PHK Massal, PT Transjakarta Dilaporkan Melanggar HAM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) terhitung tanggal 1 Juli 2016 telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara massal terhadap para pekerjanya. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai PHK ini melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Pada hari Rabu (31/8) siang, LBH Jakarta bersama beberapa perwakilan pekerja yang terkena PHK melaporkan PT Transjakarta ke Komisi Nasional (Komnas) HAM.
“Ada 150 orang pekerja Transjakarta yang diberhentikan tanpa alasan yang jelas, sehingga ini perlu diklarifikasi. Selain itu, tidak adanya pemenuhan hak-hak pekerja. Ini sudah melanggar HAM mereka sebagai pekerja,” kata Pengacara Publik LBH, Oky Wiratama Siagian, kepada satuharapan.com, di Komnas HAM, hari Rabu (31/8) siang.
Adapun pekerja yang mengalami PHK sepihak antara lain petugas pencatat odometer, on board, dan staff lainnya. Para pekerja yang mengalami PHK ini mengaku tidak pernah melakukan kesalahan di dalam melaksakan pekerjaannya, serta tidak pernah mendapatkan surat peringatan ke-1 hingga ke-3 sebagaimana prosedur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Para pekerja busway tersebut heran atas sikap manajemen Transjakarta yang melakukan PHK tanpa prosedur sesuai dengan UU yang berlaku.
“Pada saat kami menanyakan apakah ada laporan performa kerja yang buruk, Transjakarta tidak dapat membuktikan hal tersebut. Mereka hanya beralasan telah ada tim khusus yang melakukan pencatatan kinerja dan menilai kami tidak layak diperpanjang kontrak kerjanya,” ujar salah satu pekerja yang sejak tahun 2005 di bidang on board, Murwatono.
Pasca menerima surat PHK, para buruh Tranjakarta tidak mendapatkan pesangon dan hak normatif lainnya sebagaimana dijamin dalam UU 13/2003.
Para pekerja mengaku mendapatkan banyak ketidakadilan selama bekerja di Transjakarta, seperti sistem kerja kontrak yang berkali-kali dalam jangka waktu satu tahun, yang mana melanggar ketentuan pasal 59 UU 13/2003, karena kontrak terbatas jangka waktunya dan tidak boleh dilakukan berkali-kali hingga belasan tahun.
“Sesuai peraturan, seharusnya ada pengangkatan, tapi ternyata hanya kontrak. Jamsostek dan BPJS juga terputus. Kami tidak menerima pesangon atau imbal jasa, padahal kebanyakan yang diberhentikan sudah bekerja lebih dari lima tahun,” kata Murwatono.
Selain Murwatono, Agustin, yang diberhentikan oleh Transjakarta sebagai staff officer, mengeluhkan adanya ketidakterbukaan dan bentuk-bentuk intimidasi oleh Transjakarta terhadap para pekerja.
“Saya bekerja sejak tahun 2008, dan bukti kontrak tidak pernah diberikan. Slip gaji dipersulit ketika diminta. Saya sudah bekerja selama delapan tahun lima bulan, tapi hak sebagai karyawan tidak diberikan. Harusnya lebih dari tiga tahun bekerja sudah sebagai karyawan tetap. Yang terjadi, justru saya dipaksa mengundurkan diri. Bekerja bertahun-tahun tidak dihargai, padahal waktu, tenaga, dan pikiran tercurah ke Transjakarta,” katanya.
Agustin yang menerima gaji Rp 3.900.000 tiap bulannya itu, mengaku sebelum melapor ke Komnas HAM telah terlebih dahulu memberikan surat pengaduan ke Dinas Tenaga Kerja, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Namun, belum juga mendapat tanggapan dan jalan keluar yang jelas.
“Akhirnya kami datang ke sini (Komnas HAM) agar memperoleh jalan keluar terbaik,” ujar dia.
Oky mengatakan, perihal pemenuhan hak terhadap pekerja perempuan, Transjakarta juga tidak melaksanakannya.
“Di Transjakarta libur cuti hamil dan melahirkan hanya mendapatkan 40 hari, sementara UU mengatur hak pekerja perempuan yang mengandung dan melahirkan adalah selama tiga bulan atau 90 hari. Cuti haid juga tidak ada,” kata Oky.
LBH Jakarta juga menyayangkan jam kerja pekerja yang melebihi 12 jam dan tidak mendapatkan upah lembur, perhitungan upah pokok masih di bawah UMR, seragam harus membeli sendiri, yang mana menurut mereka hal ini adalah tanggung jawab perusahaan, serta Transjakarta hingga kini diduga belum memiliki peraturan perusahaan kerena belum tercatat pada dinas tenaga kerja.
Baik LBH Jakarta maupun para pekerja yang terkena PHK optimis dan secara bersama-sama akan terus memperjuangkan hak-hak para pekerja.
“Komnas HAM welcome dan mencoba menfasilitasi untuk menemukan titik temu terkait masalah itu, karena ada hak yang dirampas (hak bekerja). Setelah pelaporan ini maka akan ditunjuk komisioner siapa yang akan mendampingi. Kami akan terus maju, keadilan harus ditegakkan,” ujar Oky.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
BI Klarifikasi Uang Rp10.000 Emisi 2005 Masih Berlaku untuk ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bank Indonesia (BI) mengatakan, uang pecahan Rp10 ribu tahun emisi 2005 m...