Loading...
INSPIRASI
Penulis: Priskila Prima Hevina 01:00 WIB | Jumat, 06 Februari 2015

Pergi Tanpa Rasa Benci

Daun yang gugur tidak pernah marah pada cabang pohonnya. Daun tua itu justru tabah ketika dirinya digugurkan.
Daun-daun berguguran (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Pada sebuah pohon, terdapat pelajaran siklus hidup yang fair: gugur dan tumbuh. Ada masa ketika dedaunan yang tua perlahan mengering, ia tak dapat lagi menempel pada ranting, maka ia harus gugur. Lalu ada masa ketika pucuk-pucuk daun baru tumbuh, muncul sebagai generasi baru yang menandakan kelanjutan hidup pohon.

Gugur dan tumbuhnya dedaunan tidak hanya menjadi daur biologis, sebab ada makna psikologis yang lebih menarik untuk dikuakkan. Menurut Darwis Tere Liye, seorang novelis Indonesia, daun yang jatuh tak pernah membenci angin, ia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya. Namun menurut saya, daun gugur tidak hanya memberi pelajaran tentang arti keikhlasan.

Daun yang gugur tidak pernah marah pada cabang pohonnya. Daun tua itu justru tabah ketika dirinya digugurkan. Sebab memang ia tahu, sudah saatnya ia gugur. Sudah cukup baginya menghias pohon dengan warna hijau cerah. Sudah selesai pula tugasnya menjadi dapur oksigen bagi semua makhluk hidup. Daun gugur rela pergi, tanpa rasa benci.

Sebaliknya, daun gugur menyimpan kepercayaan kepada pucuk dedaunan baru yang tumbuh menggantikan posisinya. Daun gugur percaya bahwa para tunas baru itu mampu mengemban tugasnya dengan baik. Sedang para tunas baru itu datang dengan rendah hati, tidak bersombong hanya karena ia berada di puncak pohon.

Pada pohon kehidupan juga berlaku sistem gugur dan tumbuh. Kehidupan ini dibangun bersama-sama, setiap orang memiliki bagian tugasnya masing-masing. Seperti pohon, ada waktunya sebagian dari kita telah menua dan harus purna tugas. Lalu muncul generasi baru yang siap menerima tongkat estafet hidup untuk dibawa lari dengan semangat.

Kalau daun gugur saja rela pergi tanpa rasa benci, bagaimana dengan kita? Masihkah kita merasa enggan meninggalkan posisi kita, meski sebenarnya kita tak lagi sanggup mengerjakan tanggung jawab secara maksimal? Masihkah meragu pada orang-orang baru yang akan menggantikan kita? Padahal untuk apa kita meragu, kita pun pernah menjadi generasi baru, menggantikan generasi lawas sebelum kita.

Regenerasi itu mutlak dijalankan supaya hidup terus berjalan. Anak-anak yang telah beranjak dewasa, lama kelamaan harus hidup mandiri, lepas dari intervensi orang tuanya. Pemerintahan era reformasi ada untuk melanjutkan pemerintahan yang telah dijalankan di periode sebelumnya. Pimpinan perusahaan harus di-rolling agar gairah kinerja selalu baru.

Mari merendahkan hati seperti daun gugur. Waktu bukan milik kita, waktu tak bisa kita hentikan demi mempertahankan kejayaan kita. Waktu terus melaju, dan kita harus menyadari bahwa jangka waktu kita terbatas. Jika telah tiba waktunya pergi, ayo pergi dengan rela hati, tanpa rasa benci.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home