Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 13:33 WIB | Jumat, 19 Februari 2016

Pola Pengasuhan Anak yang Terlalu Melindungi Berdampak Negatif

Ilustrasi: seorang ibu membantu tugas sekolah anaknya (Foto: voaindonesia.com)

SATUHARAPAN.COM -  “Helicopter parent” adalah pola pengasuhan anak di mana orangtua sangat memperhatikan dan sangat melindungi anak. Terminologi ini digunakan untuk pertama kali pada akhir tahun 1960an. Tetapi, saat ini, “helicopter parent” digunakan untuk dimensi baru, ketika teknologi membuat sebagian orangtua bisa mengawasi anak dari jauh, memberi arahan kapan pun, dan dari mana pun.

Dalam sebuah buku baru How to Raise an Adult: Break Free of the Overparenting Trap and Prepare Your Kids for Success, penulis Julie Lythcott-Haims mengajak pembaca melihat lebih jauh tentang pola asuh ini.

Julie Lythcott-Haims merasakan langsung pengalaman dengan pola asuh “helicopter-parenting” ini, ketika bekerja sebagai dekan mahasiswa tahun pertama di Universitas Stanford. Anak-anak di masa depan, kata Julie, di atas kertas sangat pintar dan berhasil. Tetapi, banyak yang tidak bisa merawat diri mereka sendiri.

Julie mengatakan, "Mereka secara terus-menerus dan konstan minta petunjuk dari orangtuanya membantu menyelesaikan masalah atau membuat pilihan tentang sesuatu."

Sering kali Julie harus mengingatkan para orangtua itu, anak-anak mereka sudah cukup berumur untuk merawat diri sendiri. Pada satu sore ia mendapati bahwa ia sendiri adalah ibu yang menerapkan pola asuh "helicopter parenting".

Julie menambahkan, "Ketika itu anak-anak saya baru berusia 8 dan 10 tahun, ketika sampai di rumah, saya menyiapkan makan malam dan mulai memotong-motong daging untuk anak saya yang berusia 10 tahun. Tiba-tiba saya menyadari, terlalu melindungi anak saya itu. Ia seharusnya sudah bisa memotong sendiri makanannya. Tugas saya hanya mengajarkannya. Saya tidak melakukan itu. Saya justru menjadi orang tua yang menjalankan pola asuh helicopter parenting itu. Saya mulai berempati kepada mereka dan menyadari, dengan maksud baik, saya justru terlalu membantu anak-anak."

Menurut Julie, ada tiga bentuk over parenting. Pertama, over-protective atau terlalu melindungi, yaitu orangtua yang menilai dunia terlalu menakutkan, tidak aman, dan tidak dapat diprediksi sehingga anak-anak perlu dilindungi.

Kedua, tipe yang over-directive. Orang tua kerap mengatakan, saya tahu hal terbaik apa yang harus dilakukan, supaya sukses dan kamu harus mengikuti. Kamu harus belajar topik-topik ini, melakukan kegiatan ini dan akan meraih keberhasilan.

Tipe ketiga adalah concierge, yaitu orangtua yang selalu ingin membuat kehidupan menjadi lebih mudah, mulai dari membangunkan anak-anak, mengawasi kegiatan mereka, hingga memastikan mereka tidak melupakan apa pun, melakukan pembicaraan yang tegas dengan guru untuk melengkapi PR atau mungkin membuatkan PR mereka, katanya.

Julie membedakan manfaat jangka pendek dan jangka panjang dari ketiga jenis pola asuh ini.

"Jika Anda berada di dekat mereka ketika bermain di taman, ketika mereka jatuh atau tergelincir, Anda berada di sana untuk menangkap mereka. Lutut mereka tidak memar atau luka-luka. Jika Anda membantu PR anak-anak, mereka akan memperoleh nilai yang lebih baik. Ini adalah manfaat dalam jangka pendek," katanya.

Dalam jangka panjang, jika anak Anda tidak belajar bagaimana menjaga diri di taman bermain, yang tentunya baru mereka pelajari setelah beberapa kali jatuh, mereka tidak akan mendapat pelajaran dalam jangka panjang.

Jika selalu membantu PR mereka, bahkan selalu mengatakan kepada anak yang duduk di kelas empat SD, "jika kalian tidak bisa, jangan khawatir, Ibu akan membantu", maka anak-anak akan kurang mampu. Mereka mulai merasa bergantung pada orangtua, untuk memperbaiki dan meningkatkan nilai akademisnya. Hal itu tidak mempersiapkan mereka menjadi pelajar yang gigih dan berhasil dalam kehidupan.

Jadi apa yang dapat dilakukan orangtua jika ingin menghentikan siklus membantu anak-anak?

"Kita harus berhenti mengatakan 'kita', padahal maksudnya 'anak kita'," ia menjelaskan.

Terlalu banyak orangtua yang mengatakan, "kita akan masuk tim sepakbola." Padahal, bukan seperti itu. Bukan kita, tetapi anak laki-laki atau anak perempuan kita.

Hal berikutnya adalah stop berdebat dengan semua orang dewasa dalam kehidupan anak-anak. Kita harus mengajarkan anak-anak kita, untuk membela diri mereka sendiri.

Hal ketiga yang harus dilakukan adalah, "berhenti melakukan PR anak-anak. Keempat, membangun keahlian mereka, mengajarkan mereka menyeberang jalan, menyiapkan sarapan, mengingatkan di mana mereka meletakkan barang di dalam tas, yang suatu hari nanti akan menjadi tas kerja mereka," kata Julie.

Ketika anak-anak mampu merawat diri sendiri, mereka pun siap menjadi dewasa. (voaindonesia.com)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home