang keragaman agama, tetapi belum didorong untuk membangun perspektif bersama yang dialogis atau menemukan common ground (titik temu) antar-agama. Ketiga, interreligius. Selain kelas pendidikan agama di sini terdiri dari siswa yang beragam, mereka juga diajak membangun perspektif lintas agama melalui dialog. Sehingga tidak mustahil siswa sejak awal belajar tentang titik temu ataupun titik beda agama-agama.

Pada umumnya para pakar mengungkapkan bahwa model interreligius berpotensi lebih besar untuk menciptakan inklusivisme dibanding model multireligius. Selanjutnya, model multi-religius berpotensi lebih besar dibanding monoreligius. Singkat kata, pendidikan monoreligius dianggap memiliki peluang paling tipis dalam menumbukan toleransi dan insklusivisme.

Di sisi lain pada kenyataannya baru sebagian kecil sekolah di Indonesia yang telah menerapkan model pendidikan interreligius. Menurut hemat penulis, membangun toleransi tidak harus menunggu semua sekolah menerapkan model pendidikan interreligius. Model pendidikan interreligius bukan satu-satunya jalan menuju pendidikan agama yang inklusif. Fakta menunjukkan mainstream model pendidikan agama di Indonesia masih bersifat mono-religius. Meskipun demikian kita perlu tetap memanfaatkan peluang model pendidikan agama yang monoreligius dengan muatan yang inklusif. Model ini, sederhananya, dapat kita sebut monoreligius-inklusif.

Memang ada kelemahan dalam model monoreligius-inklusif ini, misalnya tentang orang-orang yang berbeda agama diposisikan sebagai pihak yang dibicarakan atau objek bahasan. Mereka tidak secara langsung menjadi partner dialog. Namun harus diakui keinginan, untuk menjadikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran yang menyemai toleransi sudah merupakan titik pijak awal yang menjanjikan. Apalagi gagasan ini datang dari pemerintah yang biasanya agak abai dalam soal-soal seperti ini.

Untuk menutupi atau mengurangi kelemahan itu guru dapat mengembangkan metode pedagoginya. Misalnya, mengajak siswa berkunjung ke rumah ibadah agama-agama lain, memberikan tugas kepada siswa untuk mewawancarai tetangganya yang beda agama, kegiatan ekstrakurikuler yang kreatif, dan seterusnya. Sambil berjalan kurikulum pendidikan Islam rahmatan lil’alamin perlu terus dikaji, dievaluasi, dan diperbaiki. Satu pertanyaan yang penting diajukan adalah bagaimana kurikulum yang terlihat baik ini benar-benar dapat diterapkan.

Bukan rahasia lagi mungkin ada atau bahkan tidak sedikit guru yang memiliki pemahaman keagamaan yang masih eksklusif.  Jika demikian kenyataannya, introduksi kurikulum Islam rahmatan lil’alamin ini baru aspek hulu dari niat baik mainstreaming pendidikan agama Islam yang ramah di sekolah.

 

Islam Indonesia sebagai Role Model

Kurikulum pendidikan Islam rahmatan lil’alamin yang dikembangkan pemerintah dan masyarakat Indonesia berpeluang menjadi role model pendidikan Islam bagi dunia global bersamaan dengan kekhawatiran semakin meluasnya aksi-aksi teror dan kekerasan yang mengatasnamakan agama di tingkat internasional.

Karakter Islam Indonesia telah membuktikan sejak lama bahwa pentingnya toleransi bukanlah desakan wacana global yang baru belakangan ini mucul, tapi lebih-lebih kepentingan kebangsaan sejak dari dahulu sebagaimana dicontohkan oleh kearifan para ulama. Sejak lama para ulama mencintai tanah air Indonesia yang mejemuk ini.

K.H. Wahab Hasbullah (1988-1971), salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), telah menggubah syair lagu “yaa lal wathan” (pusaka tanah air) pada tahun 1934. Lagu yang berlirik bahasa Arab ini mengobarkan patriotisme kebangsaan bagi kaum santri sejak dulu hingga kini. Ki Bagoes Hadikoesoemo (1890-1954), salah satu pimpinan Muhammadiyah, memiliki peran besar dalam perumusan muqadimah UUD 1945 yang meletakkan dasar Indonesia yang pro terhadap kemajemukan. Selain kedua tokoh tersebut, masih bertebaran figur ulama Indonesia dari dulu hingga kini dapat menjadi tauladan Islam yang damai, toleran, dan moderat.  

Kurikulum pendidikan Islam rahmatan lil’alamin dapat mendasarkan bukan saja pandangan dan ajaran Islam yang normatif, tapi sekaligus juga pemikiran dan praktik ajaran Islam Indonesia yang ramah sebagaimana praktik ber-Islam-nya dua tokoh di atas. Karena tradisi Islam Nusantara yang begitu kaya, bila kurikulum ini disusun dengan baik niscaya akan mampu menjadi tawaran kepada dunia global dari Indonesia.

Masalah utamanya sekarang adalah sejauh mana kurikulum dan isi buku yang disusun benar-benar mencerminkan gagasan utama Islam moderat itu sendiri? Kegagalan kita biasannya bukan terletak pada ide besar, tetapi implementasi yang rinci dan detail.  

 

 

Ruang Publik Sekolah

Kurikulum bukan elemen satu-satunya pembentuk nilai toleransi di sekolah. Salah satu elemen lain yang sangat menentukan adalah ruang publik sekolah. Ruang publik sekolah (school public space), sederhananya, adalah ruang sosial di dalam lingkungan sekolah yang menjadi tempat berinteraksinya warga sekolah secara terbuka. Ruang ini bukan semata tempat fisik, tapi lebih-lebih tempat bertemu dan berkreasinya siswa.

Misalnya, aula sekolah dapat disebut ruang publik sekolah karena secara fisik merupakan space dan memiliki fungsi menjadi ruang berinteraksinya siswa lintas kelas. Ruang publik lain contohnya adalah kantin, perpustakaan, ruang unit kegiatan siswa, ruang keagamaan, dan lain-lain. Berbagai penelitian menunjukkan intoleransi dan diskriminasi kadang tidak selalu muncul dari kelas atau kurikulum, tetapi dalam ruang publik sekolah.

Bisa saja kurikulum kelas pendidikan agama di sebuah sekolah mengajarkan toleransi dan paham keagamaan yang ramah. Namun para siswa mendapatkan inspirasi ajaran agama yang keras dan intoleran dari kegiatan-kegiatan dalam ruang publik sekolah, baik yang formal maupun non-formal, yang secara resmi mengajukan ijin ataupun tidak.

Oleh karena itu jika konsen utamanya mengantisipasi pemahaman keagamaan yang ekstrim atau radikal, Kemenag dan Kemendikbud dengan bekerjasama dengan manajemen sekolah harus memastikan ide radikalisme dan intoleransi bukan saja tidak berkembang di kelas pendidikan agama tapi sekaligus juga dalam ruang-ruang publik sekolah.

Terakhir, sekali lagi kita semua patut menyambut baik launching kurikulum pendidikan Islam rahmatan lil’alamin yang diinisiasi pemerintah. Harapan kita yang besar terhadapnya semoga tidak dikecewakan oleh aparatus pemerintah sendiri. Diantara upaya untuk memenuhi harapan itu antara lain bisa kita lihat dari sejauh mana pemerintah serius melanjutkan inisiasi yang baik ini dengan sungguh-sungguh.

 

Penulis aalah dosen di Prodi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM dan pengurus Lakpesdam NU Sleman Yogyakarta

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home