Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 16:46 WIB | Sabtu, 27 Februari 2016

Pendidikan Kunci Deradikalisasi, Lebih Penting daripada UU

Dosen Strategi Perang Asimetri Universitas Pertahanan, Yono Reksoprodjo, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema ‘Waspada Terorisme di Lingkup Perkotaan’ di SMA Pangudi Luhur, Jakarta Selatan, hari Sabtu (27/2). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dosen Strategi Perang Asimetri Universitas Pertahanan, Yono Reksoprodjo, menilai pendidikan merupakan kunci untuk menangkal penyebaran radikalisme di Indonesia. Masyarakat harus bersikap lebih kritis menyikapi berbagai doktrin atau informasi yang diterima.

“Yang bisa hanya pendidikan, tidak ada lagi. Masyarakat harus bisa menggali dan mempertanyakan lebih dalam informasi yang diperolehnya,” kata Yono kepada satuharapan.com, usai menjadi pembicara dalam diskusi bertema ‘Waspada Terorisme di Lingkup Perkotaan’, di SMA Pangudi Luhur, Jakarta Selatan, hari Sabtu (27/2).

Menurutnya, pemberian pendidikan yang baik pada masyarakat lebih penting daripada merevisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme guna menghadirkan kekuatan deradikalisasi bagi aparat keamanan. Sebab, dengan memperoleh pendidikan yang baik, masyarakat akan mampu mempelajari tujuan perjuangan kelompok radikalisme, bermanfaat bagi dirinya atau tidak.

“Kalau tidak memiliki pendidikan yang baik, masyarakat akan mudah didoktrin orang lain. Hanya melihat luarnya saja, dia langsung percaya,” kata Yono.

Sementara, terkait revisi UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dia berpendapat, rencana tersebut merupakan hal biasa, UU harus selalu menyesuaikan dengan situasi terbaru. Sebab, masalah terorisme selalu mengalami perkembangan seiring dengan perubahan waktu.

“UU selalu perlu direvisi, kalau situasinya berubah. Sekarang kita lihat isu terorisme bukan isu baru, dari zaman dulu sudah ada, tapi penyelesaiannya memang tidak harus selalu sama seperti dulu. Karena isunya bisa berbeda, kepentingannya berbeda juga, walau modelnya sama,” tutur Yono.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly, mengungkapkan terdapat enam poin dalam revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Poin pertama, terkait jangka waktu penahanan terduga teroris, limit waktunya ditambah, dari enam bulan menjadi sepuluh bulan.

Menurut dia, terkait kewenangan penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap terduga teroris berdasarkan bukti permulaan yang cukup, sebelumnya tujuh hari menjadi 30 hari. Lalu penyadapan yang sebelumnya berdasarkan izin perintah Ketua Pengadilan Negeri (PN) menjadi hakim pengadilan

Kedua, menurut dia, penuntutan dan pengusutan tidak hanya kepada orang perorang namun juga kepada korporasi.

Ketiga, ada perluasan tindak pidana terorisme yaitu kegiatan mempersiapkan, pemufakatan jahat, percobaan terorisme, dan pembantuan tindak pidana terorisme.

Keempat, Yasona menjabarkan, pencabutan paspor bagi Warga Negara Indonesia yang ikut pelatihan militer di luar negeri, termasuk di dalamnya negara atau organisasi-organisasi yang melakukan perbuatan teror.

Dia menjelaskan, kelima, pengawasan terhadap pelaku teror selama enam bulan namun pengawasan terpidana terorisme yang sudah selesai ditindak lanjuti paling lama setahun setelah bebas. Terakhir, perlu rehabilitasi yang holistik dan komprehensif bagi napi teroris.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home