Loading...
INDONESIA
Penulis: Sabar Subekti 10:19 WIB | Senin, 11 Mei 2015

Pengungsi Sinabung Tinggalkan Huntap

Menurut pengungsi, infrastruktur tidak tersedia. Sebagai petani, mereka lebih membutuhkan lahan untuk melanjutkan hidup daripada rumah kecil yang membuat mereka tidak bisa berbuat banyak.
Aslina Sitepu, menggendong cucunya di pengungsian di bangunan bekas Universitas Karo di Kabanjahe. Anak dan menantunya tengah bekerja sebagai orang upahan, dan dia mengasuh cucu (1,5 tahun) yang lahir di pengungsian. Mereka ingin kembali sebagai petani. (Foto: satuharapan.com/Petrus Sugito)

KABANJAHE, SATUHARAPAN.COM – Korban letusan Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara hanya beberapa hari saja tinggal di rumah Hunian Tetap (Huntap) yang dibangun pemerintah. Mereka memilih meninggalkan rumah itu, karena infrastruktur belum tersedia dan mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan.

‘’Kami di sama tidak bisa berbuat apa-apa, hanya duduk diam saja. Kalau begitu, bisa matilah kami, ‘’ kata seorang pengungsi, Jeda Malem Sembiring Pelawi (70 tahun), kepada satuharapan.com, hari Sabtu di Kabanjahe.

Dia mengatakan termasuk di antara yang telah ‘’cabut nomor rumah” artinya mendapat undian untuk mendapatkan rumah tersebut. Pemerintah membantu mereka yang tondah ke Huntap dengan beras masing- masing lima kilogram, dan seperangkat alat dapur.

‘’Tapi habis beras, ya kembalilah kami ke sini,’’ kata Jeda Malem yang diiyakan oleh pengungsi lainnya, Aslina Sitepu. Aslina berasal dari Desa Simacem, dan Jeda Malem dari Desa Bekerah, dua dari tiga desa yang tidak boleh lagi dihuni. Mereka bersama ratusan keluarga lainnya tinggal di bangunan bekas Univeritas Karo.

Hal senada diungkapkan oleh Ketua Bidang Diakonia Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Pdt. Rosmalia Barus, yang mengelola Posko bantuan gereja itu. Sejumlah pengungsi mengatakan pada Posko bahwa masalahnya adalah infrastruktur yang belum tersedia untuk mereka melanjutkan hidup secara mandiri.

Para pengungsi sudah tujuh bulan menyewa bangunan untuk tinggal. Mereka membayar Rp 200.000 untuk mendapatkan sepetak ruang (4X4 meter) dari ruang besar sekitar 16 x 24 meter persegi. Ruang untuk satu keluarga hanya dibatasi dengan barang-barang seadanya milik mereka, termasuk perlengkapan tidur dan makan.

Baca Juga:

Suasana ''rumah sewa'' para pengungsi Sinabung di Kabanjahe. Sudah dua tahun mereka mengungsi. (Foto: satuharapan.com/Sabar Subekti)

Miskin Infrastruktur

Para pengungsi yang ada di Kabanjehe, kepada Satuharapan.com mengatakan bahwa pemerintah memang telah menyerahkan 103 rumah di Desa Siosar, Kecamatan Tiga Panah. Rumah itu dibangun oleh militer. Namun baru 50 unit yang siap dihuni, dan diserahkan kepada pengungsi.

Lokasi rumah yang dibangun ini sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan dari desa asal mereka di kaki Sinabung. Namun mereka memilih untuk meninggalkan rumah yang berukuran 50 meter persegi di atas tanah kurang dari 100 meter persegi itu, karena infrastruktur yang tidak tersedia.

Para pengungsi mengatakan, mereka selama ini tidak mendapatkan bantuan sejak keluar dari penampungan yang dikelola posko pengungsi sejak tujuh bulan lalu. Untuk menyambung hidup mereka menjadi buruh harian yang mereka sebut sebagai ‘’orang mengupah”.  Mereka yang bekerja pada ladang orang lain biasanya mendapatkan upah Rp 60.000 sehari. Sebagian lain bekerja sebagai kuli atau bertani dengan menyewa tanah.

‘’Lebih baik kami di sini, kami masih bisa bekerja pada ‘’orang mengupah’’ untuk menyambung hidup. Kalau di sana, kami diam saja.” Kata Jeda Malem. Menurut pengungsi jika mereka ada di Huntap, untuk bekerja di desa lain perlu perjalanan satu jam berkendaraan, itupun kalau punya kendaraan.

Kendala lainnya adalah tidak adanya sekolah. Jika mereka pindah, maka anak-anak akan kesulitan untuk pergi ke sekolah yang tempatnya makin jauh, atau keluarga akan terpisah. Demikian juga dengan fasilitas kesehatan, dan kebutuhan hidup lainnya.

Gunung Sinabung yang masih aktif dan sewaktu-waktu bisa meletus. Lahar yang masih terhampar bisa longsor jika hujan deras mengguyur puncak gunung, dan berbahaya bagi sejumlah desa. Ratusan warga di Desa Perbaji, Kecamatan Payung, mengungsi akibat jembatan di desa itu hanyut oleh banjir lahar dingin dua pekan lalu. (Foto: satuharapan.com/Sabar Subekti)

Petani Butuh Tanah

‘’Kami ini petani, kami tak akan bisa hidup di rumah seperti itu,’’ kata Aslina yang mengharapkan bisa mendapatkan tanah untk melanjutkan hidup sebagai petani. Dan dia masih ingat bahwa pemerintah telah menjanjikan tanah satu hektare untuk setiap keluarga.

“Bagi kami, lebih baik diberi tanah, karena kami bisa makan dengan mengerjakan tanah. Kalau soal rumah, bisalah kami buat yang sederhana. Kami ini petani, di Huntap kami hanya nongkrong diam, dan kami bisa mati,’’ kata Jeda Malem.

Dia sebelumnya memiliki 10 hektare tanah di Desa Bekerah, dan dari tanaman kopi, jeruk, kakoa, dan sayur ‘’kami bisa hidup cukup.’’ ‘’Tapi, entahlah hidup kami selanjutnya,” kata dia dengan wajah yang sedih. Dia juga mengingatkan bahwa pemerintah telah menjanjikan tanah satu hektare, tapi belakangan berubah jadi setengah hektare, dan sekarang rumah dengan tanah luasnya kurang dari 100 meter persegi. ‘’Apa yang bisa kami buat untuk dhidup di sana?’’

2.051 Keluarga Masih Mengungsi

Puncak Gunung Sinabung dengan kepulan asap, terlihat dari kawasan pengungsi di bekas bangunan Universitas Karo di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. (Foto: satuharapan.com/Sabar Subekti)

Sebelumnya diberitakan bahwa 103 keluarga korban Sinabung telah menerima rumah baru, dan sekitar 267 unot masih dikerjakan oleh TNI. Penyerahan dilakukan oleh Komandan Kodim Tanah Karo, Letnan Kolonel Asep Sukarna.

Pemerintah tengah merampungkan pembangunan permukiman bagi 1.212 warga korbanSinabung dari  tiga desa, yaitu dari Desa Sukameriah (136 keluarga), Desa Simacem  (131 keluarga) dan Desa Bekerah (103).

Menurut data dari GBKP,  sekarang ini masih ada 2.051 keluarga yang mengungsi. Mereka menyewa rumah atau berasam-sama menyewa bangunan seperti di Universitas Karo di Kabanjahe. Dan dalam dua pekan terakhir ada ratusan keluarga yang juga mengungsi akibat ancaman banjir lahar dingin, seperti di Perbaji, Kecamatan Payung.

Rumah hunian tetap (Huntap) yang dibangun pemerintah dan pelaksanaannya oleh TNI di Siosar, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo. pengungsi memilih meningalkannya, karena tidak memadai untuk melanjutkan hidup sebagai petani. (Foto: dari BNPB)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home