Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 09:17 WIB | Jumat, 30 Oktober 2015

Penghargaan untuk Tokoh Adat Dayak Benuaq pada Konferensi Iklim di Paris

Ilustrasi. Peringatan Hari Hutan Sedunia. Seorang seniman melakukan performance art di Tangerang, Banten, Jumat (21/3/2015). (Foto: Antaranews/Rivan Awal Lingga)

SAMARINDA, SATUHARAPAN.COM - Tokoh adat Dayak Benuaq, Petrus Asuy akan menerima "Equator Prize" dari Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) di sela-sela Conference of Parties (COP) ke-21 Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC) di Paris, Desember 2015.

"Equator Prize", merupakan penghargaan yang diberikan kepada masyarakat adat dan komunitas lokal, yang memerangi kemiskinan, melindungi alam, dan memperkuat ketahanan dari perubahan iklim.

"Ya, saya akan akan ke Paris, sedang mengurus dokumen untuk keperluan imigrasi," kata Petrus Asuy saat ditemui di Samarinda, Jumat (30/10).

Petrus Asuy akan mewakili komunitas adat di Muara Tae, yang berada di wilayah Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Equator Prize, yang akan diberikan UNDP di Paris tersebut, menurut dia, menjadi sebuah bukti apa yang dilakukan Masyarakat Adat Muara Tae tidak salah.

Ini menjadi pedoman, atau pembenaran perjuangan menyelamatkan hutan adat melawan perusahaan kelapa sawit, pembalakan liar, dan tambang.

Ia menegaskan, masyarakat adat di tempatnya tidak menentang adanya pembangunan, namun mereka perlu memperjuangkan hak hidup dari tekanan, melindungi, serta memulihkan hutan dan wilayah adat yang tersisa.

Petrus Asuy mengatakan, luas wilayah adat di Muara Tae sebelum perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), kelapa sawit, dan tambang masuk sejak 1971 mencapai 12.000 hektare.

Saat ini, luas wilayah adat yang di dalamnya terdapat hutan adat dengan beragam fungsi hanya tersisa 4.000 ha.

Sejak awal, menurut dia, masyarakat di komunitas Dayak Benuaq ini tidak pernah menyerahkan wilayah adat mereka kepada perusahaan, dan memilih melakukan perlawanan dengan risiko mengalami kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.

Mantan Kepala Desa Muara Tae, Masrani mengatakan masyarakat di kampungnya membangun pos jaga di dalam hutan-hutan adat yang tersisa, untuk melindungi tegakan pohon dari gusuran alat-alat berat perusahaan sawit dan tambang.

Mereka, lanjutnya, juga telah menyiapkan 6.000 bibit tanaman lokal, seperti gaharu, kapur, nyatoh, dan ulin untuk merehabilitasi hutan adat seluas 700 ha yang digusur sepihak oleh perusahaan sawit.

"Bibit sudah kita siapkan, belum bisa ditanam, masih harus menunggu datangnya hujan,” katanya.

Menurut Campaigner Environmental Investigation Agency (EIA) Thomaz Johnson, yang sejak awal mengikuti perkembangan Muara Tae, banyak yang berpikir penyebab deforestasi sangat kompleks. Namun, Muara Tae menunjukkan solusi sederhana untuk persoalan tersebut dengan tetap menjaga hutan adat mereka.

Menurut informasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, penyerahan Equator Prize oleh

Equator Initiative dari UNDP dilakukan 7 Desember 2015 di sela-sela pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim yang digelar UNFCCC di Paris, Prancis, dari 30 November hingga 11 Desember 2015.

Equator Prize diberikan kepada 20 inisitif masyarakat lokal dan adat dunia. Mereka akan memperoleh 10.000 dolar AS, dan didukung untuk berpartisipasi dalam serangkaian acara khusus pada Konferensi Perubahan Iklim di Paris. (Ant)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home