Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 06:05 WIB | Senin, 24 Maret 2014

Penyair Wiji Thukul: Ikon ASEAN Literary Festival

Penyair Wiji Thukul: Ikon ASEAN Literary Festival
Pertunjukan seni budaya di ASEAN Literary Festival 2014. (Foto-foto: Ignatius Dwiana)
Penyair Wiji Thukul: Ikon ASEAN Literary Festival
Suasana ASEAN Literary Festival 2014.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Yayasan Muara dengan dukungan Hivos dan Kementerian Luar Negeri menggelar ajang internasional ASEAN Literary Festival 2014 dengan tema ‘Anthem for the Common People’. Ajang ini berlangsung Jum’at (21/3) hingga Minggu (23/3) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Communication Manager ASEAN Literary Festival 2014 Rai Rahman Indra menyebutkan ajang ini dibuat untuk pertama kalinya. Diikuti delapan negara anggota ASEAN, kecuali Laos dan Kamboja. Hadir pula negara luar ASEAN seperti China, Korea, Australia, Inggris, dan Belanda.

Rai Rahman Indra juga menyebutkan tema ‘Anthem for the Common People’ itu diangkat dari salah satu sajak Wiji Thukul yaitu ‘Nyanyian Akar Rumput’. Dia mengatakan,”Kami terinspirasi ide itu, sastra harusnya bisa lebih dekat ke masyarakat. Karena selama ini mungkin berjarak.”

Wiji Thukul menjadi ikon dalam ASEAN Literary Festival karena karya sastranya dinilai kuat dan berpengaruh. “Sajaknya itu berpengaruh. Tagline ‘Hanya ada satu kata: Lawan’ bikin kita merasa sesuatu, kalau orang lain mungkin tidak.” jelas Rai Rahman Indra. “ASEAN Literary Award kita berikan ke Wiji Thukul juga.”

Wiji Thukul merupakan penyair yang juga aktifis Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER). Dia hilang diculik menjelang akhir Orde Baru.

Karya Sastra di Bawah Rezim Totaliter

Seperti halnya Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru Suharto, di Filipina pada masa pemerintahan Marcos juga kondisinya serupa. Karya sastra yang menyoroti penindasan di masa itu bermunculan. Ada Cirilo F. Bautista dan Pete Lacaba.

Rai Rahman Indra menyebutkan Pete Lacaba itu sampai membuat gerakan anti Marcos dan dia mencipta karya sastra dengan nama samaran.

Pada ajang ASEAN Literary Festival 2014 ini, Pete Lacaba memberikan kuliah umum. Selain itu juga menjadi pembicara di sesi tentang karya-karya sastra di bawah rezim totaliter. Hadir pula U Kyaw Win dari Myanmar yang negaranya di masa lalu berada di bawah junta militer. Kondisi karya sastra yang berada di bawah tekanan terjadi di sejumlah negara di Asia Tenggara.

ASEAN Literary Festival 2014 diikuti sejumlah penerbit, komunitas penulis, dan penggemar buku. Beberapa kegiatan di dalamnya meliputi workshop, diskusi, dan pertunjukan seni budaya. Pelbagai isu menyangkut dunia sastra dibahas. Dari karya sastra kontemporer, demokratisasi dan hak asasi manusia, sastra di bawah rejim totaliter, sastra di bawah kolonialisme, sastra anak, penulis di daerah konflik, sastra dan agama, sastra dan kebangsaan, kritik sastra, sastra dan perempuan, sastra terjemahan, penerbit indie, hingga gerakan komunitas penulis.

Ajang ASEAN Literary Festival 2014 ini juga merupakan persiapan menuju Pameran Buku Frankfurt Jerman pada 2015 dan Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di sana.

Dalam ASEAN Literary Festival 2014 ini, negara-negara ASEAN berbagi kedekatan dan kesamaan budaya di tengah pengaruh peradaban besar India, Cina, dan Timur Tengah. Ajang ini sekaligus berbagi sastra serta sejarah di bawah kolonialisme, demokratisasi dan pembangunan ekonomi, dengan berkumpul dalam sebuah festival sastra sebagai satu komunitas sastra dan budaya.

Executive Editor ASEAN Literary Festival 2014 Abdul Khalik menyebutkan ajang ini menampilkan penyair, novelis, penulis drama, kritikus, akademisi, ilmuwan, dan seniman ASEAN untuk menampilkan dan mendiskusikan peran sastra dalam membentuk masyarakat yang adil dan meningkatkan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan demokratisasi.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home