Loading...
HAM
Penulis: Ignatius Dwiana 22:38 WIB | Jumat, 21 Maret 2014

Penghentian Kontrak Air Diakibatkan Dampak Buruk Swastanisasi Air

Emmanuel Lobina, ahli hak atas air. (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ahli hak atas air Emanuele Lobina menyebutkan fakta swastanisasi air berdampak serius dan sistemik sehingga mengakibatkan penghentian kontrak air dengan perusahaan swasta di tingkat internasional. Karena swastanisasi air mengedepankan perolehan keuntungan sementara hak azasi manusia atas air dikesampingkan. Hal itu disampaikannya di LBH Jakarta pada Kamis (20/3).

Disebutkannya dampak swastanisasi air mengakibatkan harga air mahal. Selain itu perusahaan swasta menginvestasikan lebih sedikit dibandingkan yang tertulis di kontrak, dan gagal memenuhi kebutuhan masyarakat. Swastanisasi air dan hak azasi manusia atas air tidak bisa hadir bersama.

Lobina menyebutkan 90 persen dari 400 kota besar yang tersebar di pelbagai belahan dunia untuk pengelolaan dan pelayanan kebutuhan airnya sudah dilakukan perusahaan atau badan publik pada 2006. Sementara keadaan terkini disebutnya sudah mencapai lebih dari 90 persen.

Ahli hak atas air dari Public Service International Research Unit (PSIRU) Inggris ini memaparkan setidaknya terjadi 100 kasus penghentian kontrak air yang dilakukan Pemerintah mengatasnamakan hukum publik. Ini terjadi di seluruh dunia, baik di negara berpenghasilan tinggi, menengah, maupun rendah. Seperti terjadi di Amerika Serikat, Eropa, Amerika Latin, Asia, maupun Afrika. Bahkan hal itu juga terjadi di Paris, tempat markas besar Suez, perusahaan pemilik Palyja di Jakarta. Suez melakukan pelayanan air di Paris sampai dengan 2010.

Pengajar Universitas Greenwich ini juga menyebutkan penghentian kontrak air di Kuala Lumpur Malaysia terakhir terjadi beberapa sebelumnya. Sementara di Badung Bali terjadi pada 2013 lalu.

“Penghentian kontrak ini biasa diikuti dengan dikembalikannya pelayanan air ke badan publik sehingga pelayanan air dilakukan dan dikendalikan publik. Seratus persen milik publik dan sering diikuti keterlibatan masyarakat yang sangat tinggi. Masyarakat sipil terlibat dalam pengambilan keputusan,” katanya.

Kasus Penghentian Kontrak Air di Sejumlah Kota

Emanuele Lobina mencontohkan kasus-kasus penghentian kontrak air di sejumlah kota dunia yang dilakukan Pemerintah. Dia juga menyoroti tuntutan hukum yang dilakukan perusahaan swasta akibat penghentian kontrak.

Anak perusahaan Thames Water di Stockton Kalifornia, Amerika Serikat, diajukan ke pengadilan karena gugatan warga negara. Hal serupa juga terjadi di Grenoble Perancis.

Di Nkonkobe Afrika Selatan, Pemerintah Kota menutup beroperasinya perusahaan air multinasional Suez. Sementara pengadilan setempat memutuskan membatalkan perjanjian kontrak.

Di Cochabamba, Bolivia, Pemerintah memutuskan kontrak secara sepihak. Perusahaan kemudian menuntut ke pengadilan internasional. Tetapi di Cochacamba terjadi kampanye sangat kuat dan dibantu masyarakat internasional. Perusahaan akhirnya memutuskan damai dan tidak mengharuskan Pemerintah membayar kompensasi penghentian kontrak.

Di Tucuman Argentina, Pemerintah menghentikan kontrak secara sepihak yang kemudian diikuti serangkaian pengadilan internasional. Perusahaan meminta kompensasi penghentian kontrak 753 juta dolar tetapi keputusan pengadilan internasional memutuskan Pemerintah Argentina membayar 105 juta dolar. Pemerintah Argentina pada akhirnya membayar seperempat atau sepertiga bagian dari jumlah yang diminta perusahaan swasta.

“Perusahaan multinasional ini menggunakan taktik untuk menakut-nakuti lawannya dengan angka besar yang tidak nyata. Tujuan dari taktik ini untuk membuat Pemerintah takut sehingga melakukan sesuatu yang menguntungkan perusahaan swasta.”

Dari paparan contohnya, Emanuele menyebutkan penghentian kontrak air kontrak yang dilakukan Pemerintah secara sepihak walau kemudian mengalami tuntutan membayar kompensasi masih jauh lebih baik. Karena hal ini menyelamatkan uang warga masyarakat yang lebih besar dibandingkan meneruskan kontrak.

Kasus PT Palyja

Emanuele Lobina juga menyoroti kasus perusahaan air minum swasta PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) yang sebagian besar sahamnya dimiliki Suez dan sedang digugat warga Jakarta. Sementara sejumlah perwakilan warga Jakarta dan lembaga masyarakat mengajukan gugatan warga negara untuk menghentikan kontrak air dengan PT Palyja, di sisi lain Pemprov DKI Jakarta berencana membeli saham PT Palyja melalui PT Jakarta Propertindo dan PT Pembangunan Jaya.

Dia berpendapat, “Sebelum Suez bernegoisasi tentang harga saham Palyja, atau maju ke pengadilan internasional, mereka sudah punya angka jelas yang mereka mau dari Jakarta atau kota lain yang bermasalah dengan mereka. Tetapi berapa yang mereka mau dari kota-kota itu bukanlah jumlah yang mereka pikir dari awal. Mereka menyampaikan ke publik jumlah yang jauh lebih besar dari dipikirkan. Jumlah uang yang besar gunanya untuk menakut-nakuti lawan sehingga memaksa mereka melakukan sesuatu yang menguntungkan perusahaan itu.”

Menurutnya, ada beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dengan merujuk contoh di sejumlah kota dunia. Warga dan Pemerintah Jakarta harus memikirkan besar jumlah uang yang dinegoisasikan dibandingkan kalau kasus itu dibawa ke pengadilan internasional. Mencakup di dalamnya besar kompensasi yang mungkin dituntut Suez akibat penghentian kontrak.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home