Loading...
RELIGI
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 21:19 WIB | Kamis, 30 April 2015

Pesan Bulan Oikoumene PGI 2015

Foto: pgi.or.id

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengajak umat Kristen di Indonesia menyambut Bulan Oikoumene Tahun 2015 dengan merenungkan situasi dan kondisi bangsa yang masih menghadapi persoalan kemiskinan, ketidakadilan, fanatisme keagamaan, maupun penghancuran ekologi. 

Ketua Umum PGI Pdt Dr Henriette Hutabarat Lebang dalam Pesan Bulan Oikoumene PGI 2015 menegaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama ini menunjukkan kehidupan di negara ini semakin tidak berharga, sebuah “budaya kematian”.

Namun, Bulan Oikoumene 2015 pada bulan Mei ini juga patut disyukuri sebab bertepatan dengan 65 tahun pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) sebagai cikal bakal Oikoumene di Indonesia.

Berikut Pesan Bulan Oikoumene PGI 2015: 

Keesaan dalam Aksi: Membangun Rumah Tangga Allah (Ef. 4: 3-7)

Saudara-saudari dalam Kristus,

Bulan Oikoumene tahun ini merupakan bulan istimewa bagi kita, yakni gereja-gereja yang tergabung ke dalam PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), maupun gereja-gereja di Asia yang tergabung di dalam Christian Conference of Asia (CCA). Sebab pada Mei tahun ini, sudah genap 65 tahun gereja-gereja di Indonesia “memasuki sejarah bersama”, yang ditandai dengan pembentukan DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) pada tanggal 25 Mei 1950 di Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta. Sekaligus, pada bulan ini pula, kita merayakan 58 tahun berdirinya CCA. Sungguh bukan kebetulan bahwa pada saat kita bersama merayakan hari Pentakosta, yakni hari turunnya Roh Kudus yang menandai momen kelahiran gereja perdana, kita juga merayakan terbentuknya dua lembaga oikoumenis tersebut.

Kita menyadari, tindakan visioner para pendiri DGI (yang kini, sejak 1984, menjadi PGI) itu merupakan titik historis penting dalam arak-arakan oikoumenis di Indonesia. Sebab tindakan itu mencerminkan upaya gereja-gereja ke arah “pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes”, sebagaimana disebut dalam dokumen Manifes Pembentoekan DGI. Sampai kini, setelah mengalami naik-turun, suka-duka, dan menghadapi berbagai persoalan dan tantangan sepanjang 65 tahun perjalanan PGI, cita-cita “pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes” itu tetap membuat hati kita bergelora. Karena itu sudah selayaknya dan seharusnya kita mengucap syukur, dan menyanyikan nyanyian TUHAN karena kasih setia-Nya yang tidak pernah berkesudahan senantiasa menaungi perjalanan kita bersama.

Akan tetapi, pada saat bersamaan kita juga terpanggil untuk merenungkan situasi dan kondisi bangsa yang menjadi konteks bagi tugas dan panggilan bersama sebagai gereja Tuhan. Dan hati kita pun meratap, bersama sang pemazmur, “Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing?” (Mzm 137:4). Sebab kita menyaksikan, dengan perih dan prihatin, bagaimana persoalan kemiskinan, ketidakadilan, fanatisme keagamaan, maupun penghancuran ekologi terus berlangsung hanya demi memuaskan nafsu serakah manusia. Berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang mengabdi pada ketamakan manusia tanpa batas itu, maka bumi di mana kita berpijak menjadi “negeri asing” yang mengembuskan napas kematian, bukan napas kehidupan.

Bila kita berhenti sejenak dan merenungkan situasi yang melingkupi kita, “budaya kematian” itu terasa di semua aspek kehidupan: keluarga yang tercerai-berai, angka KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) terutama terhadap perempuan dan anak yang masih tinggi, ancaman narkoba yang membunuh generasi muda, maraknya begal di jalan-jalan yang membuat orang tidak nyaman berpergian… Kita dapat memperpanjang daftar itu, tetapi satu hal jadi jelas: kehidupan makin tidak berharga di negara ini!

Dan lebih memprihatinkan lagi, kekerasan makin menjadi cara kita menangani berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut database Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (www.snpk-Indonesia.com), korban akibat main hakim sendiri sepanjang 2005 – 2007 di Indonesia tercatat sebesar 18 persen dari seluruh korban kekerasan. Data ini sungguh sangat mencemaskan. Proporsinya yang besar (hampir seperlima dari seluruh tindak kekerasan) itu memperlihatkan betapa dominan perilaku “main hakim sendiri” dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Kekerasan, yang kerap kali berbuah kematian, sudah menjadi cara hidup kita bermasyarakat.

Saudara-saudari dalam Kristus,

Catatan keprihatinan di atas tidak dimaksud untuk membuat kita frustasi dan putus asa. Memang benar bahwa, sebagai bangsa, kita masih harus menghadapi tantangan multidimensional yang mahaberat. Dan gerak oikoumenis gereja-gereja merupakan bagian integral dari upaya kita sebagai bangsa untuk melakukan transformasi sosial maupun revolusi mental, guna menjadikan Indonesia bukan lagi “negeri asing” di mana “budaya kematian” dominan.

Sebab gerak oikoumene pada intinya merupakan perjuangan agar semesta ini menjadi rumah (oikos) di mana seluruh makhluk hidup dapat berdiam diri (menein) bersama di dalam jalinan kasih, kebenaran dan keadilan. Itulah visi oikoumene yang sejati, yakni perjuangan demi “rumah tangga Allah” sendiri. Dan gereja-gereja dipanggil untuk mencerminkannya dalam kehidupan konkret sehari-hari, melalui pemekaran spiritualitas keugaharian yang mensyukuri berkat sehari-hari yang diberikan Tuhan “secukupnya” (bdk. Mat 6:11), berbagi ruang kehidupan dengan sesama ciptaan di dalam “rumah tangga Allah”, dan menolak nafsu keserakahan yang melahirkan “budaya kematian”.

Panggilan untuk bersama-sama melaksanakan oikoumene dalam aksi (oikoumene in action) itulah yang kini menantang gereja-gereja di Indonesia guna memperjuangkan “rumah tangga Allah”, membuka ruang bagi semua ciptaan dan menaklukkan “budaya kematian” lewat kasih, persaudaraan, perdamaian dan keadilan, yang merupakan hasil kuasa Roh Kudus sendiri. Gereja-gereja dapat memenuhi panggilan tersebut, pertama-tama dengan memberi perhatian khusus pada wajah gereja terkecil: keluarga. Sebab setiap keluarga sesungguhnya merupakan cermin paling nyata gereja, yakni ruang kehidupan dan persekutuan kasih di dalam “rumah tangga Allah” sendiri. Tali kasih yang mengikat keluarga-keluarga ke dalam persekutuan kudus itulah yang menjadi tanah subur di mana pendidikan spiritualitas keugaharian dapat berkembang.

Karena itu, saudara-saudari dalam Kristus, sekalipun kita prihatin dengan perkembangan sekarang, marilah kita tetap mensyukuri kasih karunia dan pemeliharan Allah Kehidupan sepanjang 65 tahun perjalanan bersama gereja-gereja di Indonesia. Marilah kita, dalam kehidupan sehari-hari, tetap berjuang membangun “rumah tangga Allah” dan berbagi ruang dengan sesama ciptaan, sembari terus berusaha “memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Ef. 4:3). Dan bersama-sama gereja dari segala tempat, kita tidak henti-hentinya berdoa: Datanglah ya Roh Kudus, baharuilah muka bumi!

Semoga Allah, Pencipta dan Pelantan Kehidupan, selalu menaungi upaya kita!

Selamat merayakan Bulan Oikoumene!

Jakarta, 28 April 2015

Pdt Dr Henriette Hutabarat-Lebang (Ketua Umum)  –  Pdt Gomar Gultom (Sekretaris Umum)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home