Loading...
BUDAYA
Penulis: Sabar Subekti 09:46 WIB | Jumat, 15 Maret 2024

Peraih Nobel Sastra, Mo Yan, Menghadapi Gugatan Patriotisme, Hina Pahlawan China

Pemenang Hadiah Nobel Sastra dari China, Mo Yan, tengah, meninggalkan rumah setelah diskusi panel di Pameran Buku Internasional Beijing di Beijing, Rabu, 23 Agustus 2017. Mo Yan, salah satu penulis paling terkenal di China, yang memenangkan Hadiah Nobel pertama di negara itu untuk sastra dan pernah dipuji oleh para pejabat tinggi, kini menjadi pusat badai nasionalis, yang menunjukkan pergeseran garis kebebasan berekspresi di bawah kepemimpinan Presiden Chinha, Xi Jinping. (Foto: dok. AP/Mark Schiefelbein)

BEIJING, SATUHARAPAN.COM-Tulisannya memenangkan Hadiah Nobel Sastra, dan untuk yang pertama bagi China, tetapi apakah tulisan tersebut cukup patriotik bagi China di bawah kepemimpinan Xi Jinping? Pertanyaan itulah yang menjadi pusat tuntutan hukum tingkat tinggi yang kini memicu perdebatan tentang nasionalisme di China.

Kampanye patriotik menjadi lebih umum dalam beberapa tahun terakhir di China, ketika kaum nasionalis online menyerang jurnalis, penulis, atau tokoh masyarakat lainnya yang mereka anggap telah menyinggung martabat negara, namun tidak biasa jika tokoh sebesar Mo Yan menjadi sasaran.

Blogger patriotik Wu Wanzheng, yang dikenal dengan sebutan “Mao Xinghuo yang Mengatakan Kebenaran” di internet, menggugat berdasarkan undang-undang yang menjatuhkan hukuman perdata dan, dalam beberapa kasus, hukuman pidana atas dugaan pelanggaran terhadap pahlawan dan martir China.

Wu mengklaim buku-buku Mo telah mencoreng reputasi Partai Komunis China (PKC), “mempercantik” tentara musuh Jepang, dan menghina mantan pemimpin revolusi, Mao Zedong.

Gugatan yang diajukan bulan lalu menuntut agar penulis meminta maaf kepada seluruh rakyat China, para martir negara tersebut dan Mao, dan membayar ganti rugi sebesar 1,5 miliar yuan (US$ 209 juta) – 1 yuan untuk setiap orang China. Ia pun meminta agar buku Mo dikeluarkan dari peredaran.

Wu mendasarkan keluhannya pada undang-undang tahun 2018 yang menjadikan penghinaan terhadap pahlawan dan martir sebagai kejahatan yang dapat dihukum hingga tiga tahun penjara. Undang-undang tersebut adalah bagian dari kampanye Xi untuk melawan “nihilisme sejarah,” sebuah frasa yang digunakan partai tersebut untuk interpretasi apa pun atas peristiwa sejarah yang bertentangan dengan narasi resminya.

Mo, yang bernama asli Guan Moye, memenangkan Nobel Sastra pada tahun 2012. Ia dikenal karena menggambarkan kehidupan pedesaan di China dan menyelidiki beberapa kelemahan dari pesatnya perkembangan ekonomi negara tersebut.

“Sastra dan seni harus mengungkap kegelapan dan ketidakadilan masyarakat,” katanya pada tahun 2005 saat menerima gelar doktor kehormatan dari sebuah universitas di Hong Kong. Namun pria berusia 69 tahun itu hanya memiliki sedikit konflik dengan Beijing.

Pada tahun 2011, ia menjadi wakil ketua Asosiasi Penulis China yang didukung negara. Setelah ia menerima Nobel, seorang pejabat tinggi partai memujinya sebagai “perwakilan luar biasa” dari meningkatnya kekuatan ekonomi China dan pengaruh internasional.

Tampaknya kecil kemungkinan Wu akan memenangkan gugatannya. Pemerintah China belum secara resmi mengomentari kisah tersebut, namun tabloid pemerintah Global Times pada hari Selasa (12/3) menerbitkan berita yang mengutip pidato Mo baru-baru ini, yang secara tidak langsung menandakan dukungan terhadap penulisnya.

Blogger tersebut mengatakan di platform media sosial China, Weibo, bahwa pengadilan Beijing menolak gugatan pertamanya karena Wu tidak memberikan alamat rumah Mo. Gugatannya saat ini didasarkan pada undang-undang tahun 2018 yang akan menyatakan seseorang bertanggung jawab secara perdata jika mereka menghina atau memfitnah “pahlawan dan martir yang merugikan kepentingan publik.” Associated Press tidak dapat memverifikasi klaimnya secara independen karena pengadilan belum mempublikasikan dokumen tersebut.

Komentator media yang berlidah tajam dan mantan editor Global Times, Hu Xijin, juga mengkritik Wu, menyebut upayanya untuk menuntut Mo sebagai “lelucon” dan tindakan “populis”. Di Weibo, Hu mengecam dukungan terhadap tindakan tersebut sebagai “tren yang sangat mengkhawatirkan dalam opini publik online.”

Sebagai imbalannya, Wu mengancam akan menuntut Hu juga.

Di dunia maya, diskusi terpecah, ada yang menyebutnya sebagai cerminan tumbuhnya nasionalisme di China dan ada pula yang mengecam para penuduh. Kontroversi ini menjadi trending di Weibo, di mana tagar #MoYanbeingsued telah dilihat sekitar dua juta kali. Setidaknya satu hashtag terkait lainnya telah disensor.

Murong Xuecun, seorang penulis terkenal China yang tinggal di pengasingan di Australia, mengatakan ia tidak melihat bukti bahwa pemerintah mendukung penargetan Mo, namun pemerintah telah menciptakan lingkungan di mana serangan patriotik semacam itu didorong.

“Tren ini telah mendorong masyarakat untuk saling melaporkan, memberi informasi, dan mengekspos satu sama lain, menyasar mereka yang berbeda dari ideologi arus utama atau mempromosikan nilai-nilai universal,” katanya. “Itulah yang telah dilakukan pihak berwenang.”

Undang-undang tahun 2018 dan undang-undang serupa lainnya telah mengakibatkan sejumlah penangkapan, termasuk seorang reporter investigasi yang mempertanyakan jumlah korban resmi China dalam pertempuran perbatasan dengan India pada tahun 2021 dan mantan editor majalah keuangan yang mempertanyakan pembenaran resmi atas keterlibatan Chinadalam konflik Korea. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home